Buku bersampul merah yang ditulis Dr. Socrates Yoman berjudul Perempuan Bukan Budak Laki-Laki ini telah menimbulkan banyak perdebatan di media sosial. Sebuah judul buku dengan pilihan diksi yang tentu merangsang orang untuk melahap tiap halaman secara tertib tanpa melompat.
Walau tidak hadir dalam peluncuran buku tersebut pada Sabtu, 16 Juli 2022, saya dikasih satu buku. Saya dikasih oleh seorang kawan perempuan berdarah Sentani yang menghadiri peluncuran buku tersebut.
Buku yang digratiskan ke saya itu belum saya baca, sudah ada tantangan untuk saya. Ester Haluk, penulis buku Nyanyian Sunyi sebuah buku kumpulan puisi itu, menodong saya untuk menulis pendapat saya atas buku yang saya dapat secara gratis itu.
“Ipus, kalau sudah baca bapak Pendeta Yoman punya buku terbaru itu, saya mau tahu ko punya pendapat tentang buku itu seperti apa. Jadi ko harus bikin tulisan seperti adik Soleman Itlay. Tapi ko harus kirim tulisan itu ke media masa jangan hambur di facebook.” Begitu katanya ke saya.
Permintaan itu saya iyakan tetapi tidak serius. Karena tidak serius, saya mengabaikan dengan tidak membaca buku tersebut. Namun setelah berkunjung ke facebook, saya terkejut dengan ramainya komentar atas buku merah itu. Kejutan itu pun merayu saya untuk bersikap serius mengiyakan permintaan Ester Haluk untuk menulis pendapat saya.
Agar tidak membabibuta terhadap karya besar Ketua Sinode Gereja Baptis Papua, Pdt. Socratez Yoman, saya yang mulai malas membaca, berusaha membaca dan memahami tiap halaman buku itu.
Setelah menikmati tiap halaman buku Perempuan Bukan Budak Laki-Laki, respon saya terutama adalah berterima kasih buat Pdt. Yoman atas bukunya itu. Secara pribadi, saya menolak penindasan atau kekerasan terhadap perempuan.
Saya menolak kekerasan terhadap perempuan bukan karena ada pandangan bahwa perempuan itu kaum lemah sehingga harus dijaga. Tapi karena penilaian pribadi saya atas kehadiran perempuan (Hawa) di Taman Eden yang berbeda dari apa yang ditulis Pdt. Yoman dan mungkin pendeta lainnya.
Menurut saya jika tidak ada perempuan (Hawa) di Taman Eden, maka Taman Eden seindah surga pun akan terasa gersang bagi laki-laki (Adam). Jadi perempuan tidak semestinya dinilai sebagai kaum yang lemah karena berasal dari tulang rusuk laki-laki. Tetapi perempuan adalah patner kerja yang akan membuat segala sesuatu indah pada waktunya seperti kehadiran Hawa di taman Eden yang membuat Tuhan menilai semuannya indah dan baik.
Yang menjadi persoalan dari buku setebal 99 halaman milik Pdt. Socrates Yoman adalah pilihan diksi atau kata budak dalam judul tersebut. Antara diksi budak dan isi buku membuat pilihan judul seperti itu saya nilai sebagai strategi pasar atau pemasaran agar laku terjual.
Pdt. Yoman tidak menghadirkan data yang kuat untuk menguatkan diksi budak dalam judul bukunya. Atau tidak mengajak kita jalan-jalan untuk melihat masa dimana praktek perbudakan perempuan Papua terjadi dan praktek itu menjadi lumrah di mata masyarakat Papua. Itu tidak ada.
Menghadirkan konflik rumah tangga sebagai praktek perbudakan laki-laki atas perempuan adalah kekeliruan yang fatal. Karena antara majikan dan budak serta suami dan istri itu memiliki dasar ikatan yang berbeda. Seorang yang menjadi budak pada dasarnya menolak menjadi budak.
Tetapi perempuan yang memilih menjadi seorang istri sebelum terikat dengan surat nikah, dia terikat dengan perasaannya terlebih dahulu terhadap laki-laki yang menjadi suaminya. Oleh sebab itu, menjadikan kekerasan dalam rumah tangga sebagai contoh perbudakan laki-laki atas perempuan itu keliru.
Tidak menjadi keliru bila judulnya adalah Surat Nikah Bukan Surat Izin Laki-Laki Tinju Perempuan atau apalah, intinya judul buku merah itu sangat propokatif. Karena dewasa ini gereja yang “paksa” menikahkan dan mengeluarkan surat nikah. Dan tafsir teologis yang dangkal yang membuat laki-laki merasa superior atas perempuan bersumber dari para teolog yang digaji gereja. Jadi lembaga gereja yang harus pangkal kritik buku itu, bukan laki-laki.
Juga bagi saya. Jika tujuan utama buku itu adalah tujuan ekonomi, maka judul seperti itu tidak ada gunanya diperdebatkan. Tetapi bila tujuan utamanya adalah untuk menyadarkan masyarakat Papua, bukan saja laki-lakinya, saya rasa judul tersebut justru sebaliknya akan mengkristalkan kebudayaan asing yang dibawah orang-orang kulit putih yang datang ke Papua.
Pada tahun 1600, orang-orang kulit putih mulai mencari tanah untuk kepentingan mereka. Ketika mereka tiba di tanah air kita, mereka sulit untuk mengontrol dan menguasai tanah kita. Mereka baru berhasil dan dapat mengontrol tanah dan kehidupan kita ketika muatan yang mereka ambil ke tanah air kita tahun 1855 bukan lagi hukum dan militer tapi Alkitab.
Alkitab yang dibawah orang-orang kulit putih dengan pelembagaan misionaris dan zending merubah corak produksi dan relasi sosial dalam komunitas-komunitas masyarakat Papua yang harmonis tanpa perbedaan mulai disekat-sekat. Dulunya pekerjaan membuat kebun dikerjakan secara bersama-sama, tapi sekarang perempuan urus dapur saja.
Orang-orang kulit putih (para zending dan misionaris) datang dengan budaya kerja di pabrik. Dimana perempuan adalah tenaga buruh murah dan anak-anak tidak bisa kerja di pabrik mereka praktekan kepada orang Papua. Perempuan tidak boleh punya tanah, laki-laki saja yang punya tanah sehingga perempuan baiknya di rumah saja.
Pandangan orang-orang kulit putih itu dilatarbelakangi oleh kehidupan nenek moyang mereka pada masa pencerahan. Masa dimana gereja berkuasa, masa dimana pembagian kelas sosial berdasarkan jenis kelamin mulai tumbuh.
Kedatangan orang-orang kulit putih yang datang dengan kebudayaan mereka yang dipaketkan dalam Alkitab pada tahun 1855, membuat orang Papua mulai mengenal perbedaan kelas. Dan disitulah benih-benih yang membedahkan kekuasan laki-laki dan perempuan mulai ditanam dan kini buahnya mulai dipanen dan ranting-rantingnya dipangkas bapak Pdt. Yoman melalui buku yang judulnya menyerang korban, bukan pelaku yang sesungguhnya.
Saya heran juga karena untuk melindungi perempuan dari kekerasan yang dilegalkan oleh surat nikah dari Gereja, Pdt. Socratez Yoman yang sudah banyak menulis buku hanya menyisahkan empat halaman untuk mengkritis gereja. Apakah karena beliau Ketua Sinode Baptis? Bisa juga.
Tapi itulah posisi yang tepat untuk membuat perubahan dengan mengkritik habis-habisan sikap gereja yang sontoloyo terhadap kekerasan domestik. Hanya sekali membuat pastoral langsung dijadikan alasan gereja sudah melaksanakan tugasnya, kalau masih ada KDRT lapor polisi saja. Yang macam begini ada di jemaat saya, GKI Betania Dok IX Kali, Kota Jayapura.
Saya juga menilai bahwa kasus-kasus di luar Alkitab yang digunakan Pdt. Socratez Yoman dalam bukunya terlalu jauh seperti bumi dengan langit. Kasus-kasus di luar Alkibat yang dihadirkan penulis dalam bukunya itu tidak cukup kuat. Karena tidak ada data konsensus yang dibuat oleh laki-laki untuk menjadikan perempuan sebagai budak laki-laki. Atau tidak ada data seperti itu.
Yang punya alat untuk melegalkan kekerasan atau istilah Pdt. Yoman, perbudakan laki-laki atas perempuan adalah gereja, bukan jenis kelamin laki-laki. Jadi yang harus menjadi titik sentral kritik dalam buku itu adalah gereja. Sehingga empat halaman itu harus menjadi 40 halaman kalau bisa. Dan judulnya dari Perempuan Bukan Budak Laki-Laki mesti diganti seperti yang saya sarankan di atas.
Karena seperti yang diulas oleh Pdt. Yoman, bahwa perempuan mengalami kekerasan yang berbasis teologis itu akibat dari adanya kegagalan tafsir dari para teolog, dan itu benar. Dan bagi saya, penggunaan kata para teolog itu tidak saja melekat pada laki-laki, tapi juga melekat pada perempuan.
Ada perempuan yang juga pendeta, yang bisa saja karena pengaruh budaya asing yang menyusup masuk ke dalam kebudayaan orang tuanya dan turut membentuknya, jadinya ia mengkontekskan kebudayaan baru yang telah berakar kuat itu ke dalam tafsir teologi yang memperkuat posisi laki-laki ketika ia memimpin ibadah persekutuan kaum bapak. Bisa saja. Jadi perempuan juga turut memperkuat perbudakan itu, dan itu berpeluang pada perempuan yang berprofesi teolog.
Tafsir teologi dari teolog perempuan untuk menguatkan sistem patriarki yang menindas perempuan bisa saja terjadi. Mengingat kisah Hana dalam 1 Samuel 1-11 yang diambil menjadi bagian Pdt. Yoman dalam bukunya itu bisa menjadi pembenaran terbalik karena Hana berdoa kepada Tuhan meminta seorang anak laki-laki, bukan seorang anak, tanpa mengharapkan jenis kelamin laki-laki.
Entah laki-laki atau perempuan sebaiknya terserah Tuhan, bukan Hana. Tapi Hana meminta anak laki-laki dibanding perempuan. Sehingga bisa jadi bisa tidak, seandainya yang dilahirkan Hana adalah perempuan, Hana akan bersikap tidak manusiawi kepada anak itu. Bisa iya, bisa tidak. Ini pengaruh budaya orang Yahudi dimana perempuan selalu dinomor duakan.
Artinya, perempuan sendiri pun dapat memperlakukan perempuan lain secara tak manusiawi sebagaimana Megawati yang melarang anaknya, Puan Maharani untuk tidak menikah dengan tukan Bakso tanpa berpikir panjang bahwa tukan bakso atau penjual bakso itu profesi atau sebuah pekerjaan yang bisa ditekuni oleh perempuan, tidak cuma laki-laki.
Jadi, setelah membaca buku yang editornya adalah seorang yang namanya tidak asing lagi ditelinga saya, kakak Basilius, saya menilai pilihan kata yang menjadi judul buku Pdt. Yoman yang terhormat itu, terlalu bombastis. Sementara tidak disertai data yang kuat walau argumentasi menentang tafsir teologi yang keliru dari para teolog yang tidak saja laki-laki tapi ada juga perempuan yang membuat laki-laki merasa superior atas perempuan, itu benar.
Jadi data di luar teks Alkitab yang digunakan Pdt. Yoman dalam buku yang desain sampulnya dikreasikan oleh Lintang itu, bagi saya tidak cukup kuat dijadikan sebagai dalil bahwa laki-laki secara umum, khususnya laki-laki Papua memperlakukan perempuan seperti budak setelah miras atau dipengaruhi oleh miras. Perbudakan itu dilakukan secara sadar karena isi otak penuh tafsir yang dangkal, bukan miras. Miras itu pengantar bukan pemberi perintah.
Juga bagian dari buku tersebut soal untuk menghormati Ibunya dan para perempuan di dunia. Saya juga hendak mendedikasikan kritik saya atas buku Pdt. Socratez Yoman untuk bapak saya. Ini juga bukan untuk membela para laki-laki pecundang yang sering bersembunyi dibalik tafsir-tafsir teologis yang dangkal setelah menyakiti perempuan secara fisik dan psikis.
Saya hanya ingin membela bapak saya yang tidak pernah memperbudak ibu saya. Tapi dengan judul buku yang menurut Soleman Itlay provokator itu, seakan menuduh semua laki-laki Papua termaksud bapak saya adalah laki-laki yang memperbudak perempuan.
Mama saya jauh lebih muda dari bapak saya. Tapi sejak hidup berumah tangga dengan bapak saya dan melahirkan kami lima orang bersaudara. Sehelai rambut mama saya tidak pernah merasa disakiti oleh tangan bapak saya yang beratnya 5 kg.
Bapak saya tidak pernah melayangkan tinju atau pun kata-kata makian kepada mama saya, walau dia dalam posisi mabuk atau dalam keadaan beralkohol, saat dimana saja kerja-kerja dapat dilakukan.
Bercermin dari bapak saya yang bisa saya hitung berapa kali dia pergi ke gereja sejak saya bisa menghitung sampai sekarang. Bahkan bapak saya tidak pernah pergi ke gereja selama 2 periode mama saya jadi majelis di gereja. Tapi tidak pernah melakukan kekerasan kepada mama saya. Membuat saya sependapat dengan kritik Pdt. Yoman bahwa pengaruh tafsir telogis yang dangkal dari teolog membuat laki-laki merasa superior atas perempuan.
Dapat dari mana tafsir thologis yang dangkal itu? Ya di gerejalah masa di jalan raya. Dan bapak saya karena tidak suka ke gereja maka otaknya tidak termakan tafsir yang menguatkan posisi laki-laki atas perempuan.
Terlepas dari itu semua. Saya mau bilang bahwa Pdt. Yoman tidak saja berani melawan diri sendiri sebagai laki-laki Papua yang dibesarkan dengan budaya patriarki yang kuat. Tapi Pdt. Yoman yang dicap separtis itu juga berani melawan sesama laki-laki Papua yang bertahun-tahun merasa diuntungkan dengan tafsir-tafsir teologi yang dangkal melalui bukunya itu.
Juga ada hal lain saya sebagai generasi muda bangsa Papua yang belakangan ini lebih mencintai handphone android dibanding buku cetak dan membaca. Merasa malu dan harus belajar kepada Pdt. Yoman. Karena di usia yang sudah tidak mudah seperti kita, beliau masih produktif menulis buku.
Thanks bapa pendeta, jangan lupa ganti judul buku itu.
***
Terima kasih buat kawan kwan yang sufah memberikan sumbangsi pemikiran baik berupa kritik atau saran terhadap bukunya Pdt Socrates nyoman. Selain dari pada untuk mengulas substanis dri buku tersebut tetapi juga bagi sebagai bahan pembelajaran bagi kita semu anak anak papua dalam dunia letarsi dgn memajukan tradisi intelektual kita.
Slam Hormat
tradisi Yahudi memperbudak perempuan/kaum wanita sebagai pemuas nafsu sang lelaki. Yohanes 8:1-11. tradisi Yahudi (PL dan PB).
Salam literasi 🙏🏾🙏🏾
Gereja menindas. Saya adalah anak yang tidak punya bapa. Ketika sakramen baptis, saya dipaksa untuk untuk mencari akte keluarga bapak, surat pernikahan, saya dipaksa untuk untuk mengaku marga.
Saya besar dengan mama, gereja memaksa mama untuk mencari tau semua itu.
Sejatinya sejak kebangkitan Tuhan Yesus hingga saat ini. Gereja tidak akan pernah membebaskan umat manusia.
Yang ke gereja minum obat Opium saja sudah. F*uck off
Saya merasa sangat tertindas dengan aturan gereja.
Saya sependapat dengan tulisan ini.
Judul harus diganti. Gereja yang menindas, gereja tidak mendampingi mereka yang terpinggirkan.
Terimakasih pak sofyan terimakasih atas tulisannya.
Ulasan yang luar biasa
Adakah Ebook dari buku inikah yang bisa kita akses. Terimakasih sebelumnya 🙏
Buku ini tdk mengefektifkan, tetapi menyesatkan generasi kaum perempuan dan juga kaum lelaki jaman sekarang. Sy sebagai laki2 Anak papua bangga, kepada beliau terkenal atau disebut juga seorang profesional dalam teolong, tetapi akhir ini, telah mengarahkan didikan yg slh besar…maka tetap lah rendah diri…bagi kaum perempuan…dengan perbandingan buku jgn km merah ternilai dalam jgn kau menjadi gaga …🤔🙏 asala bagi kaum lelaki membutuh kesadaran…sj tdk ada yg lain…thens GBU💪🙏🙋♂️
Siapa penilis artikel harus jelas ituk dipertangung jawabkan
Penulis bapak Yoman luar biasa
Tetapi.
Idiologis saya berapa tahun kendepan akan membangun gaya hidup Papua akan berubah,
ko apa
saya apa,
ko bisa
saya bisa
Itu akan terjadi hormat
Jadi harus ganti judul buku
Prempuan bukan budak Laki -laki
Terimakasih Penulis bapak Yoman luar biasa ini bapk memberikan contoh lajan bagi kami generasi berikut,
dan ini kita salah satu hal yang kritisi bagi laki-laki terhadap perempuan🙏