Catatan dari Kampung Pemekaran Acak-Acak

Pemekaran Acak-Acak

-

Gegap gempita pemekaran daerah seolah menjadi gayung bersambut hasrat elit Papua untuk menantikan deretan jabatan yang siap mereka perebutan dengan berbagai macam cara. Obral kampanye pemekaran daerah menjadi kata sakti dari para elit Papua untuk merengkuh dukungan. Gosip dan perbincangan tentang pemekaran daerah tidak hanya berlangsung di daerah perkotaan pada lingkaran elit politik dan birokrat, tetapi sudah menyebar luar hingga ke kampung-kampung.

Fragmen di kota Sorong akhir tahun 2014 yang saya rasakan menggambarkan bergairahnya perbincangan tentang pemekaran daerah dan “atur-atur” posisi jabatan tersebut. Di sebuah hotel di depan Tembok Berlin Sorong, saya menyaksikan kumpulan para elit Papua yang berdiskusi serius membentuk lingkaran di cafe hotel. Para elit lokal di kepala burung ini berpakaian rapi dan bersepatu kulit sejak dari sarapan hingga melewati makan siang hari begitu asyik berdiskusi menghabiskan waktu mereka ditemani rokok dan sirih pinang. Secara sumir saya perhatikan mereka saling membagi laporan perkembangan masing-masing daerah untuk konsolidasi pemekaran di kepala burung.

Saya merasakan pergunjingan dan gosip politik yang tidak jelas ujung pangkalnya tentang pemekaran daerah menjadi candu yang menggiurkan sekaligus mematikan, khususnya bagi para elit lokal dan secara pelan namun pasti hingga ke masyarakat akar rumput. Berita media-media massa pun membahas tentang pro dan kontra seputar wacana pemekaran daerah yang terus-menerus terjadi tanpa henti. Wacana pemekaran telah menjadi konsumsi publik dan menjadi penegasan bahwa perbincangan tentang politik menjadi hal yang dominan tentang Papua menyingkirkan masalah lainnya seperti perampasan alam Papua, kesehatan, pendidikan, perempuan, dan hal lainnya. Pemekaran yang dilaksanakan secara acak-acakan, serampangan, dan kejar tayang inilah yang sering disebut dengan pemekaran acak-acak.

Sisi Gelap Pemekaran

Pengesahan UU tentang pemekaran Provinsi Papua Selatan, Papua Pegunungan Tengah, dan Papua Tengah dan menyusul kini RUU pemekaran Papua Barat Daya mengundang kontroversi dan ketegangan berkelanjutan di tanah Papua. Beberapa bagian masyarakat dan elit lokal terus memperjuangkan pemekaran, sebagian elemen masyarakat lainnya justru menolaknya dengan berbagai alasan. Demonstrasi berlangsung silih berganti. Beberapa alasan yang menjadi ketakutan dari gemuruh pemekaran ini bagi rakyat Papua mulai dari membuka peluang migrasi para pendatang, ketersingkiran orang asli Papua di tanahnya sendiri, hingga korupsi ekonomi dan politik yang melibatkan para elit lokal Papua dan beberapa elemen masyarakat yang menjadi kolusinya. Cita-cita luhur pemekaran untuk mensejahterakan masyarakat seakan pelan namun pasti menjadi jauh dari harapan. Kesejahteraan rakyat telah dirampas oleh sebagian kelompok masyarakat dalam komunitas mereka sendiri. Intinya terjadi keterpecahan yang akut di tengah masyarakat antara yang berapi-api memperjuangkan pemekaran dan menolaknya karena akhirnya menjadi candu yang melumpuhkan.

Jika kita melihat sejarah panjang pemekaran daerah, yang pasti terjadi di kemudian hari saat pemekaran betul-betul terjadi hanya ketidakpastian janji-janji manisnya bagi masyarakat bawah. Ketidakpastian itu bersumber dari tidak jelasnya perilaku para elit dalam mempersiapkan pemekaran. Situasi ini mengakibatkan semakin jauhnya cita-cita untuk kesejahteraan seperti yang dijanjikan oleh pemekaran daerah. Ketidakpastian tentang seriusnya pemekaran daerah ini berhubungan dengan perilaku para pejabat “pejuang pemekaran” ini dan biaya-biaya “koordinasi” yang dipergunakan untuk menanggung ongkos biaya tim pemekaran melakukan perundingan-perundingan di Jakarta maupun melakukan konsolidasi di tingkat masyarakat di kampung-kampung. Baku tipu (saling menipu) administrasi pengajuan daerah pemekaran dan ongkos-ongkos koordinasi hilir mudik takaruan (tidak karuan).

Sementara di kalangan masyarakat sendiri, karena pemekaran-pemekaran daerah inilah yang menyebabkan mereka kembali menoleh kampungnya di pegunungan. Tujuannya adalah untuk mendapatkan keuntungan berupa ganti rugi karena dipergunakannya tanah-tanah mereka untuk pembangunan infrastruktur pemerintahan. Tujuan lainnya, beberapa birokrat yang sebelumnya bertugas di kota berebut kembali ke wilayah pemekaran baru dengan harapan mengisi jabatan yang lebih tinggi. Mereka kemudian memobilisasi masyarakat melakukan pengkaplingan terhadap tanah-tanah ulayat mereka. Sebelumnya tanah ini tidak dipedulikan karena tidak bernilai uang, namun saat ini menjadi rebutan karena akan mendapatkan ganti rugi.

Suasana kampung lama berdekatan dengan distrik. Rencana kampung baru berada di belakang bukit. Foo: I Ngurah Suryawan.
Suasana kampung lama berdekatan dengan distrik. Rencana kampung baru berada di belakang bukit. Foto: I Ngurah Suryawan.

Seorang narasumber yang pernah saya wawancarai penghujung tahun 2013 di wilayah kepala burung Papua mengungkapkan, “Semua (pemekaran daerah) tujuannya adalah pragmatis, uang dan kekuasaan. Saya bisa melihat gejala itu. Motivasi awalnya saat pemekaran daerah muncul memang seolah-olah murni aspirasi untuk kesejahteraan masyarakat.” jelasnya. Ia secara aktif terlibat dalam salah satu wilayah pemekaran di Papua Barat. Tugasnya adalah menemani perjalanan perundingan-perundingan politik para tokoh pemekaran ini ke Jakarta. Para anggota tim sukses inilah yang secara bergantian ke Jakarta untuk melakukan perundingan-perundingan yang mendesak anggota DPR RI untuk mensukseskan rencana pemekaran di daerah mereka. Masyarakat di kampung-kampung sering menyebutkan dengan istilah “koordinasi” atau “koordinasi untuk perjuangan” untuk menjelaskan kepergiaan tokoh-tokoh mereka ke Jakarta untuk mengurus pemekaran ini.

Hasrat Pemekaran Kampung    

Salah satu daerah pemekaran kampung yang sudah dihuni oleh masyarakat. Foto: I Ngurah Suryawan.
Salah satu daerah pemekaran kampung yang sudah dihuni oleh masyarakat. Foto: I Ngurah Suryawan.

Pada akhir tahun 2021, saya merasakan semangat pemekaran sungguh terasa di pedalaman Distrik Neney, Manokwari Selatan. Beberapa masyarakat yang saya temui sangat antusias membicarakannya. “Pejabat dong tembak masyarakat pu jantung.” ujar paitua yang punya rumah tempat kami tinggal. Para elit politik yang menang maupun kalah dalam pemilihan bupati sama-sama mengusung program pemekaran kampung. Selain itu ditambah-tambah lagi dengan janji bahwa dengan pemekaran kampung akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Bantuan akan datang “banjir” (hadir terus-menerus). Itulah jantung dari masyarakat yang merindukan kesejahteraan dan kehidupan yang layak.

Saat ini Distrik Neney, Kabupaten Manokwari Selatan, terdiri dari tujuh kampung yaitu: Kampung Neney, Disi, Wama, Aryawanmoho, Sesum, Hiyou, dan Benyas. Rencana pemekarannya menjadi delapan kampung lagi yaitu: Kampung Anggrek Indah, Irij, Sunggera, Umey, Mboryo, Maupodi, Bosmer, dan Srimeri. Kepentingan tokoh politik dan pejabat bertemu dengan keinginan masyarakat untuk mengakses dana-dana yang langsung ke kampung. Namun, soal di internal kampung bukannya sederhana. Struktur kepemilikan tanah masyarakat, keberagaman marga, hak dan kewenangan di kampung sungguh sangat kompleks.

Dinamika pemekaran kampung begitu kompleks berkaitan dengan perlombaan akses terhadap dana desa (kampung). Pada sisi yang lain, dana kampung dan pemekarannya melahirkan berbagai tingkah pola manusia. Maka tumbuhlah para elit, broker, atau orang-orang yang bersiasat memanfaatkan situasi. Pada konteks inilah yang bertemu dengan seorang elit pemuda di Neney yang menjadi kontraktor dan “penyambung lidah masyarakat” untuk dibawa ke Ransiki. Selain kontraktor dengan dua CV milikinya, Petrus, sebut saja namanya begitu, juga menjadi sekretaris organisasi pemuda terkenal, pernah maju menjadi calon anggota legislatif Manokwari Selatan, hingga menjadi broker untuk memasukkan pegawai honorer di kabupaten.

Petrus sangat bersemangat saya temui di rumahnya malam hari. Ia secara rinci menjelaskan proyek-proyek ke distrik dan kampung-kampung yang Ia “tangani”. Ia berusaha untuk memekarkan kampung agar proyek-proyek dari dinas dan juga dana kampung bisa Ia dapatkan. Ia dengan bangga menyebut dirinya sebagai penguasa proyek di kampung, sehingga kalau ada proyek yang masuk harus sepengetahuannya. Ia berkisah pernah melakukan pemalangan proyek yang masuk ke kampung karena langsung permainan di kabupaten dan tanpa melalui dirinya sebagai “pemain proyek”.

Tokoh politik, pejabat birokrat, dan para “pemain proyek” seperti Petrus akan terus subur dan menjadikan pemekaran provinsi, kabupaten, distrik, dan kampung sebagai “jualannya” sekaligus mendapatkan keuntungan dari proyek tersebut. Janji manis kesejahteraan dan pemberdayaan masyarakat perlu dipertanyakan serius. Kalaupun itu janji yang tulus untuk diwujudkan, janjinya berada dalam kubangan sistem yang merusak.

Pada sisi yang lain, impian kesejahteraan dan banjir bantuan itulah yang menyebabkan ketergantungan masyarakat. Masyarakat kemudian memunggungi kebun, dusun-dusun dan sumber kehidupan dari alam lainnya. Mereka menantikan janji manis pemekaran kampung dan banjir bantuan tadi datang. Tidak perlu lagi bersusah-susah ke kebun dan menokok sagu. Cukup memegang map berisi proposal dan uang akan cair. Melalui pemekaran kampung diyakini akses itu semakin luas. Itulah janji manisnya. Mimpi yang membuat ketergantungan yang tidak diwujudkan dengan kerja keras berkebun dan merintis kemandirian. Mimpi yang berlandaskan semangat ketergantungan.

Pemekaran acak-acak seeeh …

***

I Ngurah Suryawan
Penulis adalah antropolog dan dosen di Universitas Papua (Unipa), Manokwari, Papua Barat.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Rekonstruksi Identitas Orang Papua Melalui Perubahan Nama Tempat

Irian berubah menjadi Irian. Masyarakat Papua atau orang-orang yang...

Rosa Moiwend dan Kesalahan Teori Patriarki

Rosa Moiwend, salah satu kamerad kita di Papua menulis di media Lao-Lao Papua pada 9 Juni 2023, bahwa gerakan...

Ekofeminisme dan Hubungan Antara Perempuan dengan Hutan Sagu

Sebuah pandangan mengenai hubungan antara perempuan dengan hutan sagu di Kampung Yoboi, Sentani dan bagaimana mengujinya dengan perspektif ekofeminisme. Sagu...

Ancaman Pembangunan Terhadap Lahan Berkebun Mama Mee di Kota Jayapura

"Ini kodo tai koo teakeitipeko iniyaka yokaido nota tenaipigai, tekoda maiya beu, nota tinimaipigai kodokoyoka, tai kodo to nekeitai...

Memahami Perempuan (Papua) dari Tiga Buku Nawal El Saadawi

Sebuah ringkasan secara umum Pengantar Isu feminisme di Papua pada umumnya masih banyak menuai pro dan kontra. Itu bisa kita temukan...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan