Setiap tindakan perjuangan harus ada langkah kemenangan walau hanya selangkah. Selangkah bagi kemenangan rakyat dalam perjuangan penolakan Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua adalah referendum internal.
Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua sudah pasti akan terjadi setelah Presiden Joko Widodo mengeluarkan Surat Presiden (Supres) tentang DOB di Papua, dan Suspres itu telah diterima Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) sebagaimana yang dikatakan Menteri Kordinator Bidang Politik, Hukum dan HAM (Menkopolhukam), Mahmud MD bahwa Suspres tentang DOB di Papua telah diserahkan ke DPR sehingga pemerintah akan menjalankannya.
“Iya sudah, sudah (supres sudah diserahkan ke DPR). Sehingga bagi pemerintah DOB itu jalan. Bahwa ada yang suka atau tidak dengan DOB di Papua, itu biasa saja.” Kata Mahmud MD.
Kata Mahfud yang tidak memperdulikan aksi protes DOB yang dilakukan masyarakat Papua menjadi sinyal kuat bahwa pemekaran DOB akan terjadi. Dan tiga propinsi yang akan menjadi DOB di tanah Papua dengan dikeluarkannya Suspres adalah: Propinsi Papua Selatan, Propinsi Papua Tengah, dan Propinsi Papua Pegunungan Tengah, dan memungkinkan Papua Barat Daya akan direalisasikan pula. Aneh tapi nyata, tidak diminta tapi dipaksakan untuk diterima.
Rakyat Papua dipaksakan untuk menerima pemekaran padahal rakyat Papua tidak pernah turun ke jalan-jalan kota melakukan aksi demonstrasi meminta wilayah mereka dipecah-pecah oleh pemerintah Indonesia. Tetapi sebaliknya, ribuan massa rakyat di seantero tanah Papua turun ke jalan walau dihadang oleh aparat keamanan lengkap dengan alat perang, mendesak agar wilayah mereka tidak dibagi-bagi secara administrasi oleh pemerintah Indonesia yang dianggapnya kolonial (penjajah).
Pemaksaan DOB di Papua oleh pemerintah dapat terjadi setelah revisi ke II (dua) dari UU Nomor 21 Tahun 2001 yang ditolak oleh 700 ribu lebih rakyat Papua dengan mendatangani Petisi Rakyat Papua (PRP) secara manual, disahkan oleh DPR RI dalam rapat paripurna di gedung DPR Senayan Jakarta, pada, 15 Juni 2021 tahun lalu tanpa pertimbangkan aspirasi penolakan Undang-Undang Otusus Jilid II dari masyarakat Papua melalui melalui PRP.
DOB mulai diperjuangkan oleh segelintir elit pribumi yang rakus akan kekuasan dengan alasan pembangunan, setelah kebijakan yang menjadi strategi Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Titto Karnavian untuk mereduksi gerakan perjuangan Papua merdeka mendapat penolakan dari masyarakat akar rumput melalui aksi demonstrasi yang luas di Papua yang terorganisir dalam PRP.
Setelah strategi Titto Karnavian mendapat penolakan yang kuat dari rakyat Papua, kemudian Mendagri yang pernah menjabat sebagai Kapolda Papua itu mulai memperalat para elit politik di Papua yang rakus akan kekuasan dan jabatan untuk membuat deklarasi-deklarasi mendukung DOB.
Deklarasi-deklarasi mendukung DOB dan bagi-bagi jabatan yang dilakukan oleh para elit politik Papua di tengah masifnya penolakan di seantero Bumi Cendrawasih tentu akan memiliki dampak buruk di wilayah yang akan dimekarkan nantinya. Dan itu sangat pasti terjadi karena salah satu dampak pemekaran adalah termarjinalnya masyarakat asli akibat migrasi masyarakat Nusantara ke Papua dan hal ini akan memicu terjadi konflik sosial. Sebab akan terjadi persaingan untuk mencapai mobilitas sosial yang tidak sehat atau mayoritas vs minoritas.
Dampak buruk yang paling kuat akan terjadi selain konflik sosial akibat kecemburuan sosial yang sangat berdasar itu, mayoritas vs minoritas. Orang Papua akan berpikiri bahwa ini tidak adil! Ini kitong punya tanah tapi kenapa orang lain yang datang urus. Atau ini kitong punya tanah tapi kenapa birokrasi-birokrasi pemerintahan hingga Kepolisian, orang-orang nusantara yang paling monopoli. Perasaan tidak adil seperti ini kemudian akan memicu kesadaran rakyat untuk memberontak kepada negara.
Pemberontakan masyarakat terhadap Negara inilah yang paling kuat akan terjadi di wilayah yang baru dimekarkan. Konflik ini yang disebut sebagai konflik horizontal. Konflik horizontal ini akan selalu muncul pada wilayah yang baru dimekarkan secara paksa. Seperti yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia bagi Papua sebagaimana yang disampaikan Pendeta Dora Balubun, Kordinator Komisi Penyelamatan Karya Ciptaan (KPKC) Sinode GKI di Tanah Papua bahwa DOB/pemekaran akan memicu konflik di wilayah pemekaran.
“Konflik hari ini di Papua, banyak justru sebenarnya paling besar dan sekarang ini begitu luas justru di daerah-daerah pemekaran itu. Sehingga dikawatikan DOB akan menambah terjadinya konflik, bukan solusi konflik.” kata pendeta Dora di kutip dari diskusi daring yang diselenggarakan Kontras pada, Senin (13/6/2022).
Guna membijaki pro dan kontra DOB yang akan berdampak pada konflik horizontal yang luas di Papua. Maka sebaiknya, Jakarta berhenti mendikte pikiran dan isi hati orang Papua. Namun seharusnya sebagai Negara demokrasi, Jakarta harus melakukan referendum internal sebagai langka politis yang adil untuk meminimalisir dampak konflik horizontal yang akan terjadi.
Saya katakan bahwa referendum internal dapat meminimalisir konflik. Saya mengulangnya, bahwa referendum internal hanya dapat meminimalisir konflik karena pihak yang kalah atau orang Papua yang kalah dalam referendum internal tentu akan menerima konsekuensi logis dari DOB sehingga kemungkinan ketika diprovokasi untuk memberontak akibat DOB sangat kecil.
Tetapi jika Jakarta tidak bisa melakukan referendum internal dengan alasan biaya dan ketakutan terhadap referendum eksternal yang selama ini diperjuangkan rakyat Papua, maka konflik horizontal sebagaimana yang ditakutkan pendeta Dora Balubun akan terjadi di wilayah-wilayah yang akan dimekarkan, dan itu akan menghambat cita-cita pembangunan dari tujuan pemekaran.
Ketika cita-cita pembangunan tidak terjadi sebagaimana tujuan pemekaran. Rakyat tidak bisa disalakan dengan omong kosong partisipasi publik rendah. Karena memang tidak ada patisipasi rakyat secara demokrasi lahirnya DOB tersebut. Apa lagi mengkambinghitamkan gerakan perjuangan pembebasan Papua merdeka dalam kegagalan pembangunan.
Selain harus dilakukan referendum intenal terkait DOB, para elit politik Papua yang selama ini mengatasnamakan rakyat semestinya meragukan pemekaran sebagai solusi akar persoalan di Papua sebelum menerimanya sebagai kebijakan pembangunan atau solusi konflik di Papua.
Para elit Papua yang di ujung lidahnya selalu mengatasnamakan rakyat mesti bertanya, apakah pemekaran DOB yang dipaksakan ini akan menjadi berkat atau kutuk bagi masyarakat pribumi di Bumi Cendrawasih? Mengingat mayoritas masyarakat Papua tidak pernah meminta DOB, tapi dipaksakan.
Pertanyaan di atas harus dimunculkan oleh para elit politik di forum-forum resmi mereka. Terutama di parlemen bagi para wakil rakyat, lalu diperdebatkan secara demoktratis dan terbuka bagi umum terutama bagi masyarakat Papua. Hasil perdebatan antara para elit politik Papua yang telah diketahui oleh rakyat itulah yang kemudian disampaikan kepada Presiden Jokowi. Sehingga rakyat tidak dengan mudah diperalat oleh kubu para elit pro dan kontra.
Bukan melakukan hal yang hina yakni mengemis DOB. Sebagaimana yang dilakukan kelompok yang dipimpin Bupati Jayapura, Matius Awaitouw yang mengemis DOB kepada Presiden di Istana Kepresidena Bogor, pada Jumat (20/5/2022).
Atau juga tidak seperti yang dilakukan Sekertaris Dewan Adat Wilayah III Deberai, Zakarias Horota yang mengemis pemekaran Papua Barat Daya dengan mengatasnamakan semua tokoh (tokoh adat, pemuda, perempuan, gereja, masyarakat) lalu menyatakan mendukung DOB dan Otsus Jilid II. Sementara rakyat yang mereka mengatasnamakan itu berbondong-bondong turun ke jalan mengepalkan tangan meninju langit, menegaskan sikap menolak pemekaran DOB di Bumi Cendrawasih.
Dan juga agar para elit politik Papua tidak terlihat seperti kumpulan orang-orang yang tidak punya otak, juga tidak punya keberanian untuk menyikapi dinamika pro dan kontra antara rakyat dan pemerintah yang memaksa kehendaknya atas rakyat. Maka mereka para elit politik harusnya mendebatkan pemekaran yang dipaksakan oleh Jakarta secara ilmiah dan demokratis.
Mengapa para wakil rakyat perlu berdebat secara demokrasi Pancasila, terkait DOB? Bukan saja agar rakyat tahu bahwa para elit politik yang mereka pilih untuk mewakili hak politik mereka untuk bertanya kepada penguasa bukan pelacur politik yang melacurkan diri demi kepentingan perutnya yang tiap hari membuncit karena rakus.
Tetapi jauh sebelum dimekarkan menjadi dua propinsi (Papua dan Papua Barat) hingga hendak dimekarkan lagi. Masyarakat akar rumput dengan pemahaman yang berbasis pada pengalaman mereka tidak pernah melakukan demonstrasi memintah negerinya di bagi-bagi dalam bentuk pemekaran propinsi dalam bingkai NKRI. Namun dengan sangat lantang bahkan dengan beraninya mereka mengorbankan nyawa mereka menentang kebijakan Jakarta yang hendak membagi-bagikan wilayah mereka.
Dan tindakan rakyat Papua yang dengan berani dibawah komando Petisi Rakyat Papua (PRP) yang secara terorganisir melakukan aksi demonstrasi di seantero tanah Papua secara politik dapat menjadi modal (kekuatan) politik bagi para elit politik asli Papua untuk membungkam mulut Jakarta. Agar berhenti mendikte keinginan orang Papua.
Jika Jakarta ingin mengetahui keinginan hati orang Papua terkait DOB. Maka seperti yang telah saya sampaikan. Bahwa cara yang tepat dan bermartabat adalah Jakarta melakukan referendum internal, bukan deklarasi gubernuran atau baku klaim kantor karena ini akan memicu konflik horizontal yang berkepanjangan di Papua.
***