Siaran Pers
Nomor: 004/SP-LBH-Papua/III/2023
Perjuangan Selamatkan Hutan Adat Marga Woro di Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura untuk Melindungi Planet Bumi dari Ancaman Gas Rumah Kaca
“Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua segera cabut Surat Keputusan Nomor 82 Tahun 2021 dalam rangka melindungi hutan adat marga Woro dan mendukung perjuangan pimpinan marga Woro untuk meningkatkan kemampuan hutan dan lahan untuk menyerap Gas Rumah Kaca (GRK) sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 dan Penjelasan huruf f, angka 2, Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2004.”
Pada prinsipnya hutan memiliki peran penting dalam kehidupan seluruh makhluk hidup di dunia. Beberapa peran dan manfaat hutan, yaitu sebagai paru-paru dunia, menjaga, dan mempertahankan kesuburan tanah, sebagai tempat tinggal makhluk hidup, menjadi sumber keberagaman hayati, dan mencegah terjadinya bencana alam. Atas dasar itu, apabila pada prakteknya ada pihak yang berjuang untuk melindungi hutan maka yang bersangkutan sedang berjuang untuk selamatkan segala macam manfaat hutan yang disebutkan di atas.
Berdasarkan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan secara tegas disebutkan ada beberapa jenis hutan, yaitu: hutan Negara, hutan hak, hutan adat, hutan produksi, hutan lindung, dan hutan konservasi. Untuk diketahui bahwa hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat sebagaimana diatur Pasal 1 angka 6, UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 tertanggal 16 Mei 2013. Dengan berdasarkan pada definisi tersebut maka sudah pasti seluruh hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat papua adalah milik masyarakat adat Papua.
Pengakuan dan jaminan hukum atas Kepemilikan hutan adat oleh masyarakat adat Papua secara tegas telah dijamin dalam ketentuan “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang diatur dalam UU” sebagaimana diatur pada Pasal 18b ayat (2), Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu, ketentuan “kewajiban mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan, dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan peraturan hukum yang berlaku” sebagaimana diatur pada Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
Dengan melihat fakta penerbitan Surat Keputusan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua Nomor 82 Tahun 2021 tentang Kelayakan Lingkungan Hidup Rencana Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit dan Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit Dengan Kapasitas 90 ton TBS/jam seluas 36.094,4 hektar oleh PT Indo Asiana Lestari Di Distrik Mandobo dan Distrik Fofi Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua tertanggal 2 November 2021 tentunya secara langsung akan berdampak pada hilangnya hutan adat Masyarakat Adat Awyu yang terdapat dalam lahan seluas 36.094,4 Hektar.
Berdasarkan pada kekhawatiran hilangnya hutan adat milik Masyarakat Adat Awyu khususnya marga Woro yang terletak dalam lahan seluas 36.094,4 hektar yang akan dijadikan Perkebunan Kelapa Sawit dan Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit dengan kapasitas 90 ton TBS/jam oleh PT Indo Asiana Lestari sehingga Pimpinan Marga Woro mengajukan Gugatan terhadap Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua atas penerbitan Surat Keputusan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua Nomor 82 Tahun 2021 tentang Kelayakan Lingkungan Hidup Rencana Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit dan Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit dengan Kapasitas 90 ton TBS/jam seluas 36.094,4 hektar oleh PT Indo Asiana Lestari Di Distrik Mandobo dan Distrik Fofi Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua tertanggal 2 November 2021 di Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura dan telah terdaftar dengan Nomor: 6/G/LH/2023/PTUN. JPR tertanggal 13 Maret 2023.
Mengingat perayaan hari hutan sedunia selalu dirayakan pada tanggal 21 Maret setiap tahunnya dan melihat fakta pemimpin marga Woro mengajukan gugatan pada tanggal 13 Maret 2023 di atas fakta salah satu alasan gugatannya adalah kekhawatiran hutan adat milik marga Woro maka sudah dapat disimpulkan bahwa gugatan pimpinan marga Woro merupakan bagian langsung dari perjuangan perlindungan hutan adat demi anak cucu pewaris hutan adat marga Woro serta bagian langsung dari perjuangan menyelamatkan planet bumi dari ancaman Gas Rumah Kaca (GRK) sesuai prinsip Negara Indonesia yang mengadopsi Protokol Kyoto sebagai hukum nasional untuk dijabarkan dalam kerangka peraturan dan kelembagaan sehingga dapat meningkatkan kemampuan hutan dan lahan untuk menyerap GRK sebagaimana dijelaskan pada penjelasan huruf f, angka 2, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBBB) tentang Perubahan Iklim atau Climate Change.
Berdasarkan fakta selama ini, mayoritas ijin lingkungan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah bagi pemegang Hak Pengolahan Hutan (HPH) maupun Hak Guna Usaha (HGU) yang sudah, sedang, dan akan beroperasi di atas wilayah adat Papua dilakukan tanpa sepengetahuan masyarakat adat Papua. Padahal secara prinsipil mayoritas masyarakat adat Papua memiliki keinginan untuk mempertahankan hutan adatnya demi keberlanjutan hidup mereka dan anak cucunya sehingga mereka tidak menghendaki hutan adatnya dijadikan lahan usaha apa pun termasuk sawit sebagaimana yang dialami dan dilakukan oleh masyarakat adat Awyu khususnya marga Woro dalam kasus penerbitan Surat Keputusan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua Nomor 82 Tahun 2021 tentang Kelayakan Lingkungan Hidup Rencana Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit dan Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit Dengan Kapasitas 90 ton TBS/jam seluas 36.094,4 hektar oleh PT Indo Asiana Lestari di Distrik Mandobo dan Distrik Fofi Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua tertanggal 2 November 2021.
Pada prinsipnya tindakan pemerintah daerah maupun pemerintah pusat dalam memberikan ijin lingkungan bagi pemegang Hak Pengolahan Hutan (HPH) maupun Hak Guna Usaha (HGU) di atas merupakan fakta pelanggaran ketentuan “Penanam modal yang melakukan investasi di wilayah Provinsi Papua harus mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat setempat. Perundingan yang dilakukan antara pemerintah provinsi, kabupaten/kota, dan penanam modal harus melibatkan masyarakat adat setempat” sebagaimana diatur pada Pasal 42 ayat (2) dan ayat (3), UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Dengan berpegang pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Perubahan Iklim atau Climate Change di atas serta melihat fakta pemberian ijin sepihak oleh pemerintah daerah maupun Pemerintah Pusat tentunya mempertanyakan komitmen Negara melalui pemerintah pusat dan daerah dalam rangka meningkatkan kemampuan hutan dan lahan untuk menyerap Gas Rumah Kaca (GRK) di atas wilayah adat Papua.
Bertepatan dengan perayaan hari hutan sedunia pada tahun 2023 ini, sudah saatnya pemerintah daerah maupun pemerintah pusat wajib belajar dari sikap masyarakat adat Papua khususnya marga Woro yang memiliki niat untuk melindungi hutan adatnya dengan cara mengajukan gugatan terhadap Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua di Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura yang terdaftar dengan Nomor:6/G/LH/2023/PTUN.JPR. Pada prinsipnya melalui gugatan pimpinan marga Woro menunjukan bahwa masyarakat adat Papua memiliki tujuan meningkatkan kemampuan hutan dan lahan untuk menyerap Gas Rumah Kaca (GRK) sesuai dengan penjelasan huruf f, angka 2, atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Perubahan Iklim. Atas dasar itu, sudah dapat disimpulkan bahwa gugatan pimpinan marga Woro untuk melindungi hutan adat marga Woro adalah bagian langsung dari perjuangan untuk melindungi planet bumi dari ancaman Gas Rumah Kaca (GRK).
Berdasarkan uraian panjang di atas, kami Lembaga Bantuan Hukum Papua (LBH Papua) sebagai salah satu Kuasa Hukum dalam Tim Advokasi Selamatkan Hutan Adat Papua yang mendampingi pemimpin marga Woro menggugat Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua menegaskan kepada:
Pertama: Presiden Republik Indonesia wajib melindungi hutan adat di seluruh wilayah adat Papua demi meningkatkan kemampuan hutan dan lahan untuk menyerap Gas Rumah Kaca (GRK) sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 dan penjelasan huruf f, angka 2, Undang U Nomor 17 Tahun 2004.
Kedua: Mentri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia dan kepala daerah di seluruh wilayah adat Papua wajib mengakui masyarakat adat Papua sebagai pemilik hutan adat Papua sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 tertanggal 16 Mei 2013.
Ketiga: Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia dan kepala daerah di seluruh wilayah adat Papua segera mencabut ijin perusahaan yang diberikan tanpa sepengetahuan masyarakat adat Papua pemilik hutan adat Papua sesuai Pasal 42 ayat (2) dan ayat (3), Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021.
Keempat: Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua segera cabut Surat Keputusan Nomor 82 Tahun 2021 dalam rangka melindungi hutan adat marga Woro dan mendukung perjuangan pimpinan marga Woro untuk meningkatkan kemampuan hutan dan lahan untuk menyerap Gas Rumah Kaca (GRK) sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 dan Penjelasan huruf f, angka 2, Atas Undang Undang Nomor 17 Tahun 2004.
Demikian siaran pers ini dibuat, semoga dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. Atas perhatiannya disampaikan terima kasih.
Jayapura, 23 Maret 2023
Hormat kami
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Papua (LBH Papua)
Emanuel Gobay, S.H.,MH.