Analisa Harian Tabrak Hukum, Kenapa KPK Tetapkan LE Sebagai Tersangka Korupsi?

Tabrak Hukum, Kenapa KPK Tetapkan LE Sebagai Tersangka Korupsi?

-

Belum diperiksa sebagai saksi dalam kasus korupsi, KPK sudah menetapkan Gubernur Papua, Lukas Enembe sebagai tersangka korupsi. Kasus yang dituduhkan itu adalah penyuapan dan gratifikasi APBD Provinsi Papua. Penetapan pemilik Timoramo Residen yang dibangun di atas lahan seluas 10 hektar di Koya Tengah, Distrik Muara Tami, Kota Jayapura, sebagai tersangka korupsi oleh KPK menuai protes dari masyarakat Papua yang tergabung dalam Koalisi Rakyat Papua (KRP) Save LE.

Dalam aksi demonstrasi KRP Save LE pada 20 September 2022 lalu, yang berpusat di taman Imbi Kota Jayapura, seorang yang saya kenal dalam orasinya menuding KPK melakukan kriminalisasi dan politisasi dalam kasus yang dituduhkan KPK kepada Gubernur Papua.

Penetapan Lukas Enembe sebagai tersangka itu cacat hukum. Masa orangnya belum diperiksa, tapi sudah ditersangkakan. Ini cacat hukum.”[1] teriak seorang orator yang saya kenal saat mantan aktivis mahasiswa Universitas Cendrawasih (Uncen).

Mantan aktivis mahasiswa itu juga dalam orasinya meminta kepada lembaga anti korupsi untuk segera menghentikan proses hukum yang dituduhkan kepada Gubernur Papua yang menurutnya paling setia kepada Negara Republik Indonesia. Karena baginya, tidak murni penegakan hukum tapi sangat sarat dengan kepentingan politik.

Ini adalah upaya mengkriminalisasi pemimpin Papua yang berani menentang Jakarta demi kepentingan orang Papua. Ini sarat kepentingan politik, tidak murni penegakan hukum. Sehingga sudah seharusnya KPK mengeluarkan SP3.”[2] Tegas mantan ketua BEM Uncen itu dalam orasi yang diaminkan oleh kurang lebih seribuan massa aksi yang turun ke jalan untuk membela Gubernur Papua, Lukas Enembe.

Ada juga orator yang meneriaki KPK tidak adil dalam penegakan hukum dengan membandingkan nilai uang yang dituduh KPK, dicuri Lukas Enembe dengan mafia dalam institusi Polri, yakni Fredy Sambo, polisi bintang dua yang telah dipecat karena melakukan pembunuhan berencana kepada ajudannya sendiri, Brigadir Josua Hutabarat.

“KPK dimana dalam kasus 300 triliun milik kaisar Fredy Sambo sang pembunuh. KPK dimana dalam kasus Harun Maziku yang kabur ke luar negeri.”[3] Orasi politik Benyamin Gurik dalam aksi Save Enembe 20 September 2022.

Secara logis, apa yang disampaikan para orator dalam aksi bela Enembe 20 September hingga kampanye publik di media sosial masuk akal dan ada yang dapat dibenarkan secara hukum. Contohnya penetapan tersangka LE yang dibilang cacat hukum oleh sebagian orator, itu benar. Mengingat orang nomor satu di provinsi paling kaya di Indonesia tapi juga provinsi paling terbelakang di Indonesia itu belum diperiksa sebagai saksi dalam perkara hukum yang dituduhkan tapi sudah dinyatakan sebagai tersangka. Secara formil, langka KPK cacat hukum.

Pertanyaannya adalah, mengapa KPK berani mengambil langkah di luar mekanisme hukum seperti itu? Ini yang menarik untuk diketahui. Bukan soal jumlah uang sehingga harus dibanding-bandingkan dengan jumlah uang milik “kaisar” Sambo yang diuangkan oleh kuasa hukum almarhum Brigadir Josua Hutabarat. Atau kriminalisasi dan politisasi pemimpin Papua. Kenapa? Karena jika pembelaan terhadap Lukas Enembe hanya dengan membandingkan kasus yang satu dengan yang lain, itu sama halnya dengan membenarkan bahwa Enembe benar melakukan pelanggaran hukum sebagaimana yang dituduhkan KPK pada 5 September 2022. Maka Enembe harus mempertanggungjawabkan itu, jangan dibela apa lagi dilindungi. Karena mencuri satu ekor ayam dengan mencuri 1 miliar nilainya sama. Berdosa di mata Tuhan dan korupsi di mata “Firaun”.

