Selamat Jalan Pahlawan identitas Ideologi Papua Merdeka
TUAN FILEP KARMA
Teriknya mentari
Mengakhiri bulan Oktober
Membawa kabar duka
Ketika mentari pertama
Bulan November tiba
Langit cerah kebiruan
Di tepi pantai Base G
Tubuhmu terbaring kaku
Tak bernyawa
Hobimu menyelam
Ke dasar samudera
Menjawab beratnya
Beban perjuangan
bangsa Papua
Jalan terjal berevolusi
Menjadi tekad juangmu
Menyuarakan kebebasan
Bangsamu kepada dunia
Gayamu yang khas
Berbusana keki coklat
Dengan bintang kejora
Melekat ditubuhmu
Itulah caramu berevolusi
Hari ini, November kelabu
Engkau pergi dengan syahdu
Dalam alam bersahaja
Di bumi cenderawasih
Selamat jalan
Kamam Filep Karma
Ideologi jiwamu
Tetap hidup berakar
Dalam derap langkah
Juang Generasi Papua
Hari ini, segala juangmu
Telah terukir dalam sejarah
Bangsa dan negeri Papua.
Salam… salam… salam
Di jalanmu mansar Filep Karma
Kiranya Tuhan berikan kekuatan
Bagi kita sekalian.
Albert Rumbekwan, 01, 11, 2022
Saat itu, pertengahan tahun 2000an, saya berjalan dari lingkaran Abe menuju Perpustakaan Daerah di Kotaraja. Pandangan saya tertuju pada seorang lelaki berpakaian serba berwarna coklat, baik kemeja maupun celannya. Memakai topi coklat, berkacamata, dan jenggot berubannya sudah mulai panjang. Tidak lupa kalung bendera Bintang Kejora yang selalu melekat tepat di ulu hatinya. Saya tahu beliau adalah Bapa Filep Karma. Nama lengkap beliau kemudian saya ketahui adalah Filep Jacob Samuel Karma.
Rakyat Papua pasti mengetahui Tragedi Biak Berdarah pada 2 Juli 1998. Saat itulah terdapat 32 mayat misterius yang ditemukan di pantai Pulau Biak. Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (ELS-HAM) Papua kemudian merilis laporan tragedy ini dengan judul yang sangat tajam: Nama Tanpa Pusara, Pusara Tanpa Nama: Laporan Pelanggaran HAM di Irian Jaya (1999). Bapa Filep Karma memimpin demonstrasi dengan mengibarkan bendera Bintang Kejora di menara (tower) air dekat Puskesmas di Kota Biak. Ia kemudian dipenjara selama 1,5 tahun dan dibebaskan pada 20 November 1999.
Tidak hanya itu, pada 1 Desember 2004, Bapa Filep kembali mengibarkan bendera Bintang Kejora. Kali ini di Abepura. Ia kemudian kembali dipenjara dengan tuduhan makar dan penghasutan. Bapa Filep divonis penjara 15 tahun dan baru dibebaskan pada 19 November 2015. Total 13,5 tahun Ia habiskan hidupnya dibalik jeruji besi.
Tapi Bapa Filep tidak gentar. Dua kali memimpin pengibaran bendera Bintang Kejora menyebabkan kemanapun Ia akan selalu menggunakan bendera kebesaran bangsa Papua itu. Filep Karma adalah bendera Bintang Kejora dan demikian sebaliknya. Tidak terkecuali saat kami bertemu pada acara Papoea Solidariteitsdag bulan Februari 2018 di Amersfoort, Negeri Belanda. Kali ini bukan hanya kalung Bintang Kejora, tetapi juga bendera kecil yang selalu Ia bawa selama acara itu berlangsung hingga sore.
Saat berorasi dalam pertemuan acara tahunan solidaritas Papua di Belanda tersebut, Ia berulang kali menyerukan persatuan dan solidaritas rakyat Papua. “Kita akan susah kesulitan kalau terpecah-pecah.” Kesan saya saat menyimak pidatonya, Ia memiliki kerinduan bagi rakyatnya untuk memiliki kesadaran bersolidaritas dan persatuan tanpa mau dipecah-belah. Perjuangan pembebasan dan dekolonisasi mutlak membutuhkan hal prinsipil ini.
Setelah selesai berorasi di hadapan puluhan orang di sebuah gereja di Amersfoort itu, saya menghampiri beliau. Meski kami belum pernah saling bertemu, Bapa Filep memeluk saya erat. Saya perkenalkan diri dan Bapa Filep berbisik, “Anak, anak tulisan luar biasa. Terus dan terus,” ucap bapa sambil mendekap saya erat. Hingga kini saya tidak akan pernah melupakan pelukan itu. Sangat kuat dan meresap di sekujur sa tubuh.
Satu hal penting dari warisan Bapa Filep Karma adalah keteguhan pada prinsip hidupnya. Bapa de adalah satu dari segelintir orang Papua terdidik yang berjalan atas tuntunan nurani dan sikap yang tegas. Keteguhan sikap inilah yang tiada tanding nilainya dalam perjuangan pembebasan Papua. Bapa de memberikan pekerjaan rumah bagi pergumulan rakyat Papua soal keteguhan sikap dan konsistensi ini. Tentu saja nilai ini tidak bisa dibandingkan dengan apapun di tengah banyak orang Papua terdidik yang lebih mengincar posisi dan jabatan di kekuasaan. Mereka inilah orang-orang Papua yang menggadaikan nurani dan kedaulatan dirinya demi bisa hidup mewah dan bergelimang kuasa, yang sayangnya mengorbankan rakyatnya sendiri. Bapa Filep selain menitipkan solidaritas dan persatuan bagi rakyatnya, saya yakini juga mengajak kitong semua untuk memegang teguh prinsip dalam hidup, mengarunginya dan mempertahankannya dengan perjuanganterus-menerus. Jangan sekalipun menggadaikan diri.
Hari ini, saat saya menulis catatan ini, pada 1 November 2022, Bapa Filep Karma ditemukan meninggal di Pantai Base-G, lokasi yang sama saat Bapa Arnold Ap juga ditemukan meninggal dunia. Dua inspirasi dari Tanah Papua yang ditemukan meregang nyawa di tempat yang sama. Air mata saya menetes dan terus menetes. Marandan Bebye Bapa Filep Karma. Terimakasih untuk semua nilai-nilai keteguhan dan prinsip kehidupan yang menjadi tauladan kita semua. Manseren Nanggi menjemput Bapa di sorga. Rest in Power Bapa Filep.
**