Latar Belakang
Dari tren kasus hak perempuan yang sering terjadi menunjukan angka kekerasan dalam keluarga selalu meningkat, penelantaran akses ekonomi bagi mama-mama Papua di sektor riil terus terjadi dan tingginya angka kematian ibu dan anak saat melahirkan menjadi beranda kasus pelanggaran HAM terhadap kaum rentan di Papua.
Konflik bersenjata antara TNI dan Polri VS TPN-PB di Nduga telah menciptakan pelanggaran hak atas rasa aman masyarakat sipil Nduga serta menyumbang beberapa kasus kematian ibu dan anak saat persalinan di tempat pengungsian. Terlepas dari itu, angka kematian ibu dan bayi terus meningkat sebagaimana keterangan Sekretaris Dinas Kesehatan (Dinkes) Mimika, Reynold Ubrakasus, bahwa, kematian bayi di Mimika masih cukup tinggi tercatat sebanyak 53 bayi meninggal per 1.000 kelahiran hidup.[1] Kepala Dinkes Kabupaten Jayawijaya, dr. Willy Mambiuew, juga mengatakanm “Kematian ibu dan anak di Kabupaten Jayawijaya pada tahun 2018 cukup tinggi, secara nasional itu kita masih di atas angka 10, seharusnya kita di bawah angka 10, artinya kita punya angka kematian cukup tinggi”.[2]
Berdasarkan data Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (P3AKB) Kabupaten Manokwari, pada 2017 kasus kekerasan yang menimpa perempuan tercatat 55 kasus. Sementara itu, Betty Puy selaku Kepala Badan Pemberdayaan, Perempuan dan Perlindungan Anak (BPPPA) Kota Jayapura, sepanjang tahun 2018 terdapat 46 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kota Jayapura. Dari beberapa kasus penunjukan Polisi di awal tahun 2019 yang ditangani oleh LBH Papua, mayoritas didominasi kasus kekerasan terhadap perempuan.
Sampai saat ini akses ekonomi di pasar mama-mama Papua masih menyimpan persoalan, salah satunya adalah status tanah pasar yang belum dihibahkan dari BUMN ke Pemerintah Kota Jayapura.[3]Selain itu, menurut informasi, ruang lantai 5 pasar mama-mama Papua saat ini dikuasai oleh militer dan tidak bisa diakses oleh mama-mama pasar untuk dijadikan PAUD dan koperasi bagi pengembangan usaha mama-mama pasar Papua.
Melalui rentetan kasus di atas dapat disimpulkan bahwa perempuan sedang berada dalam kungkungan tindakan kekerasan, baik yang dilakukan secara langsung (melalui tindakan fisik, psikis, verbal) maupun tidak langsung (melalui kebijakan yang tidak berpihak pada kaum perempuan). Realitas itu telah menunjukan fakta Pelanggaran hak terhadap perempuan yang terjadi di sektor ekonomi, sosial, budaya, sipil, dan politik, baik dalam lingkungan privat dan publik di Papua.
Hubungan Kekerasan dan Militerisme
Secara sosial budaya masyarakat Papua yang menganut sistem budaya patrilinear, dalam prakteknya relasi antara perempuan dan laki-laki menggunakan pendekatan sistem budaya patriarki dimana laki-laki mempunyai kedudukan lebih tinggi dari perempuan.[4] Terlepas dari itu, secara politik di era Otonomi Khusus (Otsus) di Papua, yang memberikan kewenangan pertahanan dan keamanan[5] kepada pemerintah pusat dimana pendekatannya menggunakan sistem militerisme, yaitu, pemerintah yang mengatur negara secara militer (keras, disiplin, dan sebagainya).[6] Melalui hubungan sistem patriarki dan sistim militerisme di Papua akan selalu menempatkan perempuan sebagai korban tindakan kekerasan.
Untuk diketahui bahwa militerisme adalah paham yang berdasarkan kekuatan militer sebagai pendukung kekuasaan sehingga pastinya paham tersebut dapat berada dalam pikiran manusia tanpa membeda-bedakan status, golongan, pekerjaan, jenis kelamin, dan identitas lainnya. Kenyataan itu disebutkan berdasarkan pada pengertian paham adalah pendapat atau pikiran[7] dimana secara letaknya pikiran terdapat pada semua mahkluk manusia tanpa membedakan jenis kelamin.
Dalam rangka mendeteksi militerisme dalam jiwa manusia dapat dilakukan menggunakan penekatakan ciri-ciri dari tindakan militerisme itu sendiri seperti keras, disiplin, teratur, dan lain sebagainya. Melalui realitas kasus pada bagian latar belakang serta kesimpulannya yang menyebutkan bahwa perempuan sedang berada dalam kungkungan tindakan kekerasan, baik yang dilakukan secara langsung (melalui tindakan fisik, psikis, dan verbal) maupun tidak langsung (melalui kebijakan yang tidak berpihak pada kaum perempuan) telah mampu menunjukan realitas hubungan antara tindakan kekerasan dan militerisme.