Juga pembelaan dalam kasus LE dengan argumentasi bahwa KPK melakukan kriminalisasi dan politisasi tanpa data dan analisis yang kuat, itu hanyalah penyesatan publik. Apa lagi kepala bidang bagian KPK, Ali Fikri telah menyatakan bahwa setiap penangan kasus yang dilakukan, termasuk kasus Lukas Enembe adalah murni penegakan hukum dan tindak lanjut atas laporan masyarakat. sehingga dirinya mewakili KPK meminta kepada pihak-pihak tertentu untuk tidak memperkeruh dan memprovokasi mayarakat dengan narasi-narasi adanya kriminalisasi maupun politisasi. Warta Ekonomi.co.id, (1 Oktober 2022).

Saya senadah dengan kepala bidang pemberantasan KPK, Ali Fikri yang meminta agar pihak-pihak di Papua yang memprovokasi keadaan dalam kasus LE segera berhenti melakukan penyesatan public. Saya juga mengajak rakyat di Papua agar berhenti mengkonsumsi opini-opini yang dimainkan Ketua KNPI Papua, Benny Gurik, dkk. Karena mereka tidak memiliki data yang kuat untuk menguatkan pernyataan-pernyataan public yang mereka buat. Bahwa Gubernur Papua Lukas Enembe dikriminalkan dan dipolitisasi dibanding KPK yang memiliki sejumlah bukti temuan yang bisa memperkuat pernyataan dan keputusan mereka bahwa LE tersangka korupsi dan melakukan pencucian uang.

Saya senadah dengan KPK bukan berati saya percaya terhadap penegakan hukum di Indonesia terutama di Papua. Tapi saya mau bilang buat semua orang Papua yang bekerja dalam system pemerintahan kolonialisme Indonesia dan juga pribumi Papua pada umumnya untuk merenungkan pertanyaan saya di atas. Mengapa KPK berani mengambil langkah diluar mekanisme hukum dengan menetapkan Lukas Enembe yang adalah seorang Gubernur sebagai tersangka korupsi, padahal Enembe belum diperiksa sebagai saksi oleh KPK. Juga saya ingin kitong orang Papua tetap kritis terhadap Jakarta dan tidak membela pejabat Papua yang secara etika dan moral tidak dapat memberi contoh yang baik kepada rakyatnya.

Terkait pertanyaan saya di atas. Jawaban saya yang pertama adalah; kitong tahu bersama bahwa Indonesia adalah Negara di dunia yang lazim melakukan praktek politik dan hukum diluar theory politik dan hukum alias latihan lain main lain. Praktek diluar teori atau latihan lain main lain di Indonesia dibenarkan oleh Dosen Kajian Strategis dan Global Universitas Indonesia, yakni Dr. Mulyadi dalam sebuah seminar, yang kemudian statmentnya dalam seminar itu diviralkan oleh pakar hukum tatanegara, Refly Harun diakun yutubnya.

Dalam unggahan yutub Refly Harun yang diberi judul Best Statement itu, Dr. Mulyadi mengatakan bahwa Indonesia bisa baik tapi praktek politik di Indonesia bertolak belakangan 360 derajat dengan ilmu yang dia ajarakan dan itu membuat dirinya gelisa. Dan gelisaannya itu dia yakini dirasakan juga oleh teman-teman dosennya di Fakultas Hukum karena hukum di Indonesia itu hanya baik dan benar di Fakultas Hukum atau meja studi, berbeda dengan penegakannya. Ini sangat lucu.

Dan bagi saya, kelucuan itu telah menjadi kebudayaan dan siasat untuk memenangkan perjuangan. Karena hal itu telah menjadi kebudayaan dan siasat perjuangan. Maka saya tidak heran ketika KPK mengumumkan Lukas Enembe sebagai tersangka kasus Korupsi walau dirinya belum diperiksa sebagai saksi sebagaimana prosedur hukum yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981.

Juga karena telah menjadi wajar dan digunakan sebagai siasat perjuangan. Sehingga menjadi wajar bagi KPK sebagai salah satu lembaga penegakan hukum di Indonesia bila terlebih dahulu menetapkan Lukas Enembe sebagai tersangka lalu kemudian mencari bukti untuk membenarkan diri. Sebagaimana sering dilakukan Polisi di Papua. Polisi di Papua acapkali mengeluarkan siaran pers menuduh TPN-OPM sebagai otak dibalik sebuah peristiwa tanpa bukti lalu menangkap rakyat sipil untuk dikambing hitamkan sebagai anggota TPN-OPM yang terlibat dalam peristiwa yang dituduhkan itu untuk membenarkan siaran pers mereka.

Kedua, penetapan Lukas Enembe sebagai tersangka korupsi oleh KPK diluar mekanisme hukum, bukanlah langka kriminalisasi atau politisasi sebagaimana yang disebar-luaskan pembela LE, tapi lebih dari itu. Negara hendak menegaskan bahwa hukum Negara Indonesia di Papua lebih tinggi dari rakyat Papua. Ini adalah watak kolonilisme yang perlu disadari orang Papua terutama mereka yang menjilat dibawah ketiak.

Ketiga, ini adalah siasat Negara untuk menangkap kepala-kepala daerah di Papua untuk cuci tangan atas kegagalan pembangunan di Papua. Untuk sampai pada tahapan cuci tangan, Negara melalui KPK mengirim sinyal kepada para Bupati dan Wali Kota dan para pejabat Papua di Papua dan Papua Barat, melalu persangkaan korupsi yang dituduhkan kepada Lukas Enembe. Melalui persangkaan korupsi kepada Lukas Enembe, Negara hendak mengatakan bahwa pejabat Papua sekelas Enembe yang dilindungi Gurita Cikeas dapat kami tetapkan sebagai tersangka sebelum diperiksa, apa lagi dengan kalian yang kecil-kecil dibawahnya. Jadi jangan macam-macam terhadap kebijakan kolonialisme Jakarta untuk Papua, terutama terkait daerah otonomi baru di Papua dan proyek kapitalisasi di bumi cendrawasih.

Jadi penetapan LE sebagai tersangka korupsi bukan langka untuk menegaskan bahwa tidak ada yang kebal hukum di Indonesia termaksud para kepala daerah di Papua. Tapi ini siasat Negara untuk meneror para Bupait dan Wali Kota di Papua dan Papua Barat bahwa setelah Enembe mereka para Bupati dan Wali Kota di Papua dan Papua Barat akan diperiksa terkait dana otsus.

Pendapat kedua saya di atas sebenarnya telah dilakukan melalui kasus gratifikasi yang dituduhkan KPK kepada Bupati Mamberamo Tengah, Ricky Ham Pagawak yang kemudian benang merahnya menjerat Lukas Enembe. Namun karena Ricky Ham Pagawak menghilang tanpa jejak entah kemana, maka strateginya dirubah. Dari Atas ke bawah. Mulai dari Lukas Enembe sebagai Gubernur. Jadi setelah Enembe jadi tersangka, kemungkinan besarnya lagi adalah para Bupati dan Wali Kota di Papua.

Keempat, Penetapan Lukas Enembe sebagai tersangka korupsi oleh KPK yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 adalah siasat Jakarta untuk dapat memenangkan diplomasi luar negeri Indonesia, atas kritik masyarakat internasional yang menyoroti konflik antara masyarakat pribumi Papua dengan Negara yang dimandatkan oleh PBB melalui resolusi 2504 dan perjanjian Roma 30 September 1962 untuk membangun Papua. . Bagian ini sebenarnya tidak ingin saya singgung disini karena hanya orang Papua yang tidak tahu sejarah politik masyarakat Papua dan tidak tahu diri siapa dia dan siapa sebenarnya Indonesia di Papua yang tidak tahu bagian ini.

Para diplomat Jakarta akan beralibi di Internasional bahwa konflik di Papua yang berdampak pada pelanggaran HAM adalah akibat dari ketidakpuasan pribumi Papua atas kegagalan pembangunan di Papua, yang dimandatkan oleh masyarakat internasional kepada Indonesia sebagai mandat taris PBB di Papua, bukan persoalan sejarah politik sebagaimana salah satu hasik kajian LIPI. Dan mereka pun akan beralibi juga bahwa, kegagalan pembangunan di Papua itu pula diakibatkan oleh pejabat Papua sendiri. Karene perilaku korup dan sering berfoya-foya dan berjudi diluar negeri dengan uang rakyat yang dikasih oleh Jakarta melalui otsus tetapi kemudian dikorupsi habis-habisan oleh para kepala daerahnya dengan mencotohkan refresing ala LE, yakni bermain judi di luar negeri sebagai refresing.

Dari pendapat-pendapat di atas terkait pertanyaan, mengapa KPK berani mengambil langkah diluar mekanisme hukum dengan menetapkan Lukas Enembe sebagai tersangka korupsi? Saya akan membuat kesimpula pendek. Dan kesimpulan ini hanya pengulangan kesimpulan pada tulisan saya yang berjudul “Lukas Enembe Penghianat Rakyat Papua”.

Diakhir tulisan Lukas Enembe Penghianat Rakyat Papua, saya bilang begini “Lukas Enembe kemungkinan tidak akan berpindah dari tanda heran yang satu ke tanda heran yang lainnya. Melainkan dia hanya dapat lolos dari jebakan yang satu ke jebakan yang lain dengan cara menghianati suara rakyat Papua. Dan hal itu hanya akan bertahan selama kekuasannya di wilayah masih kuat. Setelah kekuasannya menipis, dia akan ditangkap Komisi Penanggulangan Korupsi Republik Indonesia sebagaimana Barnabas Suebu. Karena bayaran yang setimpal bagi penghianat rakyat Papua yang terjajah adalah dipenjarakan, dan Suebu telah merasakannya. Semoga LE jua.” itulah kesimpulan saya pada tulisan saya berjudul “Lukas Enembe Penghianat Rakyat Papua” Dan kesimpulan itu masih saya anggap relevan untuk dijadikan kesimpulan pada tulisan yang ada di hadapan pembaca ini. Perlu diketahui pula oleh pembaca bahwa kesimpulan ini bertolak dari pesan profetis Pendeta Isack Samuel Kijne, bahwa “Barang siapa bekerja dengan jujur dan dengar-dengaran serta takut akan Tuhan. Dia akan berjalan dari tanda heran yang satu ke tanda heran lainnya”.

 

 

[1]  Orasi Demonstrasi Koalisi Rakyat Papua, 20 September 2022 di Taman Imbi.

[2] Orasi Demonstrasi Koalisi Rakyat Papua, 20 September 2022 di Taman Imbi

[3] Orasi Demonstrasi Koalisi Rakyat Papua, 20 September 2022 di Taman Imbi

Philipus Robaha
Penulis adalah aktivis Solidaritas Nasional Mahasiswa Pemuda Papua (Sonamappa)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Kapitalisme di Era Digital: Manusia, Ruang, dan Alat

Ide menulis tulisan ini, dimulai ketika beberapa waktu lalu...

Belajar Gerakan Kedaulatan Diri Owadaa dari Meeuwodide (Bagian 2)

Pada bagian pertama catatan ini sebelumya, saya mencoba untuk belajar pandangan konseptual tentang Owadaa. Selain itu, sisi teologis yang...

Belajar pada Njoto, Menuju Jurnalisme yang Mendidik Massa

Dalam deretan tokoh-tokoh jurnalistik di Indonesia, nama Njoto jarang terdengar. Kerap ketika berbicara mengenai sejarah jurnalisme di Indonesia, nama...

Empat Babak Sekuritisasi di Papua

Sejak dimulainya Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) oleh Presiden Soekarno pada 19 Desember 1961 banyak terjadi pelanggaran hak asasi...

Mambesak dan Gerakan Kebudayaan Papua Pascakolonial

Mambesak tidak sekadar grup musik Papua biasa. Selain sebagai pioner dengan mempopulerkan lagu-lagu daerah Papua yang kaya dan beragam,...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan