Literasi bukan hal baru untuk diperbincangkan. Sudah lama berkembang bersamaan dengan pradaban pikiran manusia. Khusunya filsafat sebagai Scince Mothers yang diawali di Yunani. Pada sekitaran 625-545 dan 483-375 SM munculnya para pemikir Phusukoi atau filsuf yang mengarahkan pikiran tentang alam (arche).
Kemudian di Athena antara 469-399 dan 400-300 SM munculnya pemikir-pemikir besar, polimat, yang benar-benar mencintai kebijaksaan pengetahuan, seperti Socrates, penerusnya Plato, dan Aristoteles. Sosok ketiga tokoh yang selalu menjadi panutan bagi perkembangan pengetahuan di hampir seluruh dunia. Karena dedikasi dan karya mereka menjadi pendonor pengetahuan bagi kelangsungan filsafat sebagai ilmu kritis yang melahirkan berbagai cabang ilmu pengetahuan.
Hingga berkat abdi regenerasi para pemikir, filsafat sebagai ilmu pengetahuan berkembang di berbagai era, hingga pada abad modern (abad 16-19 dan post modern atau Abad ke-20 , yaitu 2000 hingga 2022 sekarang. Yang saat ini sudah tua tapi relevan dan melahirkan banyak cabang ilmu, juga mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia termasuk literasi.
Setua literasi yang sedang berputar di dunia ini, oleh Education, Scientifik and Cultural Organization (UNESCO) membetuk pada tahun 1967, yang berawal dari konferensi ENESCO pada tahun 1965 dengan tema Word Conference of Ministers of Education on the Eradication of Literacy di Teheran, Iran. Dan pada tahun 1966 dideklarasikan pada tanggal 8 September sebagai Literacy Day atau Hari Literasi Internasional.
Maka, Kamis, 8 September 2022 adalah perayaan hari “Literasi Internasional” yang akan dirayakan dua hari (8-9). Badan khusus PBB ENESCO yang berkedudukan di Paris, untuk memperingati hari Literasi tahun ini pihaknya meluncurkan tema: Transfoming Literacy Learning Spaces yang artinya Transformasi Ruang Belajar Literasi.
UNESCO menyadari betapa pentingnya kesempatan ruang belajar literasi untuk membangun ketahanan dalam memastikan pendidikan yang berkualitas, adil, dan iklusif untuk semua orang. Perkembangannya tidak hanya tingkat kampus, negara, dan di kalangan intelek tapi harapannya sampai pada kaum awam atau masyarakat biasa.
Tidak terkecuali Indonesia sampai Papua, diharapkan juga membangun semangatnya. Apalagi intesitas pendidikan literasi di Indoensia ini yang terbilang rendah, jauh dari kata maju. Sebagaimana yang dilansir ENESCO, bahwa Indonesia menempati urutan kedua dari bawah soal literasi khususnya minat baca. Yaitu, hanya 0,0001% orang Indonesia yang rajin membaca dari negara-negara lain.
Seputar Literasi
Kata Literasi dari istilah Latin disebut literatus, artinya orang yang belajar. Belajar tidak hanya baca dan menulis tetapi juga kemampuan menghitung, memecahkan masalah secara kritis berstandar analisis. Hal ini oleh National Institute for Literacy menyebut tingkat kealihan literasinya harus sampai pada ruang masyarakat kelas bawah dalam kebutuhan hidup.
Selajutnya, oleh Education Developmen Center (EDC) menambahkan arti terminologi dalam kemampuan literasi adalah sebagai perkembangan potensi manusia. Sebagaimana kata potensi ini dalam hilemorfisme Aristoteles (Pemikir Yunani) menyebut sebagai proses menjadi dari suatu ensensi ke bentuk lain.
Juga UNESCO, mejelaskan potensi manusia dalam mengembangkan literasi ini adalah keterampilan nyata kognitif. Yang akan diperoleh dalam terapan akademik, konteks nasional-politik, nilai-nilai budaya serta pengalaman hidup.
Perkembangannya akan merujuk pada tingkat peran dan fungsi pada jenis literasi sesuai kebutuhan manusia dalam kadar akademik. Antara lain, literasi lisan, literasi baca menulis, literasi media, literasi digital inklusif, literasi informasi, dan literasi saitifik. Semua ini ada di era kekinian (modern) yang sangat relevan.
Teks dan Konteks Literasi Indonesia
Meskipun pendidikan Indonesia sudah sepersen menghasilkan profesor, doktor, master, dan sarjana tapi tetap saja teks dan konteks literasi masih prihatinkan. Sebagaimana data UNESCO menyebut di atas bahwa Indonesia urutan kedua dari bawah. Hanya 1% jiwa yang rajin membaca. Apalagi semangat menulis jika diukur kualitasnya.
Lain cerita lagi untuk literasi digital dan media. Mungkin Indonesia bisa rangking 1 (satu) soal berapa banyak pengguna. Sepertinya perubahan ikut serta dalam semangat modern ini. Sebagaimana oleh Prof. dr. Fransisko Budi Hardiman untuk menaggapi era ini ia menuliskan salah satu buku tersohornya yang berjudul, Aku Klik Maka Aku Ada: Manusia dalam Revolusi Digital. Dijelaskan keprihatinan rendahnya kualiatas manusia Indonesia dalam literasi baca menulis, meghitung dan mengolah data. Lebih banyak terpesona pada digital.
Hardiman juga menjelaskan dengan pertayaan filsafati. Siapakah manusia di era digital ini? Mengapa kebenaran menjadi tidak benar di media sosial? Di mana keindahan, ketika seni diviralkan sebagai pesan yang segera berganti? Bagaimana “klik” dapat merampas kebenaran kita?
Karena itu jelas bahwa manusia Indonesia banyak pengguna tapi kualitas pemakaiannya tidak beda jauh dengan balita. Artinya kesadaran literasi manusia untuk membangun etika, moral, dan kebudayaan warisan luhur serta pendidikan literasi Indonesia masih belum sukses. Semua hanyut dalam rayuan digital daripada semenit jelajahi samundera buku. Semua eksis “klik” sebagai “aku ada dalam lampu hijau online” tanpa kontrol ruang dan waktu, tugas, dan tangungg jawab.
Apalagi kebenaran sudah berganti dengan hoax yang diiklankan oleh penguasa demi menghasilkan isu dan wacana untuk menarik perhatian khayalak supaya agenda politik tetap lolos. Yaitu investasi kapital tanpa kontrol diskursus konstitusi. Sebagai game of life, pertaruhan gembala dan domba tanpa wasit dalam ring digital.
Semetara itu, manusia Indonesia sebagai pengguna digital setia juga memainkan peran penting dengan berbagai aplikasi mengiurkan. Sebut saja salah satunya Tiktok. Di sana ditampilkan keindahan rupa-rupa. Seperti mengapload tubuh erotis, “paha putih”, celana mini atau celana umpan, goyang patola, dan lain-lain sebagai dagang perhatian yang segera berganti nilai estetika dengan hawa nafsu.
Semua orang Indonesia jadi kurangnya kritis mengolah data dan informasi. Lahap begitu diviralkan. Sayangnya adalah menciptakan generasi “Aku Klik, Aku Puas, dan Aku Ada” sebagai manusia bayangan yang hidup di dalam media. Akibatnya mengikis semua nilai luhur yang diajarkan dalam agama maupun budaya.
Perkembangan literasi pun jadi mandek. Sebagai solusi untuk meningatkan kualitas berpikir agar kritis untuk menanggapi setiap tawaran, tapi tersisi tanpa arah dan kontrol. Meski arahnya ada, seperti yang kita lihat dalam setiap kurikulum yang dihasilkan untuk kemajuan pendidikan. Namun tolak ukur teks dan konteks kurikulumnya terlihat kurang berhasil. Entah karena pengajar yang kurang tepat? Atau mahasiswa yang kurang aktif? Atau penguasa memenagan kendali?
Bersambung … (Bagian 2)
***