Analisa Harian Dualisme Tokoh Papua Dalam Kasus Korupsi LE: Antara Kritis...

Dualisme Tokoh Papua Dalam Kasus Korupsi LE: Antara Kritis dan Pragmatis (Bagian II)

-

Terdapat pula pernyataan-pernyatan organisasi dan front pergerakan rakyat Papua yang secara tegas mengekslusikan posisi Gubernur Papua baik karena kebijakannya mengamankan kepentingan Jakarta dan sebagai terduga kasus hukum: korupsi. Pertama, berasal dari ketua Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah se-Indonesia (AMPTI), Ambrosius Mulait. AMPTPI merupakan salah satu organisasi mahasiswa esktra kampus berhaluan tengah-kiri yang tersebar di seluruh Indonesia. Pernyataan Ambros diterbitkan oleh halaman resmi facebook Petisi Rakyat Papua (PRP) pada 19 Juni 2022 menyatakan “Lukas Enembe tidak berbeda dengan kolonialisme Indonesia di Papua yang terus menjajah orang Papua dengan kebijakan yang akan memarjinalisasi. Lukas Enembe harus tahu diri bahwa tanah Papua milik rakyat bukan milik seorang dirinya”.⁸ Pandangan tersebut disampaikan sesaat setelah Gubernur Papua menyatakan persetujuan menerima daerah otonomi baru (DOB).

Selanjutnya yang kedua, ada pernyataan tegas dari organisasi berhaluan kiri yang merupakan media rakyat Papua, Komite Nasional Papua Barat (KNPB). Dalam himbauan yang dikeluarkan oleh badan pengurus pusat, pada 16 September 2022, KNPB menegaskan posisi politik yang jelas: “kami menghimbau kepada rakyat (bangsa) Papua, jangan ikut campur atau ikut terlibat dalam kasus-kasus korupsi ini, dan biarkan mereka supaya negara tangkap mereka dan proses hukum karena aktor-aktor korupsi adalah boneka Jakarta. Rakyat Papua stop ikut-ikutan dan jangan muda terpengaruh dengan isu-isu tidak penting yang sedang dimainkan oleh negara Indonesia.”

***

Pandangan beberapa kalangan nasionalis di atas merupakan manifestasi posisi mereka melihat kasus hukum yang kini menerpa Gubernur Kolonial Indonesia di tanah Papua. Sikap kritis mereka merupakan cermin dari teguh dan kokohnya pendirian pada jalan panjang penderitaan rakyat Papua selama setengah abad mereka alami dan hidupi. Meskipun, sikap agak berbeda ditunjukkan oleh kalangan nasionalis di luar negeri (LN). Misalnya yang ditampilkan oleh Benny Wenda di Inggris dan Oktovianus Mote di Amerika Serikat. Pada 21 September 2022, Wenda merilis pernyataan di ulmwp.org yang berjudul: “Presiden sementara: Lukas Enembe Tidak Bersalah”¹⁰.

Dalam keterangannya, ia menyatakan,“Lukas Enembe,Gubernur Provinsi Papua adalah pemimpin Papua terbaru yang dikriminalisasi oleh negara Indonesia. Dengan alasan palsu, dia dituduh melakukan korupsi dan dilarang bepergian ke luar negeri untuk perawatan medis vital.” Lebih lanjut, Wenda mengatakan “Pesan Indonesia jelas: setiap orang Papua yang berbicara dengan suara mereka sendiri, yang bekerja untuk rakyatnya, dikriminalisasi. Indonesia takut pada orang Papua Barat, bahkan mereka yang bekerja dalam institusi Indonesia.” Selain itu, pandangan serupa pun disampaikan oleh tokoh Papua merdeka di luar negeri lainnya yakni Octovianus Mote. Melalui suatu tulisan pendek yang dibagikan dalam rangka mengenang kepergian Alm.Leoni Tanggahma, Mote menulis:“ […] Gubernur Lukas Enembe yang selama ini gagah berani membela nasib rakyat dan bangsa Papua ditetapkan sebagai pencuri tanpa melalui proses hukum dan akan ditangkap walau rakyat kawal siang malam di halaman rumahnya[…].”¹¹

Pertanyaannya kemudian adalah mengapa ada perbedaan pandangan di antara para pejuang nasionalis yang di dalam negeri dan LN? Pernyataan BW dan OM, kemungkinan bisa dipengaruhi oleh posisi mereka sebagai diplomat Papua Merdeka yang selama ini berjuang intensif dengan berkampanye guna menggalang berbagai dukungan dan solidaritas internasional atas realitas penindasan sosial budaya, politik, hak asasi manusia dan keamanan yang dialami oleh rakyat bangsa Papua. Tetapi juga secara langsung menunjukkan bahwa mereka tidak memahami realitas pengingkaran /pembohongan publik yang selama ini gemar dilakukan rezim Gubernur Papua dan kroninya dengan mengkapitalisasi isu Papua Merdeka guna meloloskan semua ambisi dan kepentingan politik. Di sisi lain, juga dapat dikatakan BW dan OM secara sadar menyangkali status jabatan kegubernuran Lukas Enembe dan kroninya yang merupakan perpanjangan tangan dari rezim yang selama ini mereka sendiri sebut sebagai penjajah atas rakyat dan bangsa Papua. Dimana Gubernur Lukas Enembe telah bersumpah setia menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia di atas teritori Tanah Papua sebagai bagian integral yang tak terpisahkan.

Posisi Kalangan Tokoh Agama Papua

Kalangan tokoh agama yang dimaksud di sini adalah mereka yang menjadi sorotan utama bersama Dewan Adat Papua (DAP) versi kongres luar biasa Wamena yang dipimpin oleh Dominikus Sorabut yang juga akan diuraikan nanti. Mereka terdiri dari para pendeta dan pastor yang terkesan sebagai kalangan tokoh yang bersikap sangat pragmatis, meskipun dilain sisi mereka dapat berdalih menjalankan tugas dan tanggung jawab imamat mereka sebagai gembala. Pragmatisme merupakan sikap yang cenderung melihat segala sesuatu dari aspek kemanfaatan atau kegunaan penerapannya bagi kepentingan manusia.¹² Filsafat ini seperti filsafat kritisisme yang berangkat dari pandangan filsafat Immanuel Kant (1724-1804), filsafat pragmatisme dikenalkan oleh filsuf Amerika Charles Sanders Peirce (1839-1904). Sikap daripada kalangan ini diperankan secara terbuka oleh langkah Dewan Gereja Papua (DGP) dan Persatuan Gereja-Gereja Papua (PGGP).

Peran Dewan Gereja Papua dalam ‘memihak’ para elit dan pejabat korup sudah mulai terlihat melalui seruan moral yang dikeluarkan pada akhir tahun lalu ketika KPK menargetkan bupati Eltinus Omaleng sebagai tersangka korupsi pembangunan gedung gereja Kingmi Mile 32 Mimika. Saat itu otoritas gereja Kingmi (dan Baptis) dalam DGP menyatakan “memprihatinkan dan menolak” KPK mentersangkakan bupati Timika yang sekaligus kader gereja Kingmi atas kasus korupsi yang menurut klaim mereka bukan kesalahan bupati tetapi pihak pengelola proyek di lapangan, dan menuding ada permainan kepentingan pihak tertentu dalam perebutan jabatan dan kekuasaan di Timika.¹³

Dalam kasus korupsi Gubernur Papua, salah satu anggota DGP yang menohok menyatakan pembelaan terhadap kasus Gubernur Papua adalah Presiden Persekutuan Gereja-Gereja Baptis West Papua, Pendeta Dr. Socrates Sofyan Yoman. Meski sebelumnya telah ada seruan moral dewan Gereja yang ditandatangani oleh moderator DGP yang bernada membela dan mengecam penetapan status tersangka Gubernur Papua. Jika dihitung telah ada lebih dari 5 artikel pendek yang dikeluarkan oleh Presiden PGBWP yang lebih menonjolkan sikap dan posisi pembelaan secara politis dan moral dalam kasus Gubernur Papua. Sementara dari para tokoh agama yang bernaung di bawah PGGP belum terlihat membuat pernyataan terbuka hingga adanya pernyataan sikap dari ketuanya, Pdt Hiskia Rollo saat pertemuan di rumah Gubernur Papua, di Koya Tengah.

Dalam artikel berjudul “Ada apa KPK, Budi Gunawan dan kepala BIN, Partai PDIP dengan Gubernur Papua?”¹⁴ yang ditulis pada 15 September 2022, Yoman menguraikan argumentasi dan fakta-fakta mengenai upaya ‘kriminalisasi’ dan memuat keterangan langsung dari Gubernur Papua bersama ibu Gubernur Papua. “Sangat memalukan, KPK menetapkan Lukas Enembe Gubernur Papua sebagai “tersangka”(?) tanpa memintai keterangan. Hukum apa yang dipakai KPK? Apakah ada undang-undang bahwa seseorang ditetapkan sebagai tersangka sebelum diperiksa dan dimintai keterangan ?”, tanya Socrates. “Ingat hukum tabur dan tuai itu tetap berlaku. Siapa menabur kejahatan, dia pasti memetik hasil kejahatannya”, kata Socrates menutup artikelnya. Pada artikel lainnya yang ditulis pada 29 September, presiden PGBWP itu menulis, “KPK dan Penguasa Indonesia di Jakarta jangan menciptakan konflik di Papua. Jangan memancing kemarahan rakyat Papua. Bebaskan Lukas Enembe Gubernur Papua dan pulihkan nama baik. Keselamatan NKRI dan kesehatan Lukas Enembe Gubernur Papua jauh lebih penting daripada (uang) 1 milyar. Saya yakin KPK lebih memilih kepentingan keamanan NKRI dan pertemuan G-20 daripada 1 milyar rupiah. Ingat! Menjaga, merawat dan memelihara NKRI bukan dengan mengurus uang 1 milyar. Save LE gubernur Papua, Save Papua, Save NKRI, Save G-20. Lupakan 1 Milyar, tutup pendeta Yoman dalam artikel berjudul “Lukas Enembe Gubernur Papua adalah Tokoh Akar Rumput Rakyat Papua Bukan Pemimpin Para Elit”.¹⁵ Pernyataan kedua dari Pendeta Yoman tersebut seolah memberikan pesan bahwa jangan ganggu Gubernur Lukas Enembe jika mau selamatkan NKRI dan kegiatan G-20. Hentikan kasus LE, maka NKRI akan aman di Papua. Kalau tidak berarti tidak aman. Logika yang tersirat seperti itu. Tidak aman dalam artian bagimana, hanya dia yang tahu maksudnya.

Sementara itu, dengan nada kontras Ustad Ismail Asso, ketua Dewan Muslim Pegunungan Tengah hampir senada dengan kalangan nasionalis Papua meminta penegakan hukum dilakukan terhadap gubernur Papua. Dalam sebuah unggahan video yang viral, Asso menyatakan agar Gubernur Papua menyerahkan diri dan ikuti proses hukum. “Saya minta kepada kepala suku, Gubernur, Lukas Enembe segera menyerahkan diri untuk bekerja sama dengan pihak aparat penegak hukum. Jika benar memang tidak korupsi, beliau dengan secara baik, secara jentelman seharusnya, sudah selayaknya menyerahkan diri bekerjasama dengan baik dengan penegak hukum untuk menyerahkan diri memproses itu”¹⁶, kata ustad Asso dalam sebuah akun youtube.

Puncak daripada dukungan moral gereja kepada Gubernur Papua terlihat pada Selasa 4 Oktober 2022, dimana 32 tokoh gereja (kecuali sinode Gereja Kemah Injil Indonesia/GKII) di Papua mengunjungi Gubernur Papua di kediamannya di Koya Tengah. Dalam pertemuan itu, tampak para tokoh gereja diantaranya Ketua sinode Gereja Kristen Injili di tanah Papua, Pdt. Adrikus Mofu, imam Katolik Keuskupan Jayapura, pastor Constantinus Bahang,OFM dan ketua Persekutuan Gereja-Gereja Papua (PGGP) Pdt.Hiskia Rollo, Moderator Dewan Gereja Papua, Pdt. Benny Giay dan Presiden Gereja Injili di Indonesia (GIDI) Pdt. Dorman Wandikbo. Tak jelas apa tujuan daripada pertemuan itu, tetapi dari pemberitaan yang ada, menunjukkan pihak tokoh gereja Papua memberikan dukungan moril dan peneguhan iman kepada Gubernur agar lekas sembuh dan kuat menghadapi kasus hukum yang dihadapi.

Dari peristiwa pemberian dukungan gereja pada Gubernur Enembe ini dapat dilihat dari dua sisi. Sebagai anggota umat beriman, anggota jemaat, Gubernur Lukas Enembe memang membutuhkan lawatan kasih dari pimpinan (elit) hamba-hamba Tuhan dengan statusnya sebagai seorang Gubernur. Tetapi itu bisa terkesan aneh, karena kunjungan semacam itu bisa saja dilakukan jauh sebelum ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Mengapa sesudah ditetapkan sebagai tersangka, lalu tokoh agama melakukan kunjungan? Orang bisa bertanya seperti itu. Pembelaan yang dilakukan oleh para pendeta di DGP sebelumnya di atas pun dapat dipandang dari dua sudut tersebut.

Utamanya mengapa para pendeta ini membela Gubernur Papua dengan intensif? Ada apa dibalik ini semua. Bukankah Gubernur Papua Lukas Enembe (tidak secara pribadi dengan kondisi sakitnya saat ini) juga termasuk bagian dari deretan penguasa yang menjalankan sistem kolonialisme, militerisme, kapitalisme dan semua label negatif yang selama ini dialamatkan oleh pendeta-pendeta itu di dalam ratusan buku-buku cetak dan khotbah berapi-api di mimbar-mimbar kampus hingga gereja? Apa argumentasi yang dapat menjelaskan bahwa Gubernur Papua tidak termasuk dalam barisan rezim kolonial berkultur kapitalistik, militeristik yang sistematis, massif dan terstruktur dsb itu?

Setelah melihat sikap pembelaan tokoh-tokoh agama yang sarat ambigu atas kasus Gubernur Papua ini, maka sikap mendua para pendeta dan pastor ini menguatkan apa yang pernah dikatakan oleh ‘guru’ kaum Marxis, Karl Marx: “bahwa agama merupakan kubu sikap reaksioner, konservatisme, penentang pencerahan akal dan perubahan politik.”¹⁷ Disini penekanannya lebih pada kata pertama, reaksioner; kedua konservatisme dan; terakhir yakni penentang perubahan politik. Sikap reaksioner kelompok agamawan ini terlihat jelas dari aksi mereka yang seakan baru bangkit bergerak saat ada masalah.

Cenderung memutuskan sikap setelah ada gangguan pada mitra mutualis mereka. Bukan rahasia lagi, bahwa gereja-gereja di Papua sudah sejak lama mendapatkan dana bantuan atau hibah dan fasilitas lainnya atas nama pemberdayaan keumatan atau ke-jemaat-an. Maka ketika kepala negara /pemerintahan di provinsi kolonial, yakni Gubernur sakit, mau tidak mau sebagai bentuk balas budi/ jasanya harus datang berkunjung. Tapi, sekali lagi aneh kenapa harus saat Gubernur Papua sedang terjerat kasus hukum? Padahal Lukas Enembe sudah sakit sejak lama. Karakter tokoh agama yang demikian merupakan ekspresi nyata dari sikap kaum konservatisme yang tidak akan pernah tergerak menerima potensi perubahan yang lebih maju, karena kuatnya beban relasi resiprokal yang mutualis itu, dan dalam situasi normal mereka lebih saling menghormati sebagai sesama otoritas kemitraan yang sepadan.

Dari situlah sebenarnya perubahan dalam keseluruhan rangkaian perjuangan dan perlawanan politik itu tak akan banyak berubah meski kalangan nasionalis sudah berada di garis depan dengan siap mati hidup. Gerak kalangan pendeta ini juga menyimpulkan bagaimana dialektika agama di mata Marx yang menyentil gejala keagamaan oleh para pemimpinnya bahwa “pada saat tertentu (tokoh agama) menjadi pengabsah masyarakat yang sudah mapan dan pada waktu yang lain, menjadi kekuatan penentang melawan kemapanan itu.”¹⁷ Artinya, semua ekspresi sikap pemuka agama yang saat ini kita saksikan merupakan wujud dari politik peran ganda tokoh agama yang pada kesempatan tertentu melegitimasi kekuasaan dan pada waktu yang lain menjadi antitesa dari kekuasaan. Inilah yang dapat menjelaskan mengapa para pendeta ini sering menulis dan menyatakan bahwa rezim Indonesia sebagai kolonial tetapi di saat yang sama justeru di bawah kolong meja kantor-kantor megah, mereka menerima dana dan fasilitas untuk mengamankan jemaat/ umat yang dalam dualisme pemerintahan, merupakan rakyat dari pemerintah itu sendiri.

Posisi Kalangan Tokoh Adat Papua

Posisi kalangan tokoh adat Papua memang kontroversial. Sama dengan kalangan tokoh-tokoh agama sebelumnya. Di Papua ada banyak lembaga adat sehingga yang ditokohkan juga kadang banyak. Sejak kasus hukum Gubernur Papua mencuat, secara konkret belum ada satupun lembaga adat yang menyatakan sikap baik yang pro maupun kontra pada kasus tersebut. Namun lima hari pasca lawatan kelompok tokoh agama, Dewan Adat Papua versi kongres luar biasa Wamena muncul mengunjungi dan mengukuhkan Gubernur Papua, Lukas Enembe sebagai kepala suku besar bangsa dan rakyat Papua.¹⁸ “Kami tidak disogok oleh siapa-siapa tetapi terpanggil nurani untuk ibu pertiwi sehingga kami datang memutuskan bahwa layak seorang Lukas Enembe dijadikan sebagai pemimpin besar tanah dan bangsa Papua atau kepala suku besar tanah dan bangsa Papua”, kata Dominikus Sorabut pada 09 Oktober 2022 di kediaman Gubernur Papua. “Soal dalil hukum yang sedang dimainkan atau dipolitisir oleh kelompok-kelompok Jakarta atau dalam hal ini disebut koloni, maka DAP memutuskan memberikan sanksi /denda adat martabat dan harga diri pemimpin rakyat Papua dalam kisaran 50 triliun kepada presiden RI, Menkopolhukam, Mendagri, Ketua KPK dan pejabat Gubernur Papua Barat.”, tegas Surabut.

Langkah kelompok DAP versi Dominikus Surabut mengukuhkan Gubernur Papua Lukas Enembe sebagai kepala suku besar mewakili 7 wilayah adat Papua ini belum mendapatkan respon dari DAP versi Kongres Besar Masyarakat Adat Papua IV (KBMAP) Papua di Kaimana yang dipimpin oleh Mananwir Yan Pit Yarangga. Begitu juga dari Lembaga Masyarakat Adat (LMA) di bawah kepemimpinan Lenis Kogoya. Padahal pada tahun 2019, Lenis Kogoya sempat bersilat lidah dengan Gubernur Papua mengenai status kepala sukunya yang dipertanyakan Gubernur Lukas Enembe.¹⁹ Sampai dengan memasuki bulan kedua ini Lenis Kogoya sebagai pemegang otoritas lembaga adat yang diakui negara belum mengeluarkan pernyataan apapun menyangkut status hukum Gubernur Papua, walaupun Presiden sebagai atasannya langsung telah meminta agar Gubernur Papua mematuhi proses hukum di KPK. Hal yang mana sama dengan sikap bungkam otoritas Majelis Rakyat Papua (MRP) hingga saat ini. Meski anggota MRP  bernama Herman Yoku secara terbuka sudah menolak keabsahan pengangkatan Gubernur Papua sebagai kepala suku di tanah Papua. “Pengangkatan kepala suku besar dinilai sebagai upaya untuk menghindari pemeriksaan KPK dengan berlindung dari adat masyarakat Papua”²⁰, ketusnya di papua.antaranews.com 15 Oktober lalu.

Kemunculan Dewan Adat Papua dalam teater ‘drama politik’ dan hukum ini menjadi sebuah tampilan yang sedap-sedap pahit. Ini merupakan praktek dari relasi mutualisme yang sudah lama terjalin. Sama seperti dalil-dalil kelompok agamawan sebelumnya. Tapi dari sini timbul pertanyaan: apakah DAP telah memikirkan dampak-dampaknya dikemudian hari atas keputusan yang sarat nuansa politik pragmatis seperti ini?  Secara objektif, langkah kalangan nasionalis paling masuk akal, top dan great. Tapi untuk tokoh agama dan adat yang sudah berbeda ini memiliki kecenderungan yang destruktif di kemudian hari. Pertama, kalangan agamawan yang pro dan memihak Gubernur Papua sebenarnya telah menegaskan implementasi dari teologi negara karena memihak perpanjangan tangan negara atau pemerintahan rezim kolonial Indonesia di tanah Papua. Kedua, ini bisa karena dokma gereja yang cenderung berada pada imajinasi datangnya sang Mesias, atau nabi Musa yang kelak menyelamatkan rakyat Papua dari kekejaman firaun sehingga tanpa melihat kondisi objektif hari ini atas kondisi sosok Lukas Enembe sebagai Gubernur dan perpanjangan tangan pemerintah yang telah disumpah juga atas nama Tuhan, kemudian memihak dan membelanya secara langsung. Ketiga DAB menggunakan logika praktis mengukuhkan Lukas Enembe, dengan harapan dapat menghadirkan sosok the new Theys Eluay di tengah-tengah bangsa Papua tanpa membaca dan menganalisa lebih jauh konsekuensi dari sikap politisnya juga tanpa memahami perbedaan pokok di antara kedua figur tokoh tersebut.

Kalangan tokoh agama dan adat mestinya dapat belajar dari pengalaman di dalam kebudayaan kitab suci dan kehidupan masyarakat adat Papua sejak dahulu kemudian menerjemahkannya ke dalam konteks masa kekinian. Belum tentu semua kisah heroik pada masa lalu entah di dalam kitab perjanjian lama dan sejarah perjuangan bangsa Papua dua dekade lalu dapat relevan di masa kini. Demikian pula dewan adat mestinya menempatkan kebesaran otoritasnya pada masyarakat adat, tokoh adat murni yang telah mengabdikan sepenuh hidupnya pada upaya menjaga dan merawat eksistensi tatanan kehidupan masyarakat adat. Tidak secara pragmatis dan oportunistik kemudian menyerahkan gelar atau jabatan kebesaran pada sosok yang berada di dalam jabatan formal pemerintahan yang mana selama ini menjadi pihak yang telah terbukti oleh zaman sebagai penghancur tatanan ekosistem hidup masyarakat adat itu sendiri.

Apalagi jika ditelisik lebih jauh, sosok Gubernur Papua Lukas Enembe secara adat tidak pantas mendapatkan legitimasi kepala suku karena secara langsung telah melanggar aturan adatnya sendiri dengan berzinah sesuai aturan perkawinan masyarakat Lapago yang mengadopsi sistem perkawinan Wita-Waya dengan mengawini sesama belahan (Wita-wita).²¹ Pemahaman Dewan Adat Papua pada kasus ini sangat memprihatinkan dan patut dipertanyakan. Apakah DAP telah mengkaji semua aspek itu dan menyematkan gelar kepala suku? Atau hanya sebatas manuver untuk melindungi dan memberi imunitas pada Gubernur Papua agar tidak terseret arus kasus hukum yang diakibatkannya sendiri. Pada konteks ini, sebagai masyarakat adat, kami menyayangkan keberadaan DAP ini yang selama ini lebih cenderung berpolitik praktis dibandingkan berupaya memelihara, melindungi, memimpin, mencermati, mengkaji dan melakukan rekonstruksi keyakinan, nilai-nilai, simbol-simbol dan artefak  adat istiadat dan kebudayaan orang Papua yang makin hari makin terkikis dan mencekik leher itu.

Selesai..

**

Referensi:

  1. Status  facebook Ambrosius Mulait/Petisi Rakyat Papua,  19 Juni2022.
  2. Selebaran Himbauan Umum KNPB, 16 September 2022.
  3. ulmwp. org. 2022. Presiden Sementara :Lukas Enembe Tidak Bersalah. (Diakses dari : ulmwp.org pada 13 Oktober 2022)
  4. Status Facebook Oktovianus Mote ,13 Oktober 2022.
  5. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V, 2022. Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuann, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
  6. Seruan Moral Dewan Gereja Papua. 2022. Jayapura, Hal. 8
  7. Socrates Sofian Yoman. 2022. Ada apa KPK, Budi Gunawan dan kepala BIN, Partai PDIP dengan Gubernur Papua? Ita Wakhu Purom, Jayapura
  8. Socrates Sofian Yoman. 2022 Lukas Enembe Gubernur Papua adalah Tokoh Akar Rumput Rakyat Papua Bukan Pemimpin Para Elit. Ita Wakhu Purom, Jayapura.
  9. Youtube Valley Actor Channel. 2022. Pencerahan Pak Ustadz Ismail Asso Kepada Lukas Enembe Tersangka Kasus Korupsi! (Diakses pada 15 Oktober 2022).
  10. Michael Lowy.2013. Teologi Pembebasan: Kritik Marxisme dan Marxisme Kritik. InsistPress: Yoyakarta. Hal iii-2.1
  11. Suara Papua. 2022. DAP Kukuhkan Lukas Enembe sebagai Pemimpin besar tanah Papua. (Diakses dari: suarapapua.com pada 15 oktober 2022).
  12. Friska Riana, 2019. Jawab Lukas Enembe Soal Kepala Suku,Lenis Kogoya: Dia Pura-Pura. (Diakses dari: tempo.co.id pada 15 Oktober 20220).
  13. Antarapapua.2022.Anggota MRP Minta KPK Serius Tangani Kasus Korupsi Gubernur Lukas Enembe.( Diakses dari: http:papua.antaranews.com pada 15 Oktober 2022).
  14. Simion Itlay et al. 1993. Kebudayaan Jayawijaya Dalam Pembangunan Bangsa. Pustaka Sinar Harapan: Jakarta. Hal 45.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Benyamin Lagowan
Penulis adalah Kordinator Asosiasi Mahasiswa dan Pemuda Lapago di Petisi Rakyat Papua

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Kapitalisme di Era Digital: Manusia, Ruang, dan Alat

Ide menulis tulisan ini, dimulai ketika beberapa waktu lalu...

Belajar Gerakan Kedaulatan Diri Owadaa dari Meeuwodide (Bagian 2)

Pada bagian pertama catatan ini sebelumya, saya mencoba untuk belajar pandangan konseptual tentang Owadaa. Selain itu, sisi teologis yang...

Belajar pada Njoto, Menuju Jurnalisme yang Mendidik Massa

Dalam deretan tokoh-tokoh jurnalistik di Indonesia, nama Njoto jarang terdengar. Kerap ketika berbicara mengenai sejarah jurnalisme di Indonesia, nama...

Empat Babak Sekuritisasi di Papua

Sejak dimulainya Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) oleh Presiden Soekarno pada 19 Desember 1961 banyak terjadi pelanggaran hak asasi...

Mambesak dan Gerakan Kebudayaan Papua Pascakolonial

Mambesak tidak sekadar grup musik Papua biasa. Selain sebagai pioner dengan mempopulerkan lagu-lagu daerah Papua yang kaya dan beragam,...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan