Perempuan Gerakan Perempuan Papua dan Perlawanan Terhadap Patriarki

Gerakan Perempuan Papua dan Perlawanan Terhadap Patriarki

-

Sebuah refleksi dan pemikiran.

Tulisan ini secara khusus dibuat untuk menjadi pemantik diskusi bagi semua pihak yang peduli dan sedang membangun gerakan perempuan di Papua. Karena itu saya sangat terbuka menerima kritik dan masukan demi penyempurnaan pemikiran ini.

Gerakan Perempuan Papua

Gerakan sosial adalah bentuk aksi kolektif terorganisir yang bertujuan untuk membuat perubahan sosial dan politik yang lebih baik. Contoh bentuk gerakan sosial yang berperan penting dalam membentuk masyarakat modern dan masih aktif adalah: gerakan buruh, gerakan perempuan, gerakan lingkungan, dan gerakan perdamaian. Saat ini gerakan anti kolonial juga muncul sebagai gerakan sosial di beberapa wilayah pendudukan seperti, Western Sahara, Tibet, Palestina, Kurdistan (Rojava), Ambazonia (Kamerun), New Caledonia Kanaky, Bougenville, dan Papua Barat. Sejak pergantian milenium, muncul gerakan-gerakan baru seperti, gerakan keadilan global, gerakan keadilan iklim, gerakan masyarakat pribumi, gerakan keadilan gender (Gender Justice), dan lain-lain.

Gerakan perempuan adalah sebuah gerakan sosial atau social movements yang dapat terdiri dari perempuan dan laki-laki yang bekerja dan berjuang bersama untuk mencapai kesetaraan gender dan untuk meningkatkan kehidupan perempuan sebagai kelompok sosial. Mereka berupaya untuk menantang ketimpangan dan ketidakadilan antara perempuan dan laki-laki dengan berbagai pendekatan untuk mentransformasi relasi kuasa gender, dari yang lebih konservatif menjadi lebih radikal. Gerakan perempuan di dunia terus berkembang menyesuaikan diri dengan isu dan persoalan spesifik maupun global.

Perkembangan gerakan perempuan dan feminis di seluruh dunia telah prakarsai, didorong, dan diberi arahan oleh aktor-aktor individu termasuk aktivis sosial politik, para ahli teori, akademisi, seniman, tokoh agama, dan tokoh masyarakat. Individu sangat memainkan peran penting dalam membawa agenda dan politik gerakan feminis dan perempuan ke dalam ruang gerakan lain dan ke dalam proses organisasi, serta pengambilan keputusan formal. Mengenali peran individu dalam gerakan sangat berguna ketika mempertimbangkan strategi untuk mengintegrasikan perspektif feminis dan keadilan gender ke dalam praktik gerakan sosial progresif. Untuk membangun sebuah gerakan kolektif perempuan, maka diperlukan kesadaran kritis akan penindasan perempuan. Dengan demikian, semua kekuatan gerakan akan bertindak secara sinergis.

Sementara itu, beberapa dekade terakhir ini perempuan Papua terus memperjuangkan hak-hak hidupnya yang ter/diekploitasi secara domestik maupun struktural dan terus mendorong kesetaraan dan keadilan. Suara perempuan semakin kencang di berbagai kesempatan untuk mengadvokasi situasi HAM perempuan Papua. Perempuan Papua juga semakin rajin hadir di berbagai forum jaringan perempuan dan jaringan feminis, baik di tingkat lokal Papua, nasional Indonesia maupun di forum regional dan internasional. Kehadiran mereka di forum-forum ini dalam kapasitas individu maupun representatif kolektif perempuan Papua.

Saya mengamati bahwa wadah untuk mengakomodir kepentingan perempuan maupun pembebasan bangsa yang diinisiasi oleh perempuan sudah ada sejak lama dan terus bertambah jumlahnya. Sebut saja seperti gerakan Koreri yang dipimpin Angganetha Manufandu untuk memperjuangkan pembebasan, lahirnya Sekolah Kepandaian Puteri (SKP) seperti yang dirintis gereja Katolik dan sekolah perempuan GKI di tanah Papua atau P3W, Jaringan Kerja Perempuan Indonesia Timur (JKPIT) yang dimotori Mama Yusan Yeblo, gerakan melawan Freeport dipimpin mama Yosepha Alomang, terbentuknya Solidaritas Perempuan Papua (SPP) dan pilar perempuan pada Kongres Rakyat Papua II tahun 2000sebagai wadah politik perempuan Papua. Wadah-wadah ini dimotori atau diinisiasi oleh generasi perempuan di era sebelum dan pasca Kongres Rakyat Papua II.

Selanjutnya pasca Kongres Rakyat Papua II, lahir sayap perempuan dari beberapa organisasi gerakan politik Papua seiring bergeraknya organisasi politik, bidang atau departemen perempuan pada gereja dan LSM di tanah Papua, lahirnya beberapa LSM perempuan, ikatan perempuan adat atau perempuan suku, dan terbentuknya jaringan perempuan pekerja HAM untuk maksud advokasi terhadap isu perempuan. Ada juga koalisi-koalisi perempuan, komunitas diskusi perempuan, serta organisasi komunitas yang diinisiasi oleh dan untuk perempuan Papua. Langkah lebih maju adalah inisiatif untuk menyelenggarakan sekolah-sekolah perempuan berbasis feminisme, seperti yang dirintis oleh ELadpper Merauke dan LBH Papua. Saya sendiri belum mempunyai daftar lengkap tentang organisasi perempuan dan bentuk-bentuknya yang saat ini yang ada di tanah Papua. Sangatlah baik jika ada kawan-kawan yang dapat melakukan identifikasi dan dokumentasi organisasi perempuan yang pernah ada maupun yang masih eksis demi memperkaya proses kita dałam membangun gerakan perempuan.

Semua perkembangan ini menurut saya merupakan sebuah langkah maju. Semakin banyak perempuan Papua membentuk lingkaran-lingkaran komunitasnya untuk membangun narasinya sendiri sesuai dengan konteks persoalannya, maka ia berjalan menemukan arahnya untuk pembebasan dan keadilan gender. Karena itu penting sekali untuk mengkonsolidasikan lingkaran-lingkaran komunitas perempuan Papua ini sebagai simpul-simpul gerakan.

Di satu sisi, munculnya simpul-simpul ini juga telah menuai kritik dari berbagai pihak. Kebanyakan kritikan tersebut menilai dan mengkritisi perkembangan gerakan perempuan di Papua. Gerakan perempuan Papua dinilai masih jauh dari sebuah gerakan perempuan yang terkonsolidasi dan progresif. Perempuan Papua dianggap belum bersatu atau bahkan sulit bersatu karena munculnya kelompok atau simpul-simpul perempuan tersebut dan terkesan bergerak sendiri-sendiri. Ada pula kritik bahwa perempuan Papua lebih sibuk dengan isu domestik dan sektoral serta selalu mempersalahkan laki-laki. Gerakan perempuan Papua belum terlibat aktif dalam gerakan perjuangan untuk pembebasan bangsa. Kritikan ini tentunya bermaksud untuk mendorong perkembangkan gerakan perempuan Papua ke arah yang lebih maju.

Salah satu kritikan adalah sebuah tulisan yang pernah muncul pada 25 November 2015, dan dipublikasikan kembali pada 25 November 2021 oleh media Lao-Lao Papua berjudul dengan judul asli Catatan Saya di Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan: Bahan Reflektif untuk Perempuan-Perempuan Tanah (Papua) dan diubah oleh Lao-Lao Papua menjadi Refleksi untuk Perempuan Papua di Hari Anti Kekerasan Perempuan ditulis oleh Vo Nguyen Giap Mambor.

Dalam tulisan tersebut, Nguyen mengharapkan para perempuan Papua (dengan menyebutkan sederetan nama-nama perempuan Papua, salah satunya adalah nama saya) untuk dapat bersatu dan membangun gerakan perempuan yang terlibat aktif dalam pembebasan bangsa, dan tidak terjebak dalam isu-isu kekerasan domestik dan sektoral yang dianggap tidak penting bagi pembebasan bangsa. Selanjutnya, Nguyen juga membayangkan adanya sebuah “wadah” yang bisa mempersatukan semua perempuan Papua.

Berikut adalah kutipannya:

“Pertama, memetakan masalah; masalah yang saya maksudkan di sini, tidak sebatas bicara masalah KDRT, kesetaraan gender, poligami, kesamaan dalam dunia politik, atau perdebatan-perdebatan lain yang merupakan perdebatan basi, dan sudah sering di degungkan oleh seluruh aktivis perempuan di Indonesia (yang tidak mengalami penindasan dan penghisapan “sejahat seperti kita” untuk saat ini), tetapi perempuan-perempuan Papua bagaimana keluar dari “lingkaran” pembahasan itu, dan lebih memfokuskan pada masalah di depan mata, yakni, “Partisipasi perempuan tanah dalam pembebasan nasional bangsa Papua Barat”.

Menanggapi kritik tersebut, dalam pandangan saya, perjuangan perempuan Papua adalah sebuah perjuangan melawan sistem dan budaya patriarki. Itu artinya perempuan Papua berjuang untuk membebaskan dirinya dan juga bangsa Papua dari sistem kolonial yang menindas. Patriarki dan kolonialisme ibarat dua sisi koin yang tidak dapat dipisahkan. Pernyataan Nguyen dapat mewakili pandangan dari mereka yang kurang paham tentang patriarki dan manifestasinya dalam pengalaman perempuan Papua terhadap penindasan. Isu yang diperjuangkan perempuan Papua seperti dampak miras, poligami, KDRT jika di analisa secara utuh dengan pandangan kritis dari sisi hubungan sebab akibat, maka sangat jelas ditemukan bahwa semua adalah bagian dari sebuah sistem penindasan struktural dan sistematis. Imperialisme, kapitalisme, kolonialisme, dan militerisme yang sedang dihadapi bangsa Papua saat ini adalah bentuk wujud nyata dari sistem patriarki.

Selanjutnya kritik tentang wadah persatuan perempuan, Nguyen menulis:

“Coba Anda bayangkan, semua ini berkumpul untuk “mengikrarkan” komitmen perempuan tanah (Papua) dalam “sebuah wadah”, yang akan komitmen untuk “melawan” untuk pembebasan nasional bangsa Papua Barat. Saya yakin, jika terbentuk, kita pasti merayakan hari anti kekerasan pada 25 November 2015 mendatang dengan sedikit tersenyum, karena kemajuan-kemajuan dan kontribusi-kontribusi yang sudah diberikan dengan “wadah” tersebut. Sebuah refleksi di hari perempuan, yang memang menjadi harapan dan kerinduan bersama, khusus rakyat bangsa Papua Barat”.

Saya sepakat bahwa perempuan Papua perlu wadah untuk bergerak bersama. Namun, menurut saya, proses mendirikan wadah persatuan perempuan harus melalui konsolidasi yang tidak instan. Kita tidak bisa membentuk wadah hanya dengan sebuah pertemuan 1 hari saja tanpa ada proses konsolidasi perempuan yang konsisten dan berkesinambungan. Perempuan Papua mulai menyadari bahwa mereka sedang mengalami kekerasan, penindasan, dan ketidakadilan karena identitas keperempuanan mereka, selain identitas lain yang melekat, seperti status sosial, kelas, suku sebagai interseksionalitas yang harus dikupas di tengah-tengah situasi penindasan terhadap bangsa Papua.

Menyinggung keterlibatan perempuan dalam gerakan pembebasan nasional, sebenarnya sudah banyak perempuan Papua yang terlibat aktif sebagai individu-individu maupun secara organisasi. Hanya saja kenyataannya, sejarah perjuangan pembebasan bangsa tidak mencatat dan mengakui keterlibatan itu. Contoh sederhana, di level kepemimpinan politik yang paling tinggi seperti United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), pada awal berdirinya, Leonie Tanggahma pernah dipercaya menjadi salah satu pimpinan Eksekutif ULMWP dalam wadah koordinatif itu. Selain itu ada pula Paula Makabory yang menjadi Anggota Eksekutif ULMWP dalam kepemimpinan saat ini. Akan tetapi hemat saya, peran dan posisi mereka di dalam kepemimpinan politik itu banyak memperoleh tantangan secara internal sehingga kepemimpinan mereka tidak terlalu nampak. Pemikiran-pemikiran strategis mereka kadang tidak dianggap penting. Kalau perempuan seperti Leonie dan Paula saja harus mengalami tantangan patriarki yang besar dalam lingkaran itu, pasti perempuan Papua yang lain juga mengalami hal yang sama meski di ranah yang berbeda.

Faktanya, masih ada pandangan dari beberapa pihak bahwa perjuangan pembebasan bangsa Papua adalah wilayah otoritas laki-laki, karena di dałam budaya Papua, laki-lakilah yang berperang, sementara perempuan bertugas menjaga dan memelihara keluarga selama laki-laki pergi berperang. Karena itu perempuan Papua perlu menilik kembali secara kritis peran perempuan Papua yang selalu dijunjung dan diagung-agungkan yaitu, ‘melahirkan, memelihara, dan menjaga kehidupan’.

Selanjutnya, partisipasi perempuan yang sadar dan terdidik dalam wilayah perjuangan pembebasan bangsa adalah sekitar urusan kesekertariatan seperti tulis-menulis dan bendahara, atau dokumentasi. Mereka dianggap belum siap untuk memimpin sebuah organisasi. Sementara itu bagi perempuan yang dianggap tidak terdidik atau berpendidikan rendah, atau secara usia masih junior dalam organisasi, akan mendapat tugas domestik seperti mempersiapkan konsumsi dan logistik seperti usaha dana bazar untuk mendukung para lelaki mempersiapkan “strategi perang”. Perempuan “dilarang” mengetahui strategi karena dianggap emosional, lemah, dan tidak dapat menjaga rahasia.

Dalam beberapa kesempatan, saya juga mendengar bahwa ketika perempuan sedang menstruasi, dia dilarang keras untuk masuk ke dalam wilayah atau ruang percakapan dan kerja strategis perjuangan yang didominasi dan dikontrol laki-laki karena dianggap akan melemahkan kekuatan atau power dan pamor kepemimpinan laki-laki dałam perang. Tugas utama perempuan adalah tinggal di rumah dan berdoa bagi perjuangan bangsa. Perempuan tidak punya otoritas atau hak untuk ikut terlibat di dalam “perang”. Dengan demikian, jelaslah bahwa pandangan patriarki masih melekat kuat dalam realitas kita. Karena itu pandangan yang menyatakan perempuan Papua tidak boleh terlibat dalam strategi dan kerja-kerja pembebasan bangsa adalah praktek patriarki yang harus dilawan.

Di satu sisi, saya juga mengikuti perkembangan di tingkat gerakan akar rumput, bahwa ada perubahan pandangan dan pemahaman, terutama di kalangan pemimpin muda dari berbagai organisasi gerakan progresif di Papua. Mereka mulai sadar akan pentingnya melawan budaya patriarki dan mendorong partisipasi aktif perempuan di dalam gerakan sosial dan politik, termasuk membangun gerakan perempuan Papua. Beberapa organisasi gerakan pemuda bahkan sudah secara khusus memprioritaskan perekrutan dan kaderisasi perempuan di dalam organisasinya. Semoga perkembangan ini merupakan komitmen yang konsisten dilakukan sebagai bentuk kesadaran penuh untuk melawan seksisme dan patriarki.

Membangun Kesadaran Kritis Perempuan Papua

Membangun kesadaran kritis memerlukan strategi pendidikan kritis. Kesadaran setiap individu perempuan Papua sangat penting dalam membangun kesadaran kolektif akan musuh bersama. Paulo Freire menyebutkan ada 3 bentuk kesadaran manusia atau kesadaran masyarakat, yaitu: kesadaran magis, kesadaran naif, dan kesadaran kritis.

Pertama: Kesadaran magis adalah kesadaran masyarakat yang tidak mampu melihat sebuah persoalan yang dihadapinya secara lengkap dari sisi sebab dan akibat, apa faktor penyebab keadaan yang dialaminya. Kesadaran magis menggambarkan keadaan masyarakat yang tidak mampu melihat adanya kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Kesadaran magis lahir dari paradigma konservatif bahwa persoalan itu adalah sebuah proses alami yang mustahil dihindari karena sudah merupakan kehendak dan takdir Tuhan sehingga harus diterima saja.

Dalam konteks Papua misalnya, rakyat Papua yang sebagian besar adalah penganut Kristen yang taat, takut mengkritisi kebijakan pemerintah karena adanya tafsiran yang salah tentang Kitab Roma 13:1-7 tentang kepatuhan kepada pemerintah ini. Di Papua, ayat ini sering sekali kita dengar, dipakai sebagai alat propaganda untuk membungkam cara berpikir kritis dari umat Kristen. Perempuan Papua sering diharapkan harus berkorban dan menderita demi kehormatan suaminya dan kebahagiaan anak-anaknya. Hal itu diterima sebagai sebuah keadaan yang normal (normalisasi). Ada anggapan bahwa takdir perempuan atau istri atau mama adalah untuk berkorban bagi kebahagiaan orang terkasihnya. Tafsir ayat-ayat Alkitab tentang istri-istri yang harus tunduk kepada suaminya, seperti dalam Efesus 5:22-33, dibaca dan ditafsirkan secara sepihak oleh para teolog yang pro-patriarki. Padahal membaca ayat tersebut harusnya disambung dengan ayat-ayat berikutnya yang dimaksudkan oleh Rasul Paulus untuk memfokuskan pada relasi yang sehat dalam sebuah keluarga. Dalam Efesus 5:25 dan 28 dituliskan, ”Hai suami, kasihilah istrimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya … Demikian juga suami harus mengasihi istrinya sama seperti tubuhnya sendiri: Siapa yang mengasihi istrinya mengasihi dirinya sendiri.”

Kedua: Kesadaran naif (naival consciousness) adalah kesadaran masyarakat yang meyakini bahwa suatu peristiwa yang terjadi dalam hidupnya disebabkan oleh diri mereka sendiri. Mereka menempatkan dirinya atau manusia sebagai akar penyebab masalah. Kesadaran naif menjelaskan bahwa masyarakat sudah dapat memahami adanya permasalahan sosial atau politik yang terjadi di lingkungannya, namun belum sepenuhnya dapat memberikan solusi atau mencari jalan keluar. Masyarakat dengan kesadaran naif lebih memilih untuk memperbaiki diri mereka sendiri ketimbang memperbaiki sistem. Mereka mengetahui dirinya tertindas, tapi mereka mencoba mengabaikan hal itu dan tidak berusaha untuk merubahnya. Misalnya dalam konteks Papua, perempuan Papua sadar bahwa dirinya sedang mengalami penindasan dan kekerasan, dan tahu asal usul penyebab ketertindasan mereka, namun belum mengambil keputusan untuk melawan sistem penindasan itu. Misalnya perempuan Papua sudah mengenal dan sadar bahwa akar penindasan yang dialami perempuan adalah pandangan, budaya, dan pratek patriarki. Patriarki sebagai akar penindasan perempuan selalu diucapkan dan dibahas, tetapi belum ada langkah kongkrit untuk melawan sistem patriarki itu sendiri. Patriarki hanya menjadi wacana pembahasan dan diskusi atau seremonial saja. Dalam situasi tersebut, masyarakat dengan kesadaran naif memiliki keinginan untuk mengubah nasibnya namun terkadang mereka belum tahu bagaimana caranya untuk mengubah hidupnya dan melawan sistem yang menindas itu.

Ketiga: Kesadaran kritis (Critical Consciousness) adalah kesadaran yang telah memiliki kemampuan untuk melihat sistem yang menindas sebagai sumber masalah. Kesadaran kritis lahir dari paradigma pendidikan kritis yang banyak mengajarkan proses membangun analisa berdasarkan fakta dan pengalaman langsung individu dan kolektif. Pendidikan kritis harus mampu membuka cara pandang dan wawasan berpikir individu dan masyarakat. Pendidikan kritis membantu masyarakat untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas dan kritis tentang persoalan dan proses transformasi sosialnya. Dengan kesadaran kritis, masyarakat termotivasi untuk tidak berdiam diri melainkan mengambil langkah untuk membebaskan diri dari persoalan mereka.

Dengan bercermin pada pemikiran Freire ini, perempuan Papua dapat merefleksikan kondisi saat ini, ‘gerakan’ kita sudah ada pada tahap mana? Otokritik saya kepada diri saya sendiri, sejauh mana saya dalam kapasitas, pengetahuan, dan priviledge saya telah melakukan penyadaran untuk menggerakkan perempuan Papua membangun gerakannya. Sejauh mana saya telah membangun pemikiran-pemikiran kritis saya dan membagikannya dengan teman-teman saya sesama perempuan Papua. Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan self-reflective questions yang juga dapat dipakai oleh kita semua sebagai bagian dari proses kita masing-masing.

Contoh kongkret yang saya pikir sangat mendesak untuk disikapi adalah situasi konflik bersenjata dan pengungsian internal besar-besaran. Kita semua tahu dan sadar akan adanya pengungsian besar-besaran di tanah Papua sejak 2018 akibat konflik bersenjata antara TPNPB dan TNI/Polri. Kita semua tahu dan sadar akar penyebabnya. Kita semua sadar bahwa ada kebijakan pendekatan militer negara dalam mengatasi konflik politik di Papua. Namun demikian, mengapa kita belum bisa bergerak secara maksimal sebagai kolektif perempuan untuk melawan kebijakan dan pendekatan militeristik tersebut, ataupun bergerak menangani dampak kebijakan tersebut sebagai gerak bersama.

Saya curiga, jangan-jangan kita semua (termasuk saya sendiri) yang merasa diri sadar dan terdidik ini sebenarnya masih berada dalam proses transisi dari kesadaran naif, menuju ke kesadaran kritis. Atau bisa jadi kita sudah ada di sisi kesadaran kritis tetapi masih belum maksimal mengambil tindakan kolektif secara strategis. Tentu saja pasti ada faktor-faktor internal dan eksternal yang tidak akan saya bahas di dalam tulisan ini mengingat jumlah kata yang diberikan sangat terbatas. Saya mengusulkan agar hal-hal ini dibahas dałam ruang-ruang komunikasi terbuka atau dialog yang setara.

Paulo Freire dalam model pedagogi membangun kesadaran kritis juga membahas tentang komunikasi sebagai cara membangun kesadaran kritis. Freire menggunakan metode komunikasi yang aktif, dialogis kritis, dan menggugah hati serta pikiran setiap individu untuk sadar dan tergerak hati, sehingga berani mengambil keputusan untuk bersikap kritis dan bertindak. Dialog yang dimaksud Freire adalah dialog yang mengutamakan hubungan horizontal antara pribadi-pribadi dengan penuh cinta, rendah hati, penuh harapan, kepercayaan, dan sikap kritis. Freire lebih lanjut menegaskan bahwa bila 2 pihak atau lebih membangun cinta, harapan, dan kepercayaan, maka mereka dapat bekerja bersama. Bila dialog atau komunikasi semakin mendalam, maka akan terjadi perubahan-perubahan pemahaman, sikap dan tindakan dalam setiap pribadi manusia, sehingga mereka dapat bersepakat secara sadar melawan sistem yang menindas.

Patriarki Sebagai Musuh Bersama

Gerakan Sosial atau social movements merupakan gerakan kolektif yang mengejar agenda dan tujuan politik bersama atau common cause (penyebab bersama), memiliki konstituen atau basis keanggotaan yang jelas dan terlihat, melibatkan anggota yang terorganisir secara kolektif baik dalam organisasi formal maupun informal, terlibat dalam aksi dan aktivitas kolektif dalam mengejar tujuan politik gerakan, menggunakan berbagai tindakan dan strategi, melibatkan target internal atau eksternal yang jelas dalam proses perubahan sosial politik, serta mampu mempertahankan kesinambungan gerakan dari waktu ke waktu.

Unsur ‘common cause’ atau ‘penyebab bersama’ adalah inti dari politik gerakan yang dapat menyatukan para aktor dalam gerakan yang mungkin memiliki strategi yang berbeda-beda. Dalam kasus gerakan perempuan, agenda politik bersama untuk mengakhiri ketidakadilan gender dan patriarki, dapat menjadi ‘common cause’ yang mengikat dan menyatukan para aktor atau simpul-simpul gerakan perempuan, meskipun mereka mungkin memiliki posisi yang berbeda dalam strategi untuk mengakhirinya. Demikian pula analisis kekuatan bersama dapat memainkan peran menjembatani dalam membangun aliansi antara gerakan sosial. Sebagai contoh, analisis feminis tentang bagaimana relasi kuasa dan patriarki dapat memberikan ruang titik awal untuk solidaritas antara berbagai gerakan. Indentifikasi ‘musuh bersama’ juga dapat memberikan dasar untuk solidaritas di dalam dan di antara gerakan, menyatukan para aktor untuk menantang struktur kekuasaan atau gerakan tertentu.

Perempuan Papua yang sadar akan penindasan secara kolektif perlu menentukan ‘musuh bersamanya’ serta secara sadar mengambil tindakan untuk melawan. Secara kolektif, kita harus melawan sistem dan praktek budaya patriarki yang sudah berakar cukup lama dalam kehidupan masyarakat sebagai akibat dari konstruksi sosial budaya masyarakat Papua, tetapi juga imperialisme global yang terwujud dalam sistem kolonial yang sedang berlangsung saat ini. Jika semua perempuan sepakat bahwa patriarki adalah ‘musuh bersama’ perempuan Papua, berdasarkan realitas penindasan perempuan Papua, maka membangun kesadaran kritis perempuan dan laki-laki Papua tentang patriarki merupakan keharusan dalam mengkonsolidasikan gerak bersama.

Patriarki secara umum didefinisikan sebagai sistem otoritas laki-laki yang melegitimasi dominasi dan penindasan terhadap perempuan. Dominasi ini bersifat sistemik dan terlembaga serta terstruktur dalam ideologi, budaya, politik, ekonomi, sosial, hukum, agama, dan militer yang melanggengkan ketidaksetaraan gender dan subordinasi perempuan. Ini juga termasuk akses laki-laki terhadap sumber daya dan kendali atas sumber daya. Patriarki bervariasi dalam ruang dan waktu, bergerak dan berubah dalam konteks. Ia bervariasi menurut kelas, ras, etnis, agama, dan hubungan serta struktur masyarakat. Feminis terutama menggunakan istilah ‘patriarki’ untuk menggambarkan relasi kekuasaan antara laki-laki dan perempuan, dan sebagai alat untuk membantu kita memahami realitas perempuan dalam berbagai ranah kehidupan. Patriarki beroperasi secara terbuka maupun terselubung dalam penindasan terhadap perempuan. Patriarki merupakan gagasan bahwa laki-laki memiliki lebih banyak kekuatan, dominasi, dan hak istimewa daripada perempuan dan mendominasi peran otoritas politik.

Gerakan-gerakan sosial terdiri dari individu-individu, meskipun mereka mungkin berafiliasi atau berkelompok dengan cara yang kurang lebih kohesif dengan gagasan dan struktur gerakan yang berbeda. Gerakan perempuan Papua dapat terjadi jika ada kesadaran kritis dari individu-individu perempuan maupun laki-laki akan realitas penindasan yang sedang terjadi. Karena itu perlu ada upaya-upaya mengorganisir dan mengkonsolidasikan simpul-simpul gerakan maupun individu-individu sebagai aktor utama gerakan. Demikian juga, gerakan perempuan Papua melawan penindasan dan patriarki dapat berkembang jika memiliki hubungan yang erat dan beragam dengan organisasi yang juga terlibat dalam memajukan agenda keadilan sosial, termasuk organisasi non-pemerintah (LSM), organisasi masyarakat sipil, organisasi keagamaan, serikat pekerja, partai politik, kampus, masyarakat adat, dan aktor lainnya dalam masyarakat.

Semoga harapan dari kawan kita Vo Nguyen Mambor dalam kritiknya terhadap gerakan perempuan Papua akan menuai jawaban sehingga dia dapat tersenyum di alam keabadian bersama para pejuang, terutama para pejuang perempuan yang pernah meletakkan dasar pemikiran dan kerja-kerja mereka untuk pembebasan perempuan dan bangsa dari penindasan.

***

Referensi:

1. Alkitab Perjanjian Baru. (2010). Alkitab. Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta. Baca: Efesus Pasal 5:22 -33 dan Roma Pasal 13:1-7.

2. Batliwala, S. (2012). Changing their World: Concepts and Practices of Women’s Movements. 2nd Edition, Toronto: AWID

3. ————, Council of Europe, Feminism and Women’s Rights Movements: https://www.coe.int/en/web/gender-matters/feminism-and-women-s-rights-movements (diakses pada 29 Mei 2023)

4. Freire, P. (1974). Education for Critical Consciousness. Edition 2005, Continuum London-New York.

5. Guy-Evans, O. (2023). Patriarchal Ideology Explained. Baca: https://simplysociology.com/patriarchal-ideology.html (diakses pada 1 Juni 2023)

6. Horn, J. (2013). Gender and Social Movement. The BRIDGE Cutting Edge Programme, Institute of Development Study, University of Sussex, England.

7. Mambor, V. N.G. (2021). Catatan Saya di Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan: Bahan Reflektif untuk Perempuan-Perempuan Tanah (Papua). Baca: https://laolao-papua.com/2021/11/25/refleksi-untuk-perempuan-papua-di-hari-anti-kekerasan-perempuan/ (diakses pada 3 Juni 2023)

8. Smyth, I. and Turquet, L. (2012). Strategies of Feminist Bureaucrats: Perspectives from International NGOs. IDS Working Paper 396, Brighton: IDS

9. ————, (2006). The Charter of Feminist Principles for African Feminists, African Feminist. (Dikutip dari www.africanfeministforum.com pada 4 Juni 2023)

10. Wimuttikosol, S. (2009). Colonialism and Patriarchy; Interwoven Powers in Burmese Days’ Interwoven Plots. Manusya: Journal of Humanities, Special Issue No. 18.

Rosa Moiwend
Penulis adalah aktivis perempuan West Papua.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Kapitalisme di Era Digital: Manusia, Ruang, dan Alat

Ide menulis tulisan ini, dimulai ketika beberapa waktu lalu...

Belajar Gerakan Kedaulatan Diri Owadaa dari Meeuwodide (Bagian 2)

Pada bagian pertama catatan ini sebelumya, saya mencoba untuk belajar pandangan konseptual tentang Owadaa. Selain itu, sisi teologis yang...

Belajar pada Njoto, Menuju Jurnalisme yang Mendidik Massa

Dalam deretan tokoh-tokoh jurnalistik di Indonesia, nama Njoto jarang terdengar. Kerap ketika berbicara mengenai sejarah jurnalisme di Indonesia, nama...

Empat Babak Sekuritisasi di Papua

Sejak dimulainya Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) oleh Presiden Soekarno pada 19 Desember 1961 banyak terjadi pelanggaran hak asasi...

Mambesak dan Gerakan Kebudayaan Papua Pascakolonial

Mambesak tidak sekadar grup musik Papua biasa. Selain sebagai pioner dengan mempopulerkan lagu-lagu daerah Papua yang kaya dan beragam,...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan