Sebuah pandangan mengenai hubungan antara perempuan dengan hutan sagu di Kampung Yoboi, Sentani dan bagaimana mengujinya dengan perspektif ekofeminisme.
Sagu sebagai Tanaman Roh
Bagi masyarakat Yoboi di Sentani, dusun sagu memiliki nilai filosofis yang tinggi sehingga kelestariannya masih sangat dijaga dari segi kearifan lokal. Secara arkeologis, jejak kehidupan leluhur etnis Sentani sebagai pemanfaat tanaman sagu dapat dibuktikan dengan peninggalan artefak yang ditemukan oleh peneliti Balai Arkeologi Papua berupa gerabah. Gerabah digunakan sebagai wadah memasak sagu dan menyajikan papeda, serta membuat kapak batu sebagai alat penokok sagu. Dengan kata lain, masyarakat Sentani sudah mengenal tanaman sagu sejak pemukim pertama menginjak kakinya di kawasan Danau Sentani. Oleh sebab itu, tanaman sagu merupakan identitas pada setiap kegiatan adat: sagu harus disertakan, baik dalam bentuk mentah maupun yang telah diolah.
Menurut Hans Tokoro, Kepala Suku atau yang dalam bahasa sentani disebut Khoselo di Kampung Yoboi mengibaratkan sagu sebagai tanaman roh yang hampir seluruh bagiannya dapat dimanfaatkan.
“Dari bagian atas sampai bawah, kita bisa gunakan untuk kebutuhan hidup. Daun sagu bisa dijadikan atap rumah, dan bisa dianyam menjadi tas, kulit batangnya sebagai bahan kayu bakar, bahan dinding, plafon, dan pagar. Batang sagu bisa kita olah menjadi makanan”.
Saripati tepung sagu memiliki kandungan karbohidrat yang baik karena memiliki kadar glikemik (gula) yang rendah.
Sagu melekat dalam budaya orang Sentani.
Hans menambahkan, “Pelepah sagu atau kulit sagu itu tidak boleh dipukul atau dilempar orang karena bisa menyebabkan sakit”.
Dalam tata cara mengolah sagu menjadi papeda, ada pembagian tugas berbasis gender. Tugas laki-laki adalah menebang, menguliti, dan menokok sagu. Sementara perempuan memiliki tugas menokok, pengepakan, meremas sagu, membuat papeda, dan berjualan sagu di pasar.
Masyarakat Kampung Yoboi juga percaya bahwa ada relasi antara tanaman sagu dengan perempuan. Salah satunya, pada saat perempuan/istri mengandung, diwajibkan mengkonsumsi ulat sagu yang didapatkan dari batang pohon sagu. Setelah ulat diambil, akan tumbuh jamur di pohon sagu tersebut. Bagi masyarakat Sentani, jamur sagu atau biasa disebut Fenlung dipercayai dapat menyembuhkan luka-luka setelah proses persalinan.
Bila dilihat dari proses hidup tanaman sagu yang memiliki siklus hidup sekitar 10-12 tahun, bagi masyarakat di Kampung Yoboi pemanenan dapat dilakukan pada saat tanaman sagu berumur 7-10 tahun ketika masyarakat kehabisan bahan makanan ataupun terdapat kebutuhan adat lainnya. Namun, jika sudah lewat masa panennya, tidak bisa dipanen lagi karena patinya tinggal sedikit sehingga oleh masyarakat lokal biasanya dibiarkan mati. Ada juga yang melakukan excessive logging atau melakukan penebangan secara berlebihan dan lupa untuk menanam kembali. Padahal menurut Mama Debora, ada prinsip sagu yang berkelanjutan yang terus dipegang teguh oleh masyarakat Kampung Yoboi. Singkatnya, sistem hutan sagu yang berlaku sekarang ini hanya berorientasi pada persoalan ekologi dan ekonomi, padahal keberadaan hutan sagu memiliki dimensi luas, baik dari segi sosial, budaya, politik, bahkan dalam dimensi keadilan gender yang masih segelintir orang menyadarinya.
Namun kearifan lokal mendapat tekanan yang ekspansinya mengajak masyarakat setempat untuk berpartisipasi secara efektif dalam mencapai pembangunan berkelanjutan. Upaya untuk merekonstruksi cara-cara hidup secara tradisional dengan berusaha merawat dan mengembangkan pengetahuan holistis dan ekologis.
Teori Ekofeminisme: Relasi dan Peran Perempuan terhadap Pohon Sagu
Menurut Mies di dalam buku Bebas Dari Pembangunan: Perempuan, Ekologi, dan Perjuangan Hidup di India menjelaskan bahwa kegiatan perempuan dalam menyediakan pangan sebagai produksi kehidupan dan memandangnya sebagai hubungan yang benar-benar produktif dengan alam karena perempuan tidak hanya mengumpulkan dan mengonsumsi apa yang tumbuh di alam, tetapi mereka membuat segala sesuatu menjadi tumbuh. Proses pertumbuhan secara organis, yang di dalamnya perempuan dan alam bekerja sama sebagai mitra, telah menciptakan suatu hubungan khusus antara perempuan dan alam (Mies, 1986).
Hal senada juga dilontarkan Mama Debora Wally, seorang pensiunan guru tetapi juga seorang pionir yang menggerakkan masyarakat di Kampung Yoboi sejak 1990an untuk mengelola pertanian organik, khususnya tanaman sagu. Menurutnya, saat ini perempuan mulai kehilangan peran produktifnya. Kehidupan kaum perempuan telah tercerabut dari akar filosofinya sebagai penyangga kehidupan. Partisipasi dalam tindakan dan perjuangan ke pembangunan berkelanjutan mulai digantikan dengan tenaga mesin, yang mampu memproduksi komoditas sagu sebanyak mungkin untuk meningkatkan nilai tambah dari kerja produksi. Ditambah juga dari nilai sosial, kelompok perempuan dan masyarakat lokal mengalami demoralisasi melalui kebijakan dan investasi yang diciptakan oleh negara dan pemerintah daerah.
Dilansir dari Tribun Papua pada 7 Februari 2024, bahwa adanya kolaborasi yang dilakukan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) atau The food and Agriculture Organization (FAO) of the United Nations di Indonesia bersama Analisis Strategis Papua (APS) dan Pemerintah Kabupaten Jayapura yang tujuannya untuk mendukung petani kecil dalam produksi sagu di Kabupaten Jayapura. Proyek yang bertajuk “Capacity building of smallholders on improved sago processing and value chains in Jayapura, Papua Province” secara resmi ditandatangani pada tanggal 7 Februari 2024 yang akan fokus diadakan di Kampung Yoboi dengan pendistribusian mesin sensor. Proyek food estate pun menjadi upaya perluasan dan peningkatan produksi pangan yang bertujuan mendorong perekonomian di wilayah Kabupaten Jayapura. Maka pendekatan neoliberalisme diterapkan dalam proyek pangan ini dan mempersilahkan Food Agriculture Organization (FAO) untuk mendatangkan alat-alat industri berteknologi tinggi.
Hal yang dijanjikan dari pembangunan yang diwacanakan oleh pemerintah daerah adalah menaikkan taraf kehidupan masyarakat di Kampung Yoboi dalam semangat pembangunan berkelanjutan dan peradaban globalisasi. Pembangunan bertujuan untuk memberikan kesejahteraan dan kemakmuran bagi semua masyarakat di Papua. Untuk beberapa wilayah dan beberapa masyarakat, pembangunan yang dijanjikan tersebut memang terwujud, akan tetapi di sebagian besar wilayah dan sebagian besar masyarakat yang lain, pembangunan justru menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan dan terkikisnya budaya turun-temurun.
Ide pembangunan telah menindas kedaulatan perempuan dalam mengelola sumber daya alam dan menentukan pangan telah membuat pandangan perempuan tentang kehidupan menjadi kabur, bahkan oleh perempuan sendiri (Khalisah Khalid dalam Candraningrum, 2014). Namun munculnya mesin-mesin industri nantinya berarti akan muncul perubahan masa yang mempunyai semangat perubahan, kemajuan, revolusi, dan pertumbuhan. Peran perempuan dalam produktivitasnya meramu saripati sagu hingga menjadi papeda harus mengalami pembaruan. Lantas mengapa isu lingkungan hidup sangat berkaitan dengan feminisme?
Perempuan selalu ditempatkan sebagai pihak yang tak berdaya dan tidak punya pengetahuan. Perempuan tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan dalam hampir semua penebangan sagu yang dilakukan di Kampung Yoboi karena perempuan dibatasi oleh nilai-nilai adat dan sistem patriarki yang masih mendominasi. Peran-peran perempuan, seperti merawat dan mengasuh lingkungan, semata-mata adalah hasil konstruksi kebudayaan yang menempatkan perempuan, tidak seperti laki-laki yang dikonstruksikan superior pada status sekunder dalam masyarakat. Laki-laki layaknya kebudayaan lebih superior daripada alam, yang memberikan makna terhadap sistem, termasuk mengatur hubungan manusia dan alam, serta mengontrol dan menguasai alam. Ada batas-batas yang belum bisa diterobos, mengapa peran perempuan dibatasi dalam proses pengolahan sagu dan kaitannya terhadap alam.
Feminisme muncul untuk menanggapi masalah ketimpangan antar jenis kelamin, diskriminasi, penindasan, dan kekerasan terhadap perempuan. Akibat dari penindasan yang terjadi pada kaum perempuan dan eksploitasi alam, maka terbentuklah gerakan ekofeminisme. Gerakan ini percaya bahwa tekanan terhadap bumi dan tekanan terhadap perempuan mempunyai kesamaan titik, yaitu adanya ketidakberdayaan dan ketidakadilan perlakuan.
Di tahun 1998, Mies dan Silva, dua pakar ekofeminisme berhasil melakukan rekonstruksi pandangan ini. Mereka mengawinkan antara prinsip ekologi dan feminisme dalam melawan ketidakadilan terhadap kaum perempuan. Paradigma inilah yang dipakai dan menjadi dasar perjuangan ekofeminisme sebagai pandangan dan ideologi yang ramah sesama manusia dan lingkungan.
Kelompok perempuan yang hidup di Kampung Yoboi menjadi kelompok yang paling rentan terhadap ketidakamanan akibat krisis hutan sagu sehingga dalam perspektif ekofeminisme, keduanya dikatakan memiliki kesamaan, yaitu sama-sama mengalami kompresi atau tekanan yang didominasi oleh laki-laki. Kehidupan di Kampung Yoboi setidaknya cukup menggambarkan kehidupan orang Sentani di Kabupaten Jayapura yang menekankan alam sebagai pusat kehidupan.
Pertanyaan yang diajukan adalah bagaimana caranya supaya penggunaan mesin-mesin industri tetap dipakai guna meningkatkan produksi tetapi nilai budaya tidak hilang? Semangat perjuangan Bapak Hans Tokoro sebagai Kepala Suku yang dalam memiliki tanggung jawab khusus dalam adat untuk menjaga sagu dan Mama Debora Wally sebagai pionir atau penggiat yang menjaga dusun sagu sejak tahun 1990an di Kampung Yoboi telah menunjukkan dirinya sebagai seorang ekofeminis, sekalipun ia tidak mengatakan atau tidak mempelajari ekofeminisme sebagai sebuah gerakan perempuan yang bergerak untuk melihat hubungan perempuan dan alam, namun dari apa yang dilakukannya, menunjukkan bagaimana ia sadar bahwa perempuan memiliki relasi dengan alam dan pembangunan mampu meminggirkan perempuan dari alamnya.
Penutup
Perempuan di Kampung Yoboi dan secara umum Perempuan Sentani pada dasarnya memiliki relasi yang kuat dan dekat dengan alam, terutama dusun sagu. Mereka berpandangan bahwa dusun sagu merupakan tanaman roh atau tanaman kehidupan yang akan memberikan seluruh bagian pohon kepada masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sandang, papan, dan pangan. Investasi dan pembangunan kapitalisme akan terus masuk dalam masyarakat adat, sehingga Mama Debora berpesan ”modern itu merusak”. Di sini dapat digarisbawahi bahwa ekofeminisme menjadi proyek epistemik yang mampu mengungkapkan selubung ideologis dalam ilmu pengetahuan yang maskulin, yang memiliki obsesi terhadap alam dan perempuan.
Sejatinya, filosofis ekofeminisme dapat dikembangkan di Kampung Yoboi, karena dusun sagu dikaitkan sebagai rahim, dan perempuan yang memiliki rahim memungkinkan kehidupan menjadi ada. Demikian juga dengan keberadaan dusun sagu memberikan ruang hidup sebagai sumber penghidupan kepada masyarakat setempat. Jika itu semua dimatikan maka musnah sudah kehidupan di dunia ini. Ekofeminisme bertugas untuk membentuk kembali kesadaran masyarakat akan pentingnya untuk menjaga keberlangsungan siklus kehidupan. Dengan menyuarakan gerakan-gerakan lokal yang sudah disuarakan oleh Mama Debora Wally pada tahun 1990an sebagai garda utama untuk membentuk masyarakat yang bertanggung jawab akan kehidupan, adanya pemahaman dan sikap kritis proaktif terhadap fenomena krisisnya dusun sagu.
Lantas, upaya apa yang dapat dilakukan untuk mengembangkan ekofeminisme? Dalam membangun paradigma ekofeminisme, hendaknya didasarkan sebagai perjuangan untuk mengembalikan penghormatan terhadap alam dan perempuan. Nilai-nilai feminitas juga sudah seharusnya menjadi kekuatan moral dalam pemecahan krisis lingkungan, terlebih khusus pada generasi penerus; anak-anak perempuan di Kampung Yoboi yang sudah semestinya melebar luas juga ke generasi Papua. Edukasi menjadi dasar dari sebuah gerakan. Tanpa adanya pengetahuan, kita tidak akan bisa memahami hakikat sebuah perjuangan. Peranan adat istiadat juga turut berperan dalam menangani dan menjamin hak-hak hidup masyarakat dalam pemecahan masalah ekologis. Sebelum dirumuskan sebuah aturan adat di para-para adat atau Obhe, kiranya perlu diwacanakan secara rasional dan demokratis agar dapat memberikan keadilan pada seluruh lapisan masyarakat. Harus ada gerakan-gerakan yang lebih luas untuk mencapai endogenitas (perubahan sistemik) di dalam kehidupan masyarakat Kampung Yoboi di dalam peradaban dunia yang dipengaruhi oleh tekanan modernisasi yang menuntut homogenitas.
***
Catatan: Tulisan ini merupakan karya dari partisipan workshop menulis untuk perayaan International Women’s Day (Hari Perempuan Sedunia) 2024 bertema “Inspire Inclusion: Ambil, Rebut, Ciptakan, dan Pertahankan Ruang untuk Perempuan di Tanah Papua” yang didukung oleh Lao-Lao Papua, Elsham Papua, Yayasan iWaTaLi Papua, Parapara Buku, dan Yayasan Pusaka. Tulisan ini diedit oleh Yokbeth Felle.
Daftar Pustaka
Khalisah Khalid dalam Candraningrum. (2014). Perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan. 2014.
Mies, M. (1986). Patriarch and Accumulation on a World Scale. London: Zed Books.
Mies, M., Vandana, S. (1998). Bebas dari Pembangunan: Perempuan, Ekologi, dan Perjuangan Hidup di India. Yogyakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Shiva, V., Mies, M. (2005). Ecofeminism Perspektif Gerakan Perempuan dan Lingkungan. IRE Press, Yogyakarta.
Baca: https://papua.tribunnews.com/2024/02/07/organisasi-pangan-dunia-dan-aps-dukung-petani-produksi-sagu-sebagai-ketahanan-pangan-di-papua (diakses pada 7 Februari 2024).
Keren Tulisannya, Sukses selalu untuk semua perempuan Papua
Keren Tia 😍
Terima kasih buat penulis, sa tunggu bacaan selanjutnya
Tulisannya Sangat memberikan wawasan yang luas bagi kami para pembaca. Sukses selalu KK ota, Tuhan Yesus Berkati Selalu😇🔥💖
Terima kasih untk ilmu pengetahuan yg dibagi, kami yang baca jdi dpt ilmu bru lagi.🥰😘💕
Karya Tulisan terbaik, sukses selalu teman
Terbaik kawan ku.
Nice work Titia, wonderfully articulated.
Nice work Titia, Wonderfully articulated.