“Tidak ada eko-kapitalisme. Itu hanya kamuflase politik penindas. Eko-sosialisme alternatif atas kehancuran bumi dan makhluk hidup”.
Situasi dunia dewasa ini, umat manusia terus diperhadapkan dengan berbagai persoalan, di antaranya adalah kemiskinan, perubahan iklim, bencana alam, perang baik soft war maupun hard war, rasialisme, agama, diskriminasi, dan persoalan lainnya.
Rakyat luas terus mencari akar penyebab krisis-krisis yang muncul tersebut. Menurut para agamawan, ini adalah persoalan moral dan etika yang berporos pada keyakinan atau iman. Bagi penegak hukum, persoalan-persoalan ini diakibatkan oleh ketidakpatuhan masyarakat dalam menjalankan hukum-hukum yang dibuat oleh negara. Sementara para birokrat melihatnya ini diakibatkan oleh ketidakteraturan masyarakat dalam suatu sistem birokrasi sehingga harus ditertibkan dalam satu tatanan administrasi pemerintahan dan dapat dikontrol perilaku masyarakatnya.
Pandangan-pandangan semacam ini belum mampu menemukan titik persoalannya karena bersifat parsial, fragmentatif dalam melihat sebab musabab munculnya krisis sementara setiap persoalan dan hubungan kausalitas dengan basis historis dan materialisnya.
Karl Marx dan Frederick Engel dalam Ideologi Jerman menulis dengan tegas, “Dia Tidak melihat bahwa dunia indrawi di sekitarnya bukanlah sesuatu yang hadir secara langsung dalam keabadian, sesuatu yang selalu sama, namun hasil dari industri dan keadaan masyarakat. Suatu produk sesungguhnya adalah produk sejarah, hasilnya dari aktivitas generasi demi generasi. Setiap generasi berdiri di atas bahu generasi sebelumnya yang telah mengembangkan industri, hubungan sosial produksinya, mengubah sistem sosialnya sesuai dengan perubahan kebutuhan-kebutuhan hidupnya”[1].
Alam (baca: keadaan alam), alat kerja, tenaga kerja telah menjadi bagian integral dari sumber daya produksi yang ikut mempengaruhi hubungan sosial produksi, cara produksi, pembagian kerja, dan bentuk kepemilikan. Perkembangan masyarakat menurut Karl Marx terdiri dari beberapa fase, yaitu: pertama: fase perkembangan komunal primitif atau kepemilikan atas sarana produksi dan hasil produksi menjadi milik bersama, tidak ada kelas-kelas atau setara, kedua: fase perbudakan atau sarana produksi dan hasil produksi dimiliki tuan budak, ketiga, fase feodalisme atau sasaran produksi dan hasil produksi dikonsentrasikan kepada tuan feodal atau raja dalam bentuk upah, dan keempat: fase kapitalisme dimana modal, alat produksi, sasaran produksi dikuasai oleh pemilik modal atau kapitalis dengan ciri khas eksploitasi, akumulasi, dan ekspansi.
Fase kehidupan manusia yang setara telah melahirkan semangat kesetaraan, kolektif, dan komunalisme tetapi juga menjadi tahapan perkembangan masyarakat menuju tatanan masyarakat kapitalis dengan kebudayaan persaingan, saling mendominasi, yang kaya semakin kaya dan yang miskin tetap menghamba, jika tidak berubah menjadi kapitalis. Semangat manusia menjadi setara dan saling mendominasi telah menghantarkan kita pada pertentangan yang ideologis, yakni ideologi penindas, yaitu kapitalisme dan ideologi rakyat tertindas, yakni sosialisme-komunisme modern.
Kapitalisme: Degradasi Lingkungan yang Historis dan Mengglobal
Kemerosotan lingkungan hidup bukan hal baru bagi dunia saat ini saja, tapi telah terjadi sepanjang catatan sejarah, dengan akibat-akibat negatif yang mendalam bagi sejumlah peradaban kuno, khususnya Mesopotamia dan Maya, yang runtuh akibat faktor-faktor yang diyakini adalah faktor ekologi. Persoalan penggundulan hutan, erosi tanah, dan salinisasi tanah irigasi terjadi sepanjang zaman kuno. Persoalan kerusakan lingkungan di Yunani Kuno, Plato (427-347 SM) menulis dalam Critias menulis, “Bukti apa yang bisa kita tawarkan bahwa [tanah sekitar Athena] … saat ini hanyalah sisa-sisa gersang dari yang sebelumnya? … Yang tersisa bagimu (dengan pulau-pulau kecil) mirip dengan rangka yang dagingnya telah habis dimakan penyakit, lapisan tanah yang gembur dan kaya telah habis, tak meninggalkan apa-apa selain kulit dan tulang … Pegunungan yang saat ini hanya menopang kehidupan lebah, belum lama lalu menghasilkan pohon-pohon yang bila ditebang bisa menyediakan rangka-rangka atap bagi gedung-gedung besar, yang atapnya kini masih berdiri dan banyak pohon-pohon tinggi yang menyediakan dalam jumlah tak terbatas pangan bagi binatang liar. Tanah mengambil manfaat dari hujan tahunan yang tak mengalir sia-sia di lahan gundul seperti saat ini, tapi diserap dalam jumlah besar dan ditahan oleh lapisan liat, sehingga apa yang diserap oleh tanah bagian atas, mengalir turun ke lembah-lembah dan muncul dimana-mana dalam rupa-rupa sungai dan mata air. Dan kuil-kuil yang hingga kini masih bertahan dibekas-bekas mata air ini adalah bukti kebenaran uraian atas keadaan kita saat ini”[2].
Tulisan Plato ini dapat menerangkan kepada kita secara singkat bahwa degradasi lingkungan yang berujung pada ekosida terjadi akibat aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup dengan pola pengambilan eksploitasi sumber daya alam yang tidak terbatas dilandasi semangat bahwa manusia adalah spesies paling pusat dan penting dari pada spesies hewan (biota) dan abiotik atau antroposentris.
Di dalam ajaran agama Kristen dalam kitab Kejadian pasal 1 ayat 26 ditulis, “Baiklah kita menjadikan manusia … supaya berkuasa atas burung-burung di laut dan atas burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap dibumi.” Penggalan ayat ini memiliki diksi “berkuasa” sehingga banyak disalahartikan oleh para pendeta dan jemaat sebagai adanya “mandat” dari Tuhan untuk menaklukan alam oleh manusia, dan kebanyakan dikhotbahkan oleh pendeta dan pastor yang menganut teologi persemakmuran.
Pemahaman-pemahaman semacam ini telah memberikan kenyamanan ideologis atau legitimasi kepada kapitalisme untuk terus mengeruk isi bumi dengan dalil pembangunan, kemakmuran, dan alasan-alasan utopis lainnya.
Setelah revolusi industri menandai masuknya era modern pengrusakan lingkungan menjadi lebih menonjol dan meningkat adalah bahwa kini penghuni bumi lebih banyak memiliki teknologi yang sanggup menciptakan kerusakan lebih besar dan lebih cepat dan kita dihegemoni oleh sistem ekonomi yang tak kenal batas. Kerusakan yang ditimbulkan hari ini begitu luas sehingga bukan cuma menyebabkan kemerosotan ekologi di tingkat lokal dan regional seperti pada perkembangan-perkembangan masyarakat sebelumnya tapi juga mempengaruhi lingkungan pada skala planet, mengancam sebagian besar spesies di bumi ini, termasuk spesies kita sendiri, manusia.
