Catatan dari Kampung Gerakan Kebudayaan dari Kampung Papua

Gerakan Kebudayaan dari Kampung Papua

-

Di selatan Papua, tepatnya di Tanah Merah, Kabupaten Boven Digoel, pertengahan Juni 2022, Kaka Maria berkisah perjuangannya sebagai buruh sawit sebuah perusahaan di Kali Digoel. Ia sebenarnya ingin melanjutkan kuliah diploma sebagai perawat. Ia ingin sekali menjadi suster di kampungnya. Tapi apa daya, meski sudah megajukan beasiswa pemerintah daerah, biaya tidak kunjung turun. Mengubur impiannya menjadi perawat, Maria kembali ke kampung dan memutuskan bekerja di perusahaan sawit. Ia masih merasa bersyukur dengan ijazah SMA karena belasan saudaranya tidak diterima bekerja karena hanya memiliki ijazah SD atau SMP. Hidup kesehariannya adalah barak perusahaan, dapur, dan kebun sawit. Pulang sore harinya sudah lelah dan bergegas istirahat untuk kembali bekerja esok hari. Begitu seterusnya.

Suatu sore di awal Oktober 2022, tetiba telpon genggam saya berdering. Tidak ada nama kontak dan hanya tertera nomer. Saya coba mengangkatnya dan di ujung telpon terdengar suara yang tidak asing. Ah, betul saja. Sebut saja namanya Selpius, mahasiswa saya dari Meewo, wilayah komunitas orang Mee di Paniai. “Bapa, saya sekarang di Paniai ada buka kebun bapa,” suaranya di ujung telpon mengawali perbincangan yang hangat sore itu. Selpius mengisahkan campur aduk kekesalan dan frustasinya karena selalu gagal menjadi tenaga honorer di wilayah kelahirannya. Bekerja serabutan untuk “bantu-bantu” para pejabat juga penuh dengan ketidakpastian. Di tengah ketidakjelasan itulah Selpius bersama beberapa sarjana lainnya berinisiatif untuk membuka kebun sendiri untuk memenuhi kebutuhanannya sehari-hari. Selama ini kebun itu diacuhkan. Pemuda sebayanya lebih berminat untuk berpakaian rapi sebagai ASN (Aparatur Sipil Negara).

Kisah Maria dan Selpius tidak berdiri sendiri. Sketsanya adalah gambaran jamak dari wajah generasi muda Papua yang tetiba harus menanggapi perubahan yang berlangsung sangat cepat. Entitas anak muda Papua dengan dinamikanya sendiri menjadi sangat penting. Mereka inilah yang merepresentasikan lapisan kaum terdidik Papua dan kelompok kelas menengah baru dengan bekal pendidikan dari berbagai universitas di Tanah Papua, berbagai wilayah di Indonesia maupun luar negeri. Banyak diantara mereka kemudian terlibat dalam lingkaran birokrasi, elit politik, ataupun dalam gerakan masyarakat sipil. Kelompok-kelompok inilah yang kemudian menciptakan jaringannya sendiri, mengkonstruksi pengetahuan dan secara aktif mewarnai perkembangan Papua kontemporer.

Sktesa anak muda Papua itu menjadi salah satu fragmen dari melaju kencangnya transformasi sosial yang terjadi di Tanah Papua. Salah satu yang paling kentara adalah kebijakan bias “kemajuan” yang didesain negara sangat minim merekognisi orientasi-orientasi kebudayaan berbagai kelompok etnis. Jika pun merekognisi, terjadi kesalahan pemahaman akibat kurangnya akumulasi pengetahuan negara dan para pengambil kebijakan terhadap dinamika yang terjadi di Tanah Papua. Muara dari semuanya adalah bertarungnya dua imajinasi yang tidak seimbang, yaitu imajinasi perubahan yang dibayangkan oleh negara, investasi, dan kelompok masyarakat sipil dengan imajinasi perubahanan yang dibayangkan oleh komunitas-komunitas etnis yang ada di Tanah Papua.

Dampak perubahannya kita saksikan hingga hari ini, saat struktur sosial budaya komunitas etnis yang ada di Tanah Papua berjalan ringkih mengejar orientasi kemajuan lewat mantra pembangunan, investasi, kesejahteraan, infrastruktur, dan konektvitas (untuk siapa?) Rekognisi ekonomi politik terjadi melalui Otonomi Khusus Jilid 1 dan 2 serta pemekaran daerah serta tercipta “kelompok mencari” yaitu para elit Papua semakin memperumit transformasi Papua yang emansipatif. Yang justru terjadi adalah transformasi yang melumpuhkan kedaulatan dan kemandirian orang Papua itu sendiri. Tantangannya begitu nyata dan kompleks.

Pendidikan publik tentang Selamatkan Masyarakat Adat dan Hutan Adat Papua dari Koalisi Masyarakat Sipil Papua pada Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) di Tanah Tabi, Kabupaten Jayapura, Papua Oktober 2022 (foto: I Ngurah Suryawan)

Menegosiasikan “Pemajuan” Kebudayaan

Sejatinya, tanggapan terhadap berbagai program “kemajuan” yang diintroduksi oleh pihak luar di Tanah Papua adalah hasil dari proses negosiasi terhadap diri (identitas), lingkungan, dan masa depan rakyat Papua. Ringkihya struktur sosial budaya dalam bernegosiasi dengan kemajuan menunjukkan bahwa cita-cita pemajuan kebudayaan menghadapi tantangan serius. Hal tersebut salah satunya berkaitan dengan mencermati struktur sosial budaya di Tanah Papua yang sudah berubah akibat introduksi kemajuan yang dibawa pembangunan dan investasi, dan diperparah dengan lingkaran kekerasan yang selalu mengancam keselamatan hidup dan kemerdekaan berekspresi orang Papua.

Pada konteks kebijakan, pemerintah menginisiasi lahirlah UU No 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan dan Peraturan Pemerintah (PP) No 87/2022 serta Peraturan Presiden (Perpres) 114/2022 tentang Strategi Kebudayaan. Langkah aksi ke depan berdasarkan regulasi tersebut adalah melahirkan inisiatif baru yang inovatif dan konsolidasi praktik baik kebudayaan di seluruh negeri ini. Pandangan saya, mengarahkan focus kepada inisiatif baru yang inovatif dan praktik baik kebudayaan tersebut, meski penting tetapi beresiko untuk menjadi apolitis dalam mencermati keringkihan struktur sosial budaya dan ekonomi politik di tengah masyarakat. Penjelasan dan argumentasi mengapa keringkihan itu bisa terjadi dan bagaimana proses berlangsungnya menjadi sangat penting.

Hemat saya, gerakan pemajuan kebudayaan sangat perlu mencermati dinamika struktur sosial budaya dan ekonomi politik yang berkecamuk di berbagai daerah negeri ini, tak terkecuali di Tanah Papua. Hal ini sangat penting untuk memeriksa konteks dan lapisan-lapisan struktur ekonomi politik yang terbentuk di tengah transformasi sosial yang kencang di republik ini. Pada konteks yang mikro di perdesaan atau kampung-kampung Papua, kita menyaksikan diferensiasi sosial yang tajam karena kepemilikan lahan dan fragmentasi para elit. Pemicunya adalah dibukanya republik ini menjadi lahan investasi yang bebas untuk dimasuki oleh perusahaan apapun untuk mengeruk kekayaan alam negeri ini.

Struktur ekonomi politik di kampung berubah drastis disamping karena masuknya berbagai introduksi pembangunan negara, yang tidak kalah massif dan sekaligus juga memprihatinkan justru adalah perampasan alam, tanah, dan sekaligus juga ruang hidup masyarakat. Hal ini adalah upaya struktural yang dilegitimasi oleh kebijakan negara. Secara sistematis juga kita menyaksikan penyingkiran hak dan akses komunitas atau masyarakat adat terhadap alam mereka sendiri yang dirampas investasi. Hal yang kemudian terjadi bukan saja rusaknya alam tetapi juga rusaknya struktur dan sendi-sendi kehidupan komunitas dan masyarakat adat. Komunitas dan masyarakat di kampung-kampung harus bernegosiasi dengan berbagai himpitan yang berada di depan halaman rumah mereka. Di tengah situasi seperti inilah usaha-usaha pemajuan kebudayaan akan berlangsung.

Pada sisi lainnya, orientasi “pemajuan” yang diangkut oleh investasi dan kebijakan negara tersebut menyingkirkan pandangan kosmologis komunitas-komunitas etnis di Papua yang berhubungan dengan tanah, ingatan, perjalanan teologi lokal, kepercayaan dengan leluhur dan nenek moyang. Padangan inilah yang seringkali dianggap tidak sesuai dengan kemajuan dan modernitas dan dianggap tradisionil, namun masih lekat dalam pandangan kosmologi banyak komunitas di Tanah Papua. Inilah salah satu bentuk kompleksitas ketidakpastian yang harus ditangani oleh usaha pemajuan kebudayaan dan proyek-proyek pembangunan berkelanjutan. Pandangan kosmologis ini jugalah yang menantang kepengaturan yang dilakukan oleh negara dan investasi.

Peresmian Rumah Baca Onomi Niphi di Kampung Yoboi, Sentani, Kabupaten Jayapura pada Oktober 2022 (foto: I Ngurah Suryawan)

Menuju Kedaulatan dan Kemandirian

Pelumpuhan kedaulatan dan kemandirian orang Papua tidak hanya berlangsung di daerah urban tetapi juga merangsek ke kampung-kampung. Lokus gerakan kebudayaan semestinya juga berawal dan berbasis di kampung, dan bukan hanya terbatas sanggar-sanggar dalam konteks properti kesenian dalam bentuk tarian, musik, dan lagu. Hal ini seringkali menipu karena sangat artifisial atau sering dianggap “sanggar festival” karena hidupnya bergantung dengan berbagai festival dan bantuan-bantuan. Kemandirian dan kedaulatan gerakan kebudayaan semestinya lahir dan berbasis di kampung.

Seorang karib dari komunitas orang Mee di Tanah Papua menuturkan dengan jernih kepada saya tentang Ooda Owaada yaitu pagar inti yang mengurung kampung dan juga pagar yang melindungi rumah dan pekarangan keluarga. Filosofi Ooda Owaada kemudian berkembang dalam pengelolaan lahan pertanian yang lebih intensif di kawasan Lembah Kamu dan lembah di tiga danau yaitu Danau Paniai, Tigi, dan Tage. Inti dari filosofi Ooda Owaada adalah mengurus kembali kebun dan lahan-lahan penghidupan yang ada di dalam pagar-pagar keluarga dan kampung kita. Jika kita tidak mengurus kebun dan lahan-lahan penghidupan, itulah pertanda krisis yang paling parah yang ada di tiap kampung.

Almarhum Benny Makewa Pigai, salah satu intelektual Orang Mee dalam bukunya Ekonomi Owaada dimulai dari Halaman Tiap Rumah (2011) menulis para orang tua Mee biasanya sering mengungkapkan, Oobutu owaabutu dupiawi yang artiya menata halaman rumah sebagai taman hidup. Inilah pentingnya untuk menata diri, keluarga, dan lingkungan hidup yang dimulai dari penataan rumah dan pekarangan sendiri. Rumah dan pekarangan adalah oase hidup yang dibangun sebagai taman atau lahan penghidupan yang hasilnya digunakan pada saat keluarga sakit, pada saat ada tamu datang, dan saat hari hujan.

Gerakan lainnya yang berbasis kampung tetapi kemudian dipopulerkan di daerah perkotaan adalah Mambesak, sebuah group music yang terbentuk pada tahun 1978 di Jayapura. Tempat yang sering dijadikan sebagai lokasi latihan dan pementasan music, lagu, dan tarian Papua itu adalah Museum Loka Budaya, Universitas Cenderawasih (Uncen) atau yang sering disebut sebagai istana Mambesak.

Gerakan kebudayaan Mambesak ini berbasis di kampung karena para anggotanya yang mahasiswa Uncen turun ke kampung-kampung pada saat liburan semester atau menjelang Natal untuk menginventarisasi lagu-lagu daerah dan gerak-gerak tariannya. Fokus para anggota Mambesak ini adalah mencatat lagu tersebut dan merekam bagaimana suara masyarakat yang memainkannya pada sebuah tape perekam sederhana. Energi suara dari lagu-lagu daerah inilah yang akan digunakan sebagai dasar untuk mengaransemen ulang lagu tersebut ketika sudah sampai di Jayapura. Gerakan inventarisasi lagu-lagu dan tarian berbagai etnik ini dilakukan oleh anggota Mambesak yang menyebar ke berbagai wilayah di tanah Papua.

Para anggota Mambesak di kampungnya masing-masing mencatat lagu-lagu daerah dan juga menggali data tentang budaya dan kesenian lain yang ada di daerah mereka. Kembali ke Jayapura mereka akan membawa tulisan lagu-lagu tersebut dan data-data seni dan budaya lainnya. Jika tidak kembali dalam waktu yang lama, ada orang yang dititipkan untuk membawa catatan lagu tersebut agar sampai di Jayapura. Tidak hanya sampai di sana. Mereka yang kembali ke Jayapura untuk melanjutkan kuliah akan langsung mempraktikkan pengetahuan yang mereka dapatkan di kampung. Mereka akan menyanyi, menari, dan berbagi pengalaman mereka selama di kampung kepada teman-teman yang lain di Museum Loka Budaya.

Almarhum Arnold Clements Ap, pimpinan grup ini dan kawan-kawannya akan mengarahkan para anggotanya untuk menirukan gaya-gaya tarian dan syair dari nyanyian daerah tersebut. Mereka sudah membagi diri dalam bidang musik, tari, lagu-lagu, dan teater. Usaha untuk mengumpulkan data-data ini berlangsung secara terus-menerus. Keseluruhan pengetahuan ini kemudian dikumpulkan dan lagu-lagu daerah kemudian diaransemen ulang oleh kelompok Mambesak hingga menjadi popular. Setelah siap dengan gerakanan tari dan aransemen lagu-lagu tersebut, Mambesak akan mengumumkan kepada publik melalui RRI (Radio Republik Indonesia) akan mengadakan pementasan di Istana Mambesak.

Gerakan kebudayaan Papua kontemporer bisa mengadaptasi metode gerakan Mambesak yang berbasis di kampung tersebut. Tapi, bukannya kemudian mengolah dan meyemaikan gerakannya di kota, tetapi justru memusatkan gerakannya di kampung untuk merespon permasalahan dan perubahan yang terjadi. Gerakan kebudayaan dari kampung ini tentu saja berbasis komunitas-komunitas yang menanggapi ringkihnya struktur sosial budaya dan ekonomi politik serta permasalahan kontemporer yang terjadi. Kelahirannya bisa merespon permasalahan di kampung dan menjadi basis dari gerakan kebudayaan kebudayaan yang emansipatif tersebut. Hanya dengan demikianlah gerakan kebudayaan Papua memiliki akar yang kuat, lokus, dan basis gerakan yang jelas yaitu di kampung-kampung.

I Ngurah Suryawan
Penulis adalah antropolog dan dosen di Universitas Papua (Unipa), Manokwari, Papua Barat.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Kapitalisme di Era Digital: Manusia, Ruang, dan Alat

Ide menulis tulisan ini, dimulai ketika beberapa waktu lalu...

Belajar Gerakan Kedaulatan Diri Owadaa dari Meeuwodide (Bagian 2)

Pada bagian pertama catatan ini sebelumya, saya mencoba untuk belajar pandangan konseptual tentang Owadaa. Selain itu, sisi teologis yang...

Belajar pada Njoto, Menuju Jurnalisme yang Mendidik Massa

Dalam deretan tokoh-tokoh jurnalistik di Indonesia, nama Njoto jarang terdengar. Kerap ketika berbicara mengenai sejarah jurnalisme di Indonesia, nama...

Empat Babak Sekuritisasi di Papua

Sejak dimulainya Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) oleh Presiden Soekarno pada 19 Desember 1961 banyak terjadi pelanggaran hak asasi...

Mambesak dan Gerakan Kebudayaan Papua Pascakolonial

Mambesak tidak sekadar grup musik Papua biasa. Selain sebagai pioner dengan mempopulerkan lagu-lagu daerah Papua yang kaya dan beragam,...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan