Pendahuluan
Saat ini kita di hadapkan dengan berbagai ancaman dan tantangan arus globalisasi (medernisasi) yang hadir dengan, dalam bentuk apapun termasuk investasi dan korporasi perusahaan. Oleh karena itu, menjadi penting bagi kita semua bahwasannya bersiap untuk menghadapi tantangan dan transformasi dunia yang hadir dengan dan tanpa menunggu.
Untuk menghadapi tantangan global tersebut tentu umat manusia terutama masyarakat di wilayah berkembang yang menjadi ancaman serius ini dari arus medernisasi mesti harus disiapkan diri untuk menghadapinya. Pada umumnya, masyarakat Indonesia mengalami kemerosotan dalam bidang pendidikan dan terutama soal literasi. Literasi baca dan literasi digital menjadi penting apalagi di wilayah seperti Papua yang menjadi sasaran perusahan dan investasi saat ini.
Menurut data BPS Papua, presentasi buta huruf di Papua per tahun 2020 berada pada angka tertinggi dari seluruh Indonesia yaitu 20%. Dan selain data BPS, juga data dari Global Education Monitoring Repor (Unesco) yang belum pernah ke sekolah di Indonesia dari usia produktif sekolah berada pada wilayah Papua yang berada pada angka 11% dari seluruh wilayah di Indonesia.
Di media Suara Papua, Agus Sumule, pengajar di Universitas Papua (Unipa) Manokwari menunjukkan data hampir 407.534 anak di Papua dan Papua Barat tidak sekolah. Hal ini disebabkan oleh berbagai indikator termasuk guru yang tidak pernah bertugas dan kelalaian negara dalam mengkonstruksikan pembangunan pendidikan di tanah Papua, padahal dana yang dikucurkan yang bersumber dari Otsus adalah sebesar 1,4 triliun pada tahun 2022.
Dalam konteks Yahukimo, ini justru persoalan literasi lebih kompleks lagi. Karena dengan wilayah yang luas, memiliki 51 kecamatan atau distrik dari kota sampai ke kampung. Dengan jumlah sekolah dan wilayah yang sangat dijangkau ini tentu memiliki persoalan literasi yang besar, apalagi dengan susahnya akses yang bisa dijangkau ke kampung-kampung. Bukan berarti kita berhenti untuk kerjakan namun, kita dengan alasan apapun bisa bekerja bersama persoalan literasi sampai ke kampung-kampung dengan semangat yang dan tujuan yang sama, yaitu ‘mencerdaskan kehidupan manusia untuk memanusiakan’.
Jumlah sekolah yang banyak tentu menjadi hal yang baik di Yahukimo. Tetapi pertanyaannya adalah apakah sekolah-sekolah ini sudah bisa paling tidak menyadarkan orang asli Papua untuk memahami dirinya, lingkungannya, dan nilai-nilai luhur tentang budaya dan lainya di dalam lingkungannya sendiri atau tidak? Ini menjadi pertanyaan mendasar. Jangan sampai semua sistem dan metode terpusat (tersentral) di Jakarta. Ini menjadi hal penting yang menjadi perhatian bersama, terutama oleh kawan-kawan penggerak literasi di Yahukimo.
Gerakan literasi di Yahukimo harus memecah pendidikan yang membuat orang asli yahukimo menjadi bisu dan terpenjara (baca: melawan kebisuan). Pendidikan yang memenjarahkan manusia yang harusnya bisa belajar dari alamnya, hutan, air dan, kebunnya semua di kurung di dalam kelas yang tertutup. Padahal, relasi orang Papua dengan alam itu sudah menjadi pendidikan dasar orang Papua yang membentuk karakter (Suryawan, 2017).
Artikel ini membatasi diri hanya dengan melihat bagaimana yang harusnya dikerjakan oleh gerakan literasi di Yahukimo Papua, dan termasuk memberikan saran kepada kita sendiri penggerak literasi di Yahukimo yang menginginkan literasi di Yahukimo dapat melawan budaya ‘bisu’ yang sudah berakar dan mendominasi seluruh kehidupan orang Yahukimo di tanah Papua.
Sekolah di Yahukimo
Pendidikan (sekolah) di Yahukimo, tentu harus kita lihat dengan kritis. Kita tidak bisa melihat Pendidikan di Yahukimo hanya dengan aktivitas KBM atau aturan lainnya yang sudah terpusat dari Jakarta (pendidikan yang sedang berjalan atau pendidikan formal). Ibaratnya “makanan yang sudah siap saji” oleh siswa di sekolah yang dikasih suap atau dibagikan oleh para guru (yang adalah pelayan makanan yang sudah disediakan oleh Jakarta). Dalam konteks inilah kita melihat lebih jauh persoalan pendidikan yang hanya terpaku pada aturan yang kaku.
Pdt. Dr. Beny Giyai dengan penuh makna dan reflektif dan kritis mengungkapkan, “pentingnya pendidikan di Papua menjadi pendidikan yang reflektif untuk menjadikan dirinya sebagai lembaga yang emansipatif dan transfotmatif menuju Papua Baru. Pendidikan atau sekolah yang menemukan identitas dan persoalannya. (Suryawan, 2017).
Dari ungkapan di atas, kita bisa memaknai bahwa seharusnya pendidikan di Yahukimo dijadikan sebagai pendidikan yang emansipatif dan partisipatif dengan libatkan siswa sebagai subjek dalam dialogis yang mana bersama-sama dengan guru diskusikan lebih jauh apa persoalan yang harus diselesaikan di lingkungan mereka hidup. Tidak serta merta mentransfer yang sudah diseragamkan oleh pusat (Jakarta). Pendidikan lebih jauh, pendidikan dapat menyesuaikan dirinya dengan gerak situasi sosial di tanah Papua dan, dapat menyadarkan siswa tentang persoalannya yang akan di hadapi di kemudian hari dalam tantangan modernitas yang hadir di tanah Papua dengan berwajah investasi perusahaan.
Pendidikan Ala Kepapuan
Pendidikan ala kepapuan ini pendidikan yang menekankan pada pendidikan sistem metode yang harus bisa benar-benar menekankan pada konteks kehidupan orang Papua. Pendidikan yang bisa dikonstruksikan dengan konsep: orang papua hidup dimana, makan dimana, mencari makan dimana, berburu dimana, dan lain sebagainya.
David womsiwor, salah satu pendidik (guru) yang mengalami pendidikan di masa Belanda berkisah dalam buku I Ngurah Suryawan (2017) dengan judul Papua Versus Papua, bercermin pada ‘sekolah Papua’ yang ada di Sorong, Papua Barat. Dia mengungkapkan bahwa, “Gedung-gedung bangunan sekolah yang megah justru menjadi ‘penjara’ yang mengurung siswa. Siswa tidak bebas mengenal alamnya yang luas dan budaya yang beraneka ragam di Papua. Para siswa di Papua seolah-olah terbatas untuk mengenal alamnya dan justru lebih banyak terkungkung di dalam kelas. Padahal, bagi anak-anak Papua alam dan pendidikan bersatu pada (satu kesatuan) dalam totalitas kebudayaan. Alam memberikan inspirasi dalam usaha membentuk komunitas mengkonstruksikan Pendidikan yang berkebudayaan.”
Alam memberikan inspirasi ruang belajar yang seluas-luasnya bagi anak-anak Papua tetapi secara keseluruhan anak-anak di dunia. Alam membantu menumbuhkan imaji dan melatih naral berpikir kreatif dan kritis atas apa yang ada pada diri anak-anak Papua (Yahukimo).
Fawas (2017), dalam bukunya Yang Menyublin di Sela Hujan menceritakan pengalaman selama kurang lebih satu tahun di Asmat, Papua melalui program yang di gagas oleh ‘Sokola Institut’. Ia menggambarkan dengan jelas praktik dan keadaan program pendidikan di Asmat, Papua. “Ketika Pendidikan masuk, sekolah diselenggarakan untuk anak-anak mereka, sekolah harus melebur dan tersinkronisasi dengan kehidupan sehari-hari. Jangan sampai anak-anak (sekolah) teralineasi dari kehidupan mereka dari pengaruh keberadaan sekolah.” (Fawas, 2017: 88).
Dari gambaran-gambaran ini dan juga masih banyak lainnya yang sebetulnya menkritisi pendidikan nasional yang serta merta diterapkan dari Jakarta ini menjadi pijakan bagaimana mengkonsepkan dan mengkonstruksikan kembali ‘pendidikan yang kepapuan’. Pendidikan yang memberikan kebebasan lebih kepada anak-anak muda (siswa/murid) untuk bagaimana mereka para siswa belajar dari alamnya, hutan, kali, jalan, dan lain sebagainya. Sekolah di Yahukimo harus benar-benar melebur dengan kehidupan kebudayaan yang sudah ribuan tahun hidup di tanah Papua. Dengan memberikan ruang untuk para siswa mengeksplorasikan diri dari kenyataan hidup mereka, tanpa memenjarahkan atau terkungkung dalam ruang kelas yang tertutup dengan dinding-dinnding dengan dihiasi oleh meja, bangku (siswa-guru), tablak meja, papan tulis dan perhiasan lainnya.
Sekolah di Yahukimo Harus Utamakan Budaya Dialogis
Model pendidikan yang ‘dialogis’ menjadi kebutuhan saat ini dalam konteks kehidupan manusia. Karena semua hal-hal mendasar dalam kehidupan manusia ini dilahirkan dari satu proses yang mengutamakan sepakati bersama dalam diskusi, rembuk, atau duduk Bersama ini merupakan proses dialogis ‘dialog’ yang secara kolektif dibicarakan bersama, direncanakan, dan di eksekusi dan; evaluasi ini menjadi refleksi bersama.
Dalam proses pendidikan juga jauh lebih baik, antara siswa dengan guru dibicarakan, direncanakan dan di eksekusi bersama lalu masukan dalam tahapan evaluasi ini melibatkan siswa dengan guru sama-sama subyek yang saling menghargai, menerima pendapat siswa-guru, merencanakan bersama dengan proses dialogi yang panjang. Model sekolah seperti ini tidak hanya sebatas sekolah biasa akan tetapi dia merupakan sekolah yang menyadarkan siswa atas apa yang harus ia lakukan atau sekolah yang memerdekakan kemanusiaan (humanisme) bukan (dehumanisasi).
Dialog pada dasarnya harus didasari atas dasar cinta. Tanpa atas dasar cinta proses dialog yang panjang lebar itu menjadi dialog yang omong kosong, maka dengan demikian sekolah yang kedepankan dialog merupakan sekolah terlebih dahulu mencintai dan didasarkan pada rasa cinta, orang harus mencintai lalu didialogkan apa yang haru dilakukan menghadapi dunia (Pendidikan Kaum Tertindas; Palolo Freire, 2005).
Penutup
Pada penutup ini, saya ingin bahwa kita semua (terutama) orang-orang terdidik anak asli Yahukimo refleksi, melihat, dan kerja nasib masa depan generasi muda yang harus kita kerjakan mulai hari ini denga apa yang ada. Pendidikan menjadi jalan satu-satunya menuju satu kehidupan yang tidak jauh lebih dari merdeka akan tetapi idealnya pendidikan bisa menjadi medium yang membawa kita pada satu kesadaran total bahwa tantangan globalisasi yang hadir dengan segala macam wajah bisa mengancam eksistensi kehidupan komunitas kita, maka penting dan mendesak kita sama-sama kerjakan agenda bersama bahwa: jika Pendidikan di Papua terutama di Yahukimo hanya menjadi ‘penjarah’ yang memenjarahkan generasi muda maka kita punya tugas untuk pikirkan jalan alternatif dengan besik ilmu pengetahuan yang sama-sama kita punya dan miliki.
Sekolah yang bisa mejadikan manusia yang mengenali dirinya dan persoalannya menjadi kebutuhan utama dalam konteks kehidupan kita hari ini di Yahukimo dan Papua secara lebih luas. Ini menjadi hal yang penting karena ancaman adalah dari berbagai segi kehidupan yang akan menggeser komunitas adat (masyarakat) bisa jadi tersingkirkan dengan hadirnya nama pembangunan. Pembangunan yang tidak berpihak, tidak berpartisipatif dan memajukan masyarakat komunitas setempat.
Kita harus sama-sama kerjakan sekolah-sekolah yang bisa diberikan ruang lebih besar kepada adik-adik kita untuk mengeksplor diri mereka, potensi yang dimiliki oleh mereka melalui jalan sekolah alternatif, mulai dari rumah, lingkungan sekitar, dan sampai ke lingkungan yang lebih luas. Kita harus kerjakan bersama-sama sekolah yang menyadarkan pentingnya pendidikan yang berkebudayaan, jaga hutan, air, pohon dan lainnya yang mejadi warisan hidup.
Kawan-kawan, kitong harus kerjakan barang ini sebelum kita menyesal karena sekolah formal membunuh kitorang kehidupan.
***
Referensi:
Suryawan, Ngurah. Papua Versus Papua. Labirin, 2017.
Fawaz. Yang Menyublim di Sela Hujan. EA BOOKS, 2017.
Freire, Paulo. Pendidikan Kaum Tertintas. NARASI, 2021 (Cetakan Ketiga).
Agus Sumule: 407.534 Anak di Papua dan Papua Barat (diakses suarapapua.com pada 19/06/2022.
Unesco. Belum Pernah ke Sekolah di Indonesia. Unesco, 2022.