Politik Konservatisme Dalam Pendidikan
Semangat konservatisme menekankan pada asal-usul, tradisi, dan pengalaman bersama untuk memberikan landasan yang amat kuat bagi pembangunan dan kebebasan politik yang stabil. Keyakinan bahwa tidak ada sistem politik universal yang dapat diterapkan untuk segala bangsa memang merupakan sesuatu yang mendasar dari pandangan konservatif. Sistem perpolitikan dinegara ini cenderung mempertahankan paradigma lama dan konsep berpikir ini sengaja diciptakan lalu pendistribusiannya diarahkan kepada masyarakat sehingga peran negara dengan watak ingin menguasai dan menguntungkan dapat leluasa dalam masyarakat. Sikap politik konservatif ini kemudian menjalar hingga ke dalam dunia pendidikan mengakibatkan pendidikan itu menjadi campur baur dengan urusan politik, akhirnya setiap permasalahan berlarut-larut tak terselesaikan. Konservatisme menyatakan dengan tegas, mengabdikan semangat status quo dalam sikap pendirian politik tertentu. Paham konservatisme pada dasarnya tidak kreatif bahwa ia cenderung tidak menyukai eksperimen dalam bentuk apapun, atau tidak menyediakan teori bagi pembaharuan sosial yang konstruktif.
“Itu hanya teori.” pernyataan ini seringkali terucapkan oleh para penganut pragmatisme. Mereka lebih menekankan sesuatu yang memiliki manfaat praktis dari pada berkutat hanya pada teori. Namun, tidak banyak disadari bahwa teori merupakan hasil dari sebuah eksperimen yang panjang. Teori adalah refleksi dari hasil analisis yang tidak singkat. Dari hasil riset dan eksperimen, itulah kemudian peneliti atau akademisi menyimpulkan sesuatu yang dikenal dengan teori. Dari upaya itu, kemudian lahirlah teori-teori belajar melalui para tokoh yang kebanyakan adalah para psikolog. Sebut saja diantaranya Watson, Maslow, Pavlov, Skiner, Piaget, Vygotsky, Carl Rogers, dan lain-lain. Dari hasil penelitian dan pengamatan mereka, lahir pengertian dan konsep tentang teori belajar. Melihat praktek pendidikan berdasarkan lima teori belajar yang cukup populer, yaitu: teori belajar behavioristik, kognitif, humanistik, konstruktivistik, dan teori belajar sibernetik.
Dari kelima teori ini merupakan suatu keadaan yang terus berubah sebagai sebuah konsep baru guna memberikan setiap proses mengalami perubahan. Konsep-konsep yang didapatkan oleh para psikolog ini tentu menginginkan suatu hal baru secara bertahap dan tidak lah berkutat hanya pada konsep lama, ketika dengan berdomisili dalam kerangka berpikir yang statis maka layaknya keadaan ini menjadi wada dimana para pemikir konservatif merajalela dan tidak menginginkan perubahan drastis. Para pemikir konservatisme memang tidak suka dengan yang namanya eksperimen atau hal baru, dikarenakan mereka merasa nyaman dengan keadaan dahulu dan dipertahankannya hingga sekarang. Padahal kelima teori dan praktik yang dikemukakan oleh para psikolog itu sudah diimplementasikan ke dalam sistem pendidikan Indonesia namun masih saja mengalami kegagalan dalam mencapai sumber daya manusia yang cerdas, kritis, sadar, dan bebas.
Tentu ketika menyimak sistem pendidikan ini yang menjadikannya berat sebelah atau tidak seimbang adalah pengaruh politik yang menyelimuti bahkan pendidikan dijadikan sebagai arena produksi manusia pekerja. Bukan menjadi manusia yang memanusiakan manusia itu sendiri tetapi menjadikan manusia sebagai pekerja yang dimana telah menghilangkan nilai-nilai kemanusiaan (humanisme) dan menjadikan keadaan manusia dengan praktek-praktek seperti itu justru melahirkan dehumanisasi dimasa mendatang.
Sistem pendidikan dapat berjalan baik ketika urusan politik tidak mempengaruhi atau menjadi bagian dalam lingkup pendidikan. Dunia pendidikan dapat memiliki relasi dalam kehidupan politik negara ini tetapi tidaklah demikian, mencampuri urusan pendidikan dengan sikap politik yang cenderung tidak demokratis. Akhirnya pendidikan kita menjadi tidak seimbang, berlarut-larut dalam permasalahan yang bukanya satu pokok persoalan tetapi karena telah banyak urusan dan saling kait-mengkait hingga tumpang tindih masalah pendidikan tidak mampu diselesaikan. Mirisnya lagi masalah pendidikan dijadikan tawaran politik terhadap sistem pendidikan dan juga terhadap masyarakat dengan berbagai alasan klasik yang justru menumpuk persoalan.
Praktik-praktik ini bukanlah cara baru yang diterapkan, namun sudah menjadi kebiasaan para politikus negara ini yang menjadikan setiap persoalan sebagai tawaran politik. Meyakinkan masyarakat dengan menjanjikannya akan menyelesaikan persoalan pendidikan, memberikan akses pelayanan pendidikan yang memadai, bantuan dana yang besar, dan segala macam bahasa dibungkus semestinya membuat masyarakat menjadi tergiur dan yakin bahwa inilah penyelamat kita. Padahal tentu hasil akhir tidak menjadi demikian seperti yang dikampanyekan sebelumnya. Masyarakat menjadi muak tetapi apa boleh buat ketika sikap politik itu tetap dirawat dengan berbagai pendekatan represif.
Paradigma yang Kapitalistik Dalam Dunia Pendidikan
Yang ada didalam pemikiran elite-elite negara ini hanyalah keuntungan yang menyudutkan kecerdasan berpikir. Paradigma tersebut memperoleh konsep pendidikan gaya bank yang mana telah dikritik oleh Paulo Freire di Brazil. Indonesia masih terus pelihara konsep tersebut sehingga kualitas pendidikan ini selalu berada pada urutan paling jauh diantara negara-negara lainnya. Negara tetangga Malaysia yang dulunya kekurangan guru, dan kala itu Indonesia membantu mengirimkan guru. Konsep pendidikan yang dibuat oleh Bapak Pendidikan Khi Hadjar Dewantoro, Singapura turut mengambil konsep tersebut lalu praktek dinegaranya. Kini Malaysia dan Singapura pendidikannya jauh lebih maju dibandingkan pendidikan Indonesia.
Sistem bank mengendaikan seorang subjek yang bercerita (pendidik) disatu pihak, dan objek (peserta didik) yang mendengarkannya dengan patuh dan tekun di lain pihak. Kondisi ini membuat kurikulum yang digunakan, baik yang berkaitan dengan nilai-nilai maupun segi-segi empiris realitas, bersifat baku dan tidak hidup karena jauh dari realitas sehari-hari. Pendidik selalu membicarakan realitas dengan asumsi seolah-olah tidak bergerak, statis, terkotak-kotak, dan dapat diramalkan. Dengan kata lain pendidikan menerangkan pokok persoalan yang sama sekali asing dan jauh dari pengalaman konkret para peserta didik. Aktivitas pendidik adalah menggali banyak pengetahuan, lalu menyampaikannya pada peserta didik yang fungsinya hanya sebagai katalog pengetahuan saja. Peserta didik diarahkan untuk menghafal secara mekanis isi kurikulum yang disajikan. Ibarat tabungan, peserta didik adalah simpanan yang harus terus diisi. Semakin lengkap pendidik mengisinya, semakin baik pula reputasinya sebagai pendidik. Dan semakin patuh peserta didik mengikuti apa ajaran pendidiknya, maka mereka dianggap sebagai orang pandai.
Kontradiksi hubungan pendidik dengan peserta didik pada sistem bank yang ciri-cirinya antara lain: pendidik mengajar dan peserta didik diajar; pendidik mengetahui segalanya dan peserta didik tidak mengetahui apapun; pendidik berpikir dan peserta didik dipikirkan; pendidik berbicara dan peserta didik patuh mendengarkan; pendidik mendisiplinkan dan peserta didik disiplinkan; pendidik memilih dan memaksakan pilihannya sementara peserta didik menurut serta menyesuaikan dirinya; pendidik beraksi dan peserta didik mengira beraksi bila ia meniru pendidiknya; pendidik memilih program dan peserta didik menyesuaikan diri dengan program itu; pendidik mencampuradukkan otoritas ilmu pengetahuan dengan otoritas profesinya yang bertentangan dengan kebebasan peserta didik; pendidik merupakan subjek proses belajar dan peserta didik hanya merupakan objek dari proses belajar. Sistem bank dalam pendidikan memelihara dan mempertajam antara pendidik dan peserta didik melalui cara-cara serta kebiasaan yang mencerminkan keadaan dimana ada penindas (pendidik sebagai subjek) dan yang ditindas (peserta didik sebagai objek).
Dari pendidikan usia dini, taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah akhir atau kejuruan dan perguruan tinggi. Berakhir dengan mencetak layaknya manusia pekerja. Sedikit sekali hasil pendidikan akhir itu mencetak generasi yang cerdas, kritis dan bebas merdeka secara individu. Sistem pendidikan ini seperti dibentuknya persaingan mengejar peralatan kerja. Ijazah hanyalah sebuah lembar kertas sebagai pra syarat, tidak peduli kualitasnya asalkan memenuhi syarat administrasi sebuah lowongan pekerjaan. Pembagian pekerja pun dapat diuji melalui hasil tes, yang memiliki nilai tinggi akan menempati posisi kerja yang mahal gajinya dibandingkan nilai rendah layaknya seorang pelayanan kebersihan. Gawatnya lagi mereka yang gagal menempuh pendidikan atau putus ditengah jalan, dan ini mengakibatkan jumlah pengangguran bertambah.
Kegagalan tersebut sering dialami karena mahalnya pendidikan. Sekolah dan atau perguruan tinggi negeri dan swasta tidak jauh beda, keduanya menyandang biaya tinggi, setingkat negeri pun tidak mampu memberikan biaya murah atau bahkan gratis. Apalagi swasta yang tentu sekolah para kelas menengah. Kelas menengah pun demikian, terkadang masyarakat menginginkan pendidikan yang baik dengan menyekolahkan anaknya di pendidikan swasta bahkan berakhir juga harapanya putus ditengah jalan oleh sebab mahalnya biaya pendidikan. Antara swasta dan negeri tidak jauh beda harganya, kualitas pendidikannya walaupun terlihat swasta sedikit lebih maju namun output dari pada kedua ini mengarahkan manusia bukan untuk menjadi cerdas, kritis dan bebas merdeka. Tetapi arahan konsep pendidikan yang dibentuk justru melahirkan manusia pekerja.
Manusia pekerja layaknya berkerja didalam pabrik-pabrik, instansi-instansi, dunia militer, dan terjun ke politik praktis yang semuanya terkontrol dalam melanjutkan sikap kekuasaan yang telah lama dibangun. Hal ini menunjukan bahwa terkapitalisasinya pendidikan dengan mewadahi paradigma konservatisme terus tumbuh subur dalam negara Indonesia yang bertopeng demokrasi dan hukum. Dunia pendidikan Indonesia justru mengasingkan manusia dari hakekatnya sebagai manusia.
Jadi dalam sistem pendidikan bank, pendidik adalah figur yang mahatahu. Sedangkan peserta didik adalah yang belum tahu. Lebih lanjut, Freire mengatakan bahwa sistem pendidikan seperti ini akan mengelabui kesadaran manusia (Murtiningsih: 2004).
Konsep pendidikan gaya bank ini sama dengan apa yang dikatakan Sartre sebagai konsep pendidikan yang bersifat digestive (mengunyahkan) atau nutritive (memberi makan). Menurut Sartre, konsep ini menganggap pengetahuan dapat “disuapkan” supaya “mengenyangkan” peserta didik.
Krisis Kesadaran
Keberadaan manusia dalam sejarah tidak pernah berakhir. Freire berpikiran bahwa manusia menerima kenyataan atau realitas dihadapanya sebagai proses yang dapat direfleksikan serta dilihatnya sebagai sejarah (Murtiningsih:2004). Manusia menyatakan dunianya sebagai bagian sejarah dari kompleks masa lalu, masa kini, dan masa datang. Manusia sejati tidak dibatasi oleh masa kini yang abadi. Manusia demikian mengalami kenyataan sebagai persoalan untuk diselesaikan. Masa lalu, masa kini, serta esok tidaklah terisolasi. Melainkan terjalin sebagai satuan yang saling berhubungan, membangun kesinambungan sejarah, serta membentuk satuan-satuan epos.
Dinamika politik yang terjadi saat ini sedang menggambarkan keadaan dimana krisis kesadaran itu menjadi tampak kelihatan. Secara struktural sistem pemerintahan telah mengalami banyak persoalan. Persoalan-persoalan ini bukan hal baru yang muncul namun telah ada berulang kali, sehingga didalam birokrasi pemerintahan Indonesia yang mana telah tercemar dengan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Pemerintah membentuk Komisis Pemberantasan Korupsi (KPK), tim pengamanan pada setiap implementasi kebijakan yang buat pemerintah, pengawalan proyek-proyek negara dan semua secara aturan berada dalam Undang-Undang Dasar 1945 serta turunannya. Namun masih saja muncul penyelewengan dan penyalahgunaan anggaran, manipulasi data, kebal terhadap hukum dan represif terhadap demokrasi.
Secara ekonomi terjadi banyak masalah yang mana pemerintah tidak memberikan akses dan harapan masa depan terhadap masyarakat ketimbang membentuk peraturan perundangan untuk mengisolasi kebebasan perekonomian rakyat. Tahun 1970-an Indonesia Booming minyak, Negara seakan terapung diatasnya. Tetapi, akhirnya kita tak dapat suatu apapun kecuali bahwa Pertamina hampir saja bangkrut. Tahun 1980-an ada Booming kayu, tetapi yang didapat negara hanya gundulnya hutan tropis di Sumatera, Kalimantan, dan Papua dan meningkatnya kerentanan terhadap banjir setiap hujan turun. Tahun 2000-an ada Booming mineral, batubara, tetapi tidak ada tertinggal untuk negara dan bangsa. Hasilnya, hancurnya lingkungan dengan 95 persen eksportir yang tak punya nomor pokok wajib pajak. Satu-satunya yang masih terselamatkan hanyalah laut, mesti masih ada perampokan hasil laut dengan cara-cara yang membahayakan kerusakan pada isi lautan tersebut. Fakta masa lalu dibandingkan saat ini justru melambung tinggi sebagaimana pengelolaan sumber daya alam tidak terkontrol hingga mengakibatkan dampak buruk bagi masyarakat adat, flora dan fauna, hutan lebat, ekosistem laut semuanya menjadi hancur tanpa ada perbaikan atau ganti rugi.
Hubungan sosial politik menjadi rapuh hal ini memberikan hilangnya kepercayaan rakyat terhadap negara. Kontrol sosial pun menjadi sulit teratasi, yang ada justru pendekatan militeristik yang dilakukan oleh negara untuk menjaga keamanan dan kenyamanan. Sumber kekacauan tersebut tidak terjadi dari luar tetapi oleh karena krisis kesadaran yang dialami individu dalam sistem pemerintahan sehingga sikap politik negara ini cenderung bersembunyi dibalik megahnya bangunan, infrastruktur, kampanye moral, nilai-nilai agama menjadi legitimasi karakter politik bangsa yang sejatinya menyandang kebohongan terhadap publik.
Berdasarkan situasi dan kondisi yang tengah terjadi seperti ini memberikan dampak buruk bukan kepada suatu komunitas tertentu namun menyebar ke seluruh lapisan masyarakat hingga menjadi masalah yang sangat krusial. Negara ini bukan saja krisis kesadaran yang dialaminya dan kemudian pendidikan itu terlepas dari kondisi tersebut. Pendidikan sendiri juga sedang berada dalam situasi dimana sedang mengalami degradasi. Desain sistem pendidikan ini lahir dari penguasa negara yang membuatnya menjadi terikat sehingga tidak melahirkan kebebasan dalam berpendidikan. Terkontrol dan terpusat pada suatu konsep pemikiran yang juga tidak keluar jauh dari aliran konservatisme. Pendidikan dijadikannya sebagai alat pendukung atau perangkat kekuatan yang tercipta sebagai kelanjutan dari penguasa itu sendiri, karena pada dasarnya bahwa kebutuhan penguasa adalah kekayaan yang menguntungkan mereka dan bukan untuk masyarakat secara umum. Oleh sebab itu, kecerdasan tidaklah untuk dimiliki oleh semua manusia atau didalam sosial bernegara. Kecerdasan yang dibangun bertujuan hanya untuk pengamanan politik penguasa didalam sebuah negara seperti yang terjadi saat ini di Indonesia.
Negara dan Krisis Kesadaran
Horace Mann, pemikir pendidikan yang sering dikutip filsuf Jhon Dewey mengatakan “Education is our only political safety, outside of this ark is the deluge” (pendidikan adalah pengamanan politik kita satu-satunya, diluar bahtera ini hanya ada banjir dan air bah). Menurut Mann, pendidikan umumnya merupakan penemuan terbesar manusia. Organisasi-organisasi sosial lain semuanya hanya kuratif dan remedial sifatnya. Sekolah saja yang dapat mencegah dan menangkal kesulitan dan bencana. Namun demikian, hanya pendidikan dengan asas-asas dan praktik yang benarlah yang dapat menjadi pengamanan politik dan menciptakan sumber daya manusia, yaitu orang-orang yang dilengkapi tingkat kecerdasan tertentu dengan watak dan prinsip-prinsip tertentu. Orang-orang yang dididik dengan baik dapat membantu proses produksi dalam ekonomi dan memperkuat integrasi sosial dalam kelompoknya. Sebaliknya, pendidikan yang centang-perenang, tanpa arah dan tujuan jelas, hanya akan menghasilkan orang-orang yang menjadi beban masyarakatnya dan sumber masalah yang mempersulit kehidupan bersama.
Kita dapat memahami perkembangan negara ini melalui sistem pendidikan seperti apa yang mengakibatkan negara ini selalu melahirkan manusia pekerja, mengasingkan manusia dari hakekat kemanusiaannya. Saya dapat meyakinkan Anda bahwa sistem pendidikan ini ketika dilepaskan dari yang disebut sebagai liberal kapitalistik dalam pendidikan atau pendidikan gaya bank yang disebut Paulo Freire maka pendidikan akan terlihat menyandang manusia-manusia cerdas, kritis, dan bebas merdeka.
Pemahaman klasik yang masih diidam-idamkan mesti harus ditinggalkan, oleh karenanya kita masih berkutat pada cara berpikir lama. Negara yang menganut paham demokrasi dan hukum mesti melepaskan paradigma konservatisme. Jika tidak demikian, keadaan ini hanya akan terus berulang seperti sikap konservatif yang dengan kemapanannya merasa yakin bahwa masa depan akan lebih baik dengan mempertahankan paradigma tersebut.
Pendidikan yang mengandung nilai-nilai demokrasi dan hukum ketika tidak dipraktekan dengan baik maka kita akan tenggelam dalam keterpurukan yang terus menghantui secara struktural hingga berbagai persoalan kunjung menyebar dan tak terselesaikan. Jika sistem pengendalian penguasa membebaskan kendali mereka dan memberi kebebasan serta sistem pendidikan yang layak untuk mencapai suatu kemerdekaan individu atau kelompok dalam menerima pendidikan maka tentu kolusi, korupsi, dan nepotisme kemudian absolutisme dengan semua pikiran konservatif tentu akan hilang dan diganti dengan pemikiran kritis yang sifatnya terus menciptakan kemajuan tanpa mencederai pihak lain.
Di setiap aspek kehidupan manusia pada aktivitasnya baik secara individu maupun kelompok mulai dari kehidupan politik, kehidupan sosial, kehidupan ekonomi, kehidupan budaya dan beragama tentu semuanya tidak terlepas dari yang namanya proses belajar. Belajar memahami, mencoba, mengulangi, bahkan secara serius mempelajari sesuatu hingga benar-benar mengerti akan hal tersebut. Serta dapat memiliki ilmu pengetahuan bersamaan dengan berkembangnya dunia di era teknologi. Dengan demikian proses tersebut dapat muncul sebuah perubahan atau karya baru berdasarkan ilmu pengetahuan dari dialektika manusia dalam kehidupan.
Pendidikan juga harus dilepaskan dari iklim demokrasi, pendidikan dalam iklim dominasi ini akan memperlihatkan kalau ia dilaksanakan diatas kepentingan egoistis pendidik. Egoisme pendidik diselubungi oleh kepalsuan kedarmawanan paternalistis. Sehingga membuat peserta didik menjadi objek-objek pendidikan dan humanitarianisme pendidik yang sebenarnya tidak humanistis. Pendidikan lalun menjadi instrumen usaha dehumanisasi. Yang lalu merangsang timbulnya sikap-sikap gampang percaya dan membuat pribadi menjadi otomat-otomat yang mengingkari tujuan hidup serta martabat sendiri.
Paradigma pendidikan Indonesia telah terkooptasi dalam ideologi konservatisme yang mengakibatkan maju-mundurnya negara ini, sehingga kiblat pendidikan lebih condong ke komersialisasi. Kualitas sumber daya manusia seperti barang dagangan yang diperjualbelikan, hal ini tidaklah tepat karena secara potensial manusia tidak diciptakan untuk dijual beli. Pendidikan akan jauh lebih baik ketika paradigma konservatisme dipisahkan darinya, sebab ilmu pengetahuan tidaklah statis dan berpatokan terus-menerus pada masa lampau.
***
Daftar Pustaka
Efriza. (2009). Ilmu Politik, Dasar Ilmu Politik sampai Sistem Pemerintahan. Yogyakarta: Alfabeta.
Kleden, I. (2015, Juni Kamis). Tanggung Jawab atas Pendidikan. Kompas.
Mu’ammar, A. (2019). Nalar Pendidikan Kritis. (A. Wahid, Penyunt.) Yogyakarta: IRCiSoD.
Murtiningsih, S. (2004). Pendidikan Alat Perlawanan, Teori Pendidikan Radikal Paulo Freire. Yogyakarta: Resist Book.