Persoalan lingkungan hidup saat ini tidak bisa disederhanakan menjadi persoalan tunggal betapa pun besarnya, melainkan terdiri dari serangkaian persoalan. Sistem ekonomi politik berlandaskan paham kapitalisme yang dijalankan saat ini. Ilmuan-ilmuan yang mendalami ilmu sistem bumi mengembangkan konsep mengenai “batas-batas planet”. Ada Sembilan ambang batas kritis dari sistem planet yang telah ditetapkan (atau sedang dipertimbangkan), yaitu: perubahan iklim, pengasaman air laut, penipisan ozon di stratosfer, batas aliran biogeokimia (siklus nitrogen dan fosfor), penggunaan air bersih global, perubahan pemanfaatan lahan, hilangnya keanekaragaman hayati, pelepasan aerosol ke atmosfir, dan polusi kimia. Tetap berada di dalam masing-masing ambang batas ini dinilai penting untuk mempertahankan kondisi iklim dan lingkungan yang relatif baik yang telah ada sepanjang 12.000 tahun terakhir (kala holosen). Ada tiga dari sembilan ambang batas keberlanjutan sistem tersebut yang telah terlewati, yakni perubahan iklim, keragaman hayati, dan campur tangan manusia dalam siklus nitrogen (bagian dari batas aliran biogeokimia) yang mencerminkan retakan besar dalam sistem bumi. Sementara lainya pengasaman air laut, penggunaan air tawar global, perubahan pemanfaatan lahan, dan siklus fosfor menghadirkan retakan yang kian mendekati ambangnya. (batas pelepasan aerosol di atmosfir dan polusi kimia belum ditetapkan)[3].
Keretakan alam atau degradasi lingkungan terjadi akibat sistem produksi yang tidak ramah terhadap lingkungan, misalnya pembuangan limbah beracun, berbau, dan berbahaya dalam ambang batas lebih atau tidak sesuai baku mutu lingkungan ke alam bebas sehingga berdampak buruk bagi biota maupun abiotik yang ada di sekitar ekosistem sehingga sistem metabolik alam terganggu.
Bagaimana Kapitalisme Hancurkan Bumi Papua?
Perkembangan masyarakat barat yang maju telah menemukan mesin-mesin mekanisasi, menemukan sistem navigasi, dan revolusi industri, tingkat konsumsi yang meningkat mempengaruhi sistem produksi yang bertumpuh pada semangat akumulasi modal telah menempatkan alam sebagai komoditas ini berakibat pada semakin merosotnya ketersediaan sumber daya alam dan harus mencari wilayah-wilayah baru yang melimpah sumber daya alamnya, dan inilah semangat imperialisme.
Tanah Papua pertama kontak dengan Sriwijaya dan Majapahit pada abad ke-13 dan gelombang berikutnya dikunjungi oleh pelaut asal Portugis dan Spanyol (1551-1663) kemudian diikuti oleh Belanda, Inggris, Prancis, dan Jerman, negara-negara ini menjadi imperium baru di dunia saat itu. Pada 1898 secara resmi pemerintahan Belanda mendirikan sistem administrasi pemerintahannya di tanah Papua. Ini menjadi penanda bahwa masyarakat Papua akan diperhadapkan dengan loncatan perubahan, sistem pemerintahan modern dan kehidupan ala masyarakat kapitalis Eropa.
Konsekuensi logisnya, mulai muncul konsep kota. Keberadaan kota mendorong kebutuhan akan administrasi, polisi, hukum, perusahan, dan sistem administrasi lainnya. Kehadiran kota mendorong kebutuhan atas tata pemerintahan, politik secara umum. Disinilah pembagian penduduk dalam dua kelas besar diwujudkan dan secara langsung didasari pembagian kerja dan alat-alat produksi. Kota secara faktual adalah pemusatan penduduk (tenaga kerja), alat produksi, kapital, rekreasi, kebutuhan. Sementara desa menunjukkan fakta sebaliknya, yakni isolasi dan pemisahan.
Selain itu Belanda melakukan ekspedisi sekitar 140 kali, sejak 1900 sampai akhir tahun 1930an. Ekspedisi-ekspedisi ini bertujuan untuk memetakan kondisi geografis dan potensi sumber daya alam secara citra udara. Ini menjadi tonggak penting ditemukannya luas hutan Papua dan potensi sumber daya alam lainnya untuk dijadikan sasaran eksploitasi.
Tahun 1935 perusahan asal Inggris, Belanda, dan Amerika Serikat mendirikan suatu perusahaan minyak bersama yang disebut Nederlands Nieuw Guinea Petroleum Maatschappij (NNGPM) yang beroperasi di Sorong dan Bintuni. John Djopari (1993) menyebutkan, Belanda mengekspor minyak bumi dengan nilai ekspor yang tinggi ketimbang berbagai komoditas lainya: Kopra, pala, bunga pala, kulit buaya, damar, kayu gelondongan, kakao, dan lain-lain. Aktivitas ekspor meningkat antara tahun 1950 sampai 1960 ditangani oleh perusahan Niew Guinea Import Export Matschappij (NIGIMIJ). Pendapatan dari aktivitas ekspor ini menjadi pendapatan utama Belanda dan menopang jalannya administrasi pemerintahan kolonial Belanda saat itu. Aktivitas pencurian sumber daya alam dari tangan rakyat Papua oleh Belanda ini sekalipun, ada dampak lingkungan dalam skala rendah tetapi kemudian tidak terlalu signifikan dalam mengganggu kondisi lingkungan hidup Papua dikarenakan masih banyak wilayah penyangga ekosistem yang belum tersentuh.
Aneksasi Papua oleh Indonesia pada 1 Mei 1963, 2 tahun sebelum pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969, pada 7 April 1967 kolonial Indonesia menandatangani kontrak karya pertama PT. Freeport, perusahaan milik imperialis Amerika untuk melakukan ekstraksi sumber daya alam: emas, tembaga, nikel, dan uranium di Gunung Nemangkawi, Timika.
Aktivitas produksi oleh PT. Freeport membuang 230.000 ton limbah batu ke sungai Aghawagon dan sungai-sungai di sekitarnya. Pengeringan batuan asam—atau pembuangan air yang mengandung asam—sebanyak 360.000 sampai 510.000 ton per hari, telah merusak dua lembah yang meliputi 4 mil (6,5 km) hingga kedalaman 300 meter. Cadangan Grasberg sebegitu besarnya hingga eksplorasinya akan menghasilkan 6 miliar ton limbah industri.
Penghancuran ekologi (ecocide) oleh korporaasi lainnya di tanah Papua terus terjadi melalui berbagai skema dan yang sangat masif di sektor kehutanan saat ini adalah pola pelaksanaan Hak Pengusahaan Hasil Hutan (HPHH) yang dimiliki perusahaan pembalak hutan maupun konversi sumber daya hutan untuk perluasan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang konsesinya diberikan oleh negara kolonial Indonesia dan akibatnya semakin menjamur luasan perkebunan sawit di tanah Papua.
Kolonial Indonesia secara nasional mendorong kebijakan pro kapitalis, membagi Indonesia dalam beberapa koridor pengembangan korporasi dan mempercepat arus mobilisasi barang melalui kebijakan Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), memaksakan pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja, dan Otonomi Khusus (Otsus) Jilid II di tanah Papua. Kebijakan-kebijakan dari atas ke bawah ini adalah watak negara kolonial Indonesia, bahwa penjajahan melalui kebijakan dilakukan untuk terus menjaga status quo dan terus melindungi kepentingan kapitalisme atas sumber daya alam di Papua.
Aktivitas kapitalisme di Papua telah merampas tanah-tanah milik komunal masyarakat adat Papua, mencemari sungai sehingga rakyat kehilangan sumber air bersih, membabat habis hutan, sehingga masyarakat kehilangan tempat berburu dan hewan kehilangan habitatnya, bahkan terancam punah.
Kapitalisme menghancurkan mata rantai penghidupan yang ada di dalam ekosistem alami di Papua, terganggunya rantai makanan adalah lonceng kepunahan bagi biota-biota yang berukuran kecil sampai besar, ini juga akan mengancam kehidupan manusia Papua secara langsung karena sumber penghidupan untuk mendapatkan nutrisi bagi tubuh tidak akan tercukupi.
Rakyat pada akhirnya terus dipaksa harus beralih profesi dari hidup tergantung pada alam menjadi buruh tani dan menjual tenaga kerjanya di perusahan-perusahan milik kapitalis dengan pembayaran upah yang rendah di industri sawit dan perusahaan ekstraktif lainnya.
Pengalihan kepemilikan atas sasaran produksi seperti tanah dan kepemilikan alat produksi oleh kapitalis telah memposisikan kapitalis sebagai tuan tanah baru dan didukung oleh kekuatan militer serta kebijakan yang merepresif rakyat Papua. Tahun 2022 negara kolonial Indonesia memaksakan pemekaran di tanah Papua menjadi 5 provinsi, pengembangan provinsi dengan dalil pembangunan ini sejatinya hanya untuk mempercepat pembangun infrastruktur untuk kapitalisme di Papua sehingga semakin terbukanya wilayah-wilayah Papua akan mempermudah arus investasi kapitalis.
Ekososialisme Sebagai Jalan Keluar
Papua menjadi sasaran empuk imperialisme, ini adalah ideologi penindas yang terus menghilangkan hak kepemilikan komunal atas sasaran produksi dengan pola perampasan lahan dan mengklaim kepemilikan atas alat produksi dan terus menguras tenaga kerja manusia seakan-akan seperti sapi perah. Sistem kapitalisme telah mengakibatkan terkonsentrasi hasil produksi (laba) kepada segelintir orang yang menjadi pemodal-pemodal besar, menciptakan lembaga keuangan dan bank untuk mempertahankan kekuasaan mereka.
Rakyat Papua harus keluar dari pusaran sistem penindasan yang destruktif terhadap lingkungan, dengan memilih ideologi politik yang revolusioner. Yang perlu dilakukan untuk mengatasi krisis lingkungan dan dengan itu memastikan bahwa rakyat punya masa depan, adalah menggantikan kapitalisme dengan tatanan sosial berbasis sebuah perekonomian yang tidak membaktikan diri untuk memaksimalkan keuntungan privat dan mengakumulasi kapital yang lebih besar, melainkan lebih kepada pemenuhan kebutuhan rill manusia dan memulihkan lingkungan ke dalam kondisi sehat yang berkelanjutan. Inilah inti perubahan revolusioner saat ini.
Namun tentu ini tidak bisa terjadi sekaligus. Revolusi ekologis sosialis semacam itu harus berangkat dari tempat kita berpijak sekarang, kebutuhan mendesak rakyat, dan mengakui bahwa kita harus mengatasi bahaya yang paling mendesak, genting, yakni kolonialisme Indonesia dan secara bersamaan bekerja untuk tujuan lebih jauh menggantikan kapitalisme dengan tatanan sosial yang lebih manusiawi dan berkelanjutan.
Dalam sistem ini, demokrasi ekonomi menjadi mungkin, tanah-tanah yang telah dirampas tuan tanah baru yang bernama investor itu bisa kembali menjadi kepemilikan komunal masyarakat adat, sungai dan laut yang tercemar dapat dikembalikan fungsi ekologisnya sebagai penyedia air bersih, kerja ekonomi atau eksploitasi dapat dijalankan sesuai kebutuhan manusia dan tidak serakah, pengendalian teknologi untuk pengelolaan limbah dapat dijalankan semaksimal mungkin tanpa takut akan ada pengeluaran yang cukup besar, sehingga akumulasi modal terganggu dan ini hanya dapat terwujud jika dan hanya jika eko-sosialisme menjadi ideologi politik rakyat pejuang Papua.
Tentu untuk menjalankan program ini kita harus berangkat secara kontekstual, mengkonsentrasikan tenaga produktif di basis rakyat tertindas (masyarakat adat, petani, nelayan, buruh, dan lain-lain), menciptakan alat politik yang tepat, kepemimpinan revolusioner dan ideologi politik yang revolusioner. Inilah jalan menuju kesejahteraan penghuni bumi, terutama bumi Papua.
Selamat hari bumi internasional. Bangun ekososialisme di Papua.
***
Catatan: tulisan ini awalnya dimuat di Koran Merdeka Edisi V April 2022 yang dikelolah oleh Komunitas Green Papua. Pernah di muat lagi di media Komunitas Green Papua. Dimuat lagi disini untuk tujuan pendidikan dan propaganda, sekaligus peringati Hari Bumi Internasional 22 April 2023.
Referensi:
[1] Marx, Karl dan Engels, Frederick. Ideologi Jerman. Pustaka Nusantara. Jakarta. Hal. 23.
[2] Plato. (1977). Timaeus and Critias. London: Penguin. Hlm. 133-134.
[3] Foster, J. Bellamy. (2010). The Ecological Rift. New York: Monthly Review Press. Hal. 13-19.