Memahami Kapitalisme
Kapitalisme terdiri dari dua suku kata: ‘kapital’ dan ‘isme’. Kapital berarti modal, dan isme adalah paham atau gagasan arus utama. Perdebatan tentang apa itu kapitalisme pernah dilakukan pada konferensi internasional pertama tahun 1941 oleh W. Kent yang ditranskrip oleh Einde O’Callaghan, yaitu, Apa itu Kapitalisme? yang fokus pada prinsip fundamental Marxisme. Perdebatan ini menyebutkan kapitalisme adalah tatanan masyarakat kelas yang memiliki kelas penindas dan kelas buruh. Kelas buruh dieksploitasi tenaga kerja oleh kelas kapitalis. Marxisme mempertegas dalam narasi upah tenaga kerja dan modal. Seorang Papua adalah Papua, hingga keberadaannya pada kondisi sosial tertentu dia adalah budak atau kapitalis.
Perdebatan di atas menekankan esensi dari definisi modal tidak berkaitan dengan hal-hal material atau pabrik, mesin, dan lain-lain, melainkan dalam hubungan antar orang, yakni hubungan antar kelas. Pabrik yang memproduksi komoditas yang sama, namun belum tentu modal, tergantung pada apakah pekerjaan yang dilakukan di dalamnya tunduk pada hukum nilai atau hukum sosial lainnya atau produksinya kolektif.
Kapitalisme tidak lahir dengan sendirinya, kapitalisme muncul setelah adanya tatanan masyarakat sosial feodalisme, yang terjadi selama ratusan tahun. Kontradiksi meningkatnya tenaga kerja dan alat kerja pada masa feodalisme sehingga tercipta masyarakat kelas baru, yakni, kapitalisme. Sejarah perkembangan masyarakat di dunia, khususnya di Eropa Barat terjadi struktur penindasan, dari feodal atau kerajaan menjadi struktur negara. Negara adalah alat penindas baru. Marxisme menjelaskan bahwa negara tidak seutuhnya menjadi alat penindas buruh, tergantung kepemimpinan kelas atau kondisi sosialnya. Penegasan Marx tentang kapitalisme terhadap kelas dapat diperhatikan karakternya. Buruh atau proletariat akan menjual tenaga kerjanya sebagai bentuk terakhir untuk bertahan hidup. Buruh atau proletariat tidak memiliki sasaran kerja seperti tanah, dan tidak memiliki properti alat kerja lainnya. Proletariat akan menjual tenaganya secara perlahan, untuk bertahan hidup. Hal ini berkaitan dengan ketidakpastian pekerja akan memperoleh kehidupan yang setara.
Bagaimana Kapitalisme Masuk ke Papua?
Berkaca pada Papua, kapitalisme masuk bersamaan dengan pendudukan Belanda pada tahun 1800-an. Belanda secara administratif melakukan kolonialisme atau penjajahan di Papua. Belanda pada 1800-an, telah mengenal alat tukar uang, dan memiliki perusahaan atau alat produksi yang bernama Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Kerajaan Belanda melakukan ekspansi pencaplokan wilayah kekuasaan ke Papua. Pencaplokan yang dilakukan dengan metode penyingkiran masyarakat (termasuk dengan keyakinan lokal) Papua. Hal ini bukan hal baru bagi kelas penguasa di Eropa Barat. Eropa Barat sangat dekat dengan istilah ‘Pagan’ atau orang kafir atau orang tidak ber-Tuhan.
Landasan berpikir ini diproduksi oleh ahli-ahli agama borjuis Belanda yang datang ke Papua. Manipulasi kesadaran masyarakat dengan mengenalkan ‘Tuhan’ dalam agama samawi, atau agama yang diakui. Perlahan tatanan masyarakat suku yang kolektif dihilangkan. Spiritual menjadi alat menekan kesadaran masyarakat Papua, sekaligus mentransfer kepercayaan magis untuk berpikir kehidupan yang akan datang. Kondisi ini sekian tahun diserap oleh masyarakat Papua, sehingga perlahan mengubah kondisi sosialnya.
Masyarakat Papua diperkenalkan dengan kebudayaan baru: pakaian, makanan, rumah, dan spiritual adalah metode menghilangkan produksi-produksi skala kecil di suku-suku, diganti dengan produksi besar oleh kapitalis Belanda saat itu. Produksi skala suku yang terjadi dihasilkan berdasarkan akumulasi tenaga kerja setiap orang, dan kesepakatan bersama dalam suatu tatanan yang disebut ‘adat’. Marx memberikan penegasan bahwa tatanan masyarakat yang melakukan aktivitas produksi secara kolektif, setara, dan hasil keputusan bersama, merujuk pada masyarakat tanpa kelas.
Penjajah Belanda mendirikan pemerintahan di wilayah Papua, kemudian membangun infrastruktur dan suprastruktur. Penjajah Belanda mempercepat penghilangan alat produksi suku, menjadi produksi negara melalui program sekolah dan penyebaran agama. Adat teraleniasi untuk mempercepat perkembangan negara dapat dikatakan bahwa tahun 1900-an adalah proses embrio kapitalisme di Papua. Merujuk kembali ke perdebatan, apa itu kapitalisme, bahwa Marx menekankan bahwa esensi dari definisi modal tidak berkaitan dengan hal-hal material atau pabrik, mesin, dan lain-lain, melainkan dalam hubungan antar orang, yakni hubungan antar kelas. Penjajah Belanda menciptakan tenaga kerja baru Papua, melalui pelatihan atau sekolah.
Penjajah Belanda memperkenalkan birokrasi atau administrasi kepada masyarakat Papua, dibuktikan dengan pembagian wilayah administrasi melalui peta. Birokrasi adalah ciri khas negara, yang adalah alat penindas. Belanda memperkenalkan alat tukar dengan golden. Kondisi penindasan perlahan diperluas di seluruh Papua.
Ernest Germain tahun 1946 dalam tulisan Masalah Revolusi Eropa menjelaskan dengan detail perkembangan gelombang revolusioner pertama di Eropa sejak Revolusi Rusia 1917-1919. Terjadi sekitar tahun 1940-an, perubahan-perubahan struktur sosial di Eropa. Hal ini berpengaruh pada konsentrasi Belanda dalam menjajah Papua. Kesempatan ini menyebabkan Indonesia melakukan pendudukan paksa terhadap rakyat Papua.
Apakah Indonesia Melakukan Penjajahan?
Indonesia pada tahun 1945 memproklamasikan dirinya sebagai sebuah negara. Butuh waktu bertahun-tahun, melalui perang dan diplomasi untuk penjajah Belanda mengakui Indonesia. Revolusi demokratik terjadi dengan banyak kerugian, nyawa dan harta milik rakyat. Bahkan kesepakatan Konferensi Meja Bundar (hlm. 87) Indonesia wajib membayar utang ke Belanda sebesar 1,13 miliar USD, membiayai 17 ribu mantan pekerja Belanda selama 2 tahun, serta menampung 26 ribu tentara bekas KNIL. Kondisi ini menyebabkan kedaulatan yang baru diakui menjadi goyah.
Hal ini menjadi alasan rezim Soekarno mengajukan permohonan sebagai anggota International Monetary Fund atau IMF dan World Bank atau WB. Beng To Oey dalam bukunya Sejarah Kebijaksanaan Moneter Indonesia Volume 1 (1991), dengan penandatanganan Articles of Agreement dari IMF dan Bank Dunia tanggal 15 April 1954, Indonesia resmi menjadi anggota dari dua lembaga keuangan internasional tersebut (hlm. 315).
Merujuk pada Masalah Revolusi Eropa, IMF dan WB adalah lembaga internasional yang melakukan konsentrasi modal yang dikuasai oleh borjuis internasional. Lembaga Internasional ini hasil dari “persatuan nasional” kapitalis di seluruh dunia untuk mempertahankan kelasnya. IMF dan WB adalah alat produksi untuk menyebarkan ideologi kapitalisme, yang dipraktekkan melalui kebudayaannya. Pembentukan negara adalah alat penindas baru untuk kepentingan kapitalis atau buruh. Disadari bahwa kontradiksi dalam masyarakat Indonesia menyebabkan kapitalisme masih terbelakang, sehingga negara Indonesia yang dibentuk oleh perjuangan rakyat dihianati oleh kelompok borjuisnya.
Bagaimana Kondisi Papua Saat itu?
Penjajahan terhadap Papua akibat dari perdebatan borjuis Indonesia yang tidak tuntas tentang persoalan kebangsaan, ketika Hatta menolak Papua. Perdebatan ini mendominasi keputusan penjajahan Indonesia terhadap Papua. Tahun 1956 Pemerintah Republik Indonesia Serikat mulai melakukan manuver dengan mengesahkan Provinsi Papua, dengan Ibukota Maluku. Pendekatan birokrasi dan administrasi Indonesia dihambat dengan kondisi kapitalisme terbelakang. Proyek penjajahan ini memiliki kesamaan tahun dengan pencairan dana lembaga Imperialis. Indonesia secara langsung menggadaikan Papua ke Imperialis, untuk membayar utang luar negeri dan pembangunan Republik Indonesia Serikat.
Papua menjadi wilayah yang diperebutkan oleh Belanda dan Indonesia. Diplomasi Indonesia, dan tidak meratanya akses informasi dan ilmu pengetahuan bagi seluruh masyarakat Papua, Indonesia dengan cepat melakukan pencaplokan. Kekuatan militer yang dikirimkan Indonesia ke Papua tidak terlepas dari kepentingan Imperialisme.
Gerakan pembebasan nasional Papua diperlemah pergerakan politiknya. Papua dinilai sebagai wilayah sangat terbelakang dalam perkembangan administrasi atau birokrasi. Sehingga Indonesia maupun Belanda tidak meletakan Papua sebagai subjek namun sebagai objek yang diperebutkan.
Tidak ada Harapan Papua Dibawa Indonesia
Penaklukan Indonesia terhadap Papua menunjukan kekuasaan kapitalisme global turut bermain dan berkepentingan di dalam. Bukan rakyat Indonesia yang takut kehilangan Papua, namun dominasi kapitalis global akan membangun administrasi baru, birokrat baru di Papua jika Papua merdeka sebagai suatu bangsa.
Negara Indonesia menindas buruh, dan ditutupi dengan semangat nasionalisme palsu, bagaimana sebuah bangsa yang tidak selesai menyebut dirinya bangsa.
Hal ini memberikan kemenangan berulang terhadap imperialis. Kapitalisme di Indonesia berdampak pada perkembangan masyarakat Papua. Indonesia yang bergantung pada imperialis, menjadikan Papua sebagai alasan untuk memperoleh bantuan internasional.
Perampasan lahan untuk eksploitasi sumber daya alam, eksploitasi sumber daya manusia terus terjadi. Kebijakan-kebijakan imperialisme yang disahkan seperti: Otsus Jilid I tahun 2001, Master Plan Percepatan Pembangunan Indonesia (MP3EI) tahun 2011, Undang-Undang Omnibus Law tahun 2021, Otsus Jilid II tahun 2021, beserta turunannya dengan rangka mempercepat pembangunan infrastruktur agar mempermudah akses keluar barang mentah atau raw material ini tujuannya hanya untuk mempercepat akumulasi modal.
Kelas pekerja di Indonesia harus menyadari kejahatan kelas borjuisnya, sehingga mampu melihat Papua. Papua sebagai modal dalam kondisi masyarakat kapitalisme bagi penjajah Indonesia. Penentuan nasib sendiri sebagai sebuah bangsa adalah jalan untuk menghentikan ekskalasi konflik dan penjajahan terhadap Papua. Kaum kiri di Indonesia harus secara utuh memberikan pembacaan politik dan sikap terhadap Papua. Gerakan kiri di Indonesia semestinya harus terus-menerus memberikan tesis-tesis baru untuk Papua, bukan sibuk dengan persoalannya sendiri.
Dominasi lembaga-lembaga yang bekerja untuk Papua dengan dalih kemanusian dan HAM, kekuatannya sangat lemah untuk meningkatkan kesadaran politik dan tenaga kerja di Papua. Menyadari kondisi rasisme, diskriminasi, pembantaian massal, konflik, isolasi ilmu pengetahuan, operasi militer oleh penjajah Indonesia, menyebabkan tenaga produktif di Papua terus berkurang. Salah satu alternatif yang dapat menolong rakyat Papua adalah partai-partai kiri di Indonesia. Partai-partai kiri di Indonesia juga mesti bersolidaritas dan meningkatkan tenaga kerja Papua adalah hal kerja konkret untuk membangun perspektif Internasionale di Papua.
***