Dari uraian hubungan kekerasan dan militarisme di atas berdasarkan realitas kasus yang disebutkan di atas yang menjadi aktor tindakan kekerasan yang berbasis pada paham militerisme, terdiri dari tiga aktor, yaitu, masyarakat sipil, militer, dan pemerintah melalui kebijakan yang dikeluarkan tanpa menghargai hak perempuan.
Memetakan Tindakan Kekerasan Dalam Kungkungan Militerisme
Untuk mengeluarkan perempuan dari kungkungan tindakan kekerasan berbasis pada paham militerisme, perlu dipahami terlebih dahulu tentang pengertian kekerasan terhadap perempuan dan bentuk-bentuk kekerasan.
Menurut Sally E. Merry, kekerasan adalah suatu tanda dari perjuangan untuk memelihara beberapa fantasi dari identitas dan kekuasaan. Kekerasan muncul, dalam analisa tersebut, sebagai sensitifitas jender dan jenis kelamin. Sangat filosofis pendapat Sally ini, namun dapat ditangkap maknanya bahwa perilaku kekerasan sangat berkorelasi dengan kehausan akan bagaimana mengekspresikan dirinya, bahwa dia lah yang memiliki kekuatan (power) dan karenanya dia pun patut melakukan apa saja termasuk kekerasan baik terhadap istrinya bahkan anak-anaknya.[8]
Selain itu, menurut Sanford, kekerasan adalah semua bentuk perilaku ilegal, termasuk yang mengancam atau merugikan secara nyata atau menghancurkan harta benda atau fisik atau menyebabkan kematian.[9] Definisi ini menunjukkan bahwa kekerasan atau violence harus terkait dengan pelanggaran terhadap undang-undang, dan akibat dari perilaku kekersan itu menyebabkan kerugian nyata, fisik bahkan kematian atau lebih umumnya dapat dirujuk ke dalam beberapa pasal dalam KUHP, UU PKDRT, UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornogafi, dan lain-lain
Sementara itu, secara praktis Douglas dan Waksler istilahkan kekerasan sebenarnya digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik yang terbuka (overt) atau tertutup (covert), baik yang bersifat menyerang (offensive) atau yang bertahan (defensive), yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain. Dengan demikian secara umum ada empat jenis kekerasan, yaitu:
- Kekerasan terbuka, kekerasan yang dilihat, seperti perkelahian;
- Kekerasan tertutup, kekerasan yang tersembunyi atau tidak dilakukan, seperti mengancam;
- Kekerasan agresif, kekerasan yang dilakukan tidak untuk perlindungan, tetapi untuk mendapatkan sesuatu, seperti penjabalan; dan
- Kekerasan defensive, kekerasan yang dilakukan untuk perlindungan diri. Baik kekerasan agresif maupun defensive bisa bersifat terbuka atau tertutup.[10]
Agar dapat menunjukan bentuk kekerasan terhadap perempuan secara spesifik maka akan disebutkan bentuk-bentuk kekerasan dalam UU Nomor 23 Tahun 2004, sebagai berikut:
- Penganiayaan fisik (seperti pukulan, tendangan);
- Penganiayaan psikis atau emosional (seperti ancaman, hinaan, cemoohan);
- Penganiayaan finansial, misalnya dalam bentuk penjatahan uang belanja secara paksa dari suami; dan
- Penganiayaan seksual (pemaksaan hubungan seksual).
Terlepas dari itu, adapula kekerasan bentuk lain seperti kekerasan verbal melalui pernyataan seksis yang sebenarnya terkafer dalam beberapa pasal dalam beberapa aturan yang ada. Terkait kekerasan terhadap perempuan di sektor ekonomi, sosial, budaya, sipil, dan politik masuk kedalam pelanggaran HAM sesuai dengan cakupan diskriminasi yang dimaksudkan dalam ketentuan internasional ini berarti perbedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang berakibat atau bertujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan.[11]
Perlindungan Hak Perempuan
Dalam rangka melindungi hak perempuan secara internasional dengan menggunakan pendekatan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menegaskan prinsip untuk tidak menerima diskriminasi dan menyatakan bahwa seluruh umat manusia adalah dilahirkan bebas dan sama dalam martabat serta hak dan bahwa setiap orang memiliki seluruh hak dan kebebasan yang tercantum di dalamnya, tanpa segala bentuk perbedaan, termasuk perbedaan berdasarkan jenis kelamin, selanjutnya mendorong terbentuknya Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan pada tahun 1981.
Cakupan diskriminasi yang dimaksudkan dalam ketentuan internasional ini berarti perbedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang berakibat atau bertujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan.[12]Selanjutnya seluruh Negara yang meratifikasi ketentuan ini memiliki komitmen yang sama, yaitu:“mengutuk diskriminasi terhadap perempuan dalam segala bentuknya, dan bersepakat dengan segala cara yang tepat dan tanpa ditunda-tunda, untuk menjalankan suatu kebijakan yang menghapus diskriminasi terhadap perempuan”. Dan untuk tujuan ini berusaha untuk:
Pertama: Memasukkan asas persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam undang-undang dasar mereka atau perundang-undangan lainnya yang layak apabila belum dimasukkan ke dalamnya, dan untuk menjamin realisasi praktis pelaksanaan dari asas ini, melalui hukum dan cara-cara lain yang tepat;
Kedua: Membuat peraturan perundang-undangan yang tepat dan upaya lainnya, dan di mana perlu termasuk sanksi-sanksi, yang melarang semua diskriminasi terhadap perempuan;
Ketiga: Menetapkan perlindungan hukum terhadap hak perempuan atas dasar persamaan dengan kaum laki-laki, dan untuk menjamin perlindungan bagi kaum perempuan yang aktif terhadap setiap perilaku diskriminatif, melalui pengadilan nasional yang kompeten dan badan-badan pemerintah lainnya;
Ketiga: Menahan diri untuk tidak melakukan suatu tindakan atau praktek diskriminasi terhadap perempuan, dan menjamin agar pejabat-pejabat dan lembaga-lembaga publik akan bertindak sesuai dengan kewajiban ini;
Keempat: Mengambil semua langkah-langkah yang tepat untuk menghapuskan perlakuan diskriminatif terhadap perempuan oleh orang, organisasi, atau lembaga apapun;
Kelima: Mengambil langkah-langkah yang tepat, termasuk upaya legislatif, untuk mengubah dan menghapuskan undang-undang, peraturan-peraturan, kebijakan-kebijakan, dan praktek-praktek yang ada yang merupakan diskriminasi terhadap perempuan;
Keenam: Mencabut semua ketentuan pidana nasional yang merupakan diskriminasi terhadap perempuan.[13]
Secara khusus di Indonesia, pemerintah telah meratifikasi Konvensi tersebut dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang ratifikasi Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Dalam perkembangannya sudah mulai terlihat adanya sikap politik pemerintah untuk melindungi hak perempuan secara yuridis melalui pembentukan Undang-Undang Nomor 39 Tentang HAM, Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak dan Peraturan MA No. 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Sekalipun demikian sejak tahun 1984 sampai 2019 masih saja terlihat kasus diskriminasi terhadap perempuan di segala sektor, baik ekonomi, sosial, budaya, sipil dan politik yang terjadi dalam lingkungan keluarga, masyarakat, dan pemerintah.
Penutup
Dari uraian panjang di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pada prakteknya perempuan paling sering mendapatkan tindakan kekerasan berbasis pada paham militerisme seperti tindakan kekerasan fisik, psikis, verbal, seksual, dan penelantaran keluarga sebagaimana contoh dalam beberapa kasus yang disebutkan pada bagian latar belakang. Melalui hubungan militerisme dan pemetaan tindakan kekerasan dalam kungkungan militerisme sudah mampu menunjukan bentuk-bentuk tindakan kekerasan yang terjadi.
Sesuai dengan hak perempuan dalam The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) yang telah diratifikasi kedalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang ratifikasi Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan dapat dijadikan alat untuk memperjuangkan perempuan keluar dari lingkaran militerisme yang terjadi secara struktural dan sistemik. Salah satu jalan yang dapat digunakan untuk memerangi semua tindakan kekerasan terhadap perempuan yang bersumber dari paham militerisme dapat ditempuh melalui penindakan hukum dimana korban bersama rekan-rekan perempuan yang maju dapat melaporkan kejadian tersebut pada instansi terkait selanjutnya mengawalinya hingga proses hukum selesai. Dengan begitu secara perlahan akan mengurangi tindakan kekerasan terhadap perempuan yang bersumber dari paham militerisme.
***
Referensi:
[1] Link: https://www.cendananews.com/2018/12/dinkes-mimika-kasus-kematian-ibu-anak.html. Diakses 4 Februari 2019
[2] Link: http://kawattimur.com/2019/01/09/kematian-ibu-dan-anak-di-jayawijaya-tinggi/. Diakses pada 4 Februari 2019.
[3] Link: https://kabarPapua.co/kewenangan-pasar-mama-mama-Papua-belum-dihibahkan-ke-pemkot-jayapura/. Diakses pada 4 Februari 2019.
[4] Link: https://id.answers.yahoo.com/question/index;_ylt=Awr9CWt_XVlc5pAAL5JXNyoA;_ylu=X3oDMTEzdGo5cTd2BGNvbG8DZ3ExBHBvcwMxMAR2dGlkA0I2ODMzXzEEc2VjA3Ny?qid=20110928025621AA47Liq&p=pengertian%20patriarki. Diakses pada 5 Februari 2019.
[5] Baca: Pasal 4 ayat (1), UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua
[6]Link: https://kbbi.co.id/arti-kata/militerisme. Diakses pada 5 Februari 2019.
[7] Link: http://www.kbbionline.com/arti/kbbi/paham. Diakses pad a5 Februari 2019.
[8] Jurnal Hukum. Perlindungan Terhadap Perempuan Melalui Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga: Analisa Perbandingan Antara Indonesia dan India.
[9] Atmasasmita, Romli. 2007. Teori dan Kapita Selekta Krimonologi. Rafika Aditama: Bandung. Hal. 66
[10] Jack D. Douglas & Frances Chaput Waksler
[11] Pasal 1, Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan
[12] Pasal 1, Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan
[13] Pasal 2, Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan