Analisa Harian Misi Pemberadaban Dalam Pendidikan Formal di Papua (Bagian I)

Misi Pemberadaban Dalam Pendidikan Formal di Papua (Bagian I)

-

“Anak-anak Papua [1] itu bodoh. Nakal. Susah diajarkan, tra bisa diatur.”

Ungkapan-ungkapan semacam memancing pertanyaan, apakah kebodohan itu imanen saat seseorang dilahirkan? Apakah kebodohan itu identik dengan warna kulit? Apakah kebodohan merupakan kodrat dari suatu kelompok? Bingung, tapi itulah ungkapan yang sering dikeluarkan oleh sebagian besar guru yang mengajar di Papua [2]. Ironis, tapi itulah faktanya. Entah kenapa, stigma malas dan bodoh sangat lekat dengan anak-anak Papua. Berbagai stigma negatif dan anak-anak Papua seperti dua sisi mata uang yang sulit dipisahkan. Ungkapan-ungkapan seperti itu, tak hanya keluar dari mulut guru non-Papua, melainkan juga dari mulut sebagian besar guru-guru Papua yang dulunya mengalami stigma serupa.

Menariknya, jika ada anak Papua pintar, para guru akan memuji dengan nada yang tidak percaya “Luar biasa. Ternyata, anak itu bisa.” sering kita dengar. Berbanding terbalik jika siswa menonjol berasal dari anak non-Papua. Seakan-akan, para guru ingin mengatakan, adalah suatu keniscayaan anak-anak itu pintar. Kalaupun ada anak-anak non-papua yang nakal, akan direspon sewajarnya. Berbanding terbalik ketika yang membuat kesalahan adalah anak-anak Papua. Ujaran bermuatan stigma-stigma negatif menghujat deras ke mereka.

Dalam tulisan ini, saya menggunakan teori Misi Pemberadaban Ashis Nandy (1983). Ada dua konsep dalam teori tersebut. Pertama, The Psychology of Colonialism: Sex, Age, and Ideology dan kedua, The UnColonized Mind: A Post-Colonial View of India and the West. Konsep pertama dimaksudkan untuk menjelaskan bagaimana wacana kolonial dipakai dalam menanamkan pengaruhnya kepada suatu kelompok. Konsep pertama digunakan dalam tulisan ini. Konsep kedua akan digunakan pada tulisan kedua untuk menjelaskan cara melawan wacana penjajahan seperti itu.

Pertanyaanya, apa itu wacana? Berangkat dari Michel Foucault, wacana merupakan proses kekuasaan mengontrol pikiran, ucapan, gestur tubuh, orientasi seksual seseorang bahkan imajinasi seseorang (kelompok) atas sesuatu hal menggunakan berbagai ‘teknologi’. Pengontrolan tersebut dilakukan dengan cara yang paling halus. Sehingga tidak mengherankan kalau kebanyakan dari kita tidak/belum menyadari cara kerja kekuasaan semacam itu. Istilah-istilah lain untuk menyebut cara kerja kekuasaan yang halus adalah hegemoni (Antonio Gramsci) dan ideologi (Louis Althusser).

Kembali ke Ashis Nandy. Konsep pertama dimaksudkan untuk membedah praktek misi pemberadaban dalam dunia pendidikan di Papua. Harapannya, melalui tulisan ini, para guru, dan kita semua yang adalah korban dari wacana relasi kuasa yang sedang bekerja, memahami wacana tersebut.

Musuh yang Intim Dalam Dunia Pendidikan

Dalam kajian Pascakolonial, kita mengenal istilah wacana kolonial. Wacana kolonial terbagi menjadi tiga narasi besar: rasisme, orientalisme, dan misi pemberadaban. Tiga narasi itu digunakan untuk melihat semangat superioritas Eropa atas manusia lain di belahan bumi yang lain. Semangat itu menjadi dasar tindakan mereka. Mereka berangkat dari sebuah keyakinan, manusia lain di luar mereka belum beradab dan untuk itu, harus diperadabkan.

Misi pemberadaban, seperti dijelaskan Ashis Nandy, memiliki tujuan penaklukan pikiran manusia di daerah jajahan. Untuk itu, dalam bukunya, Ashis Nandy menggunakan konsep The Psychology of Colonialism: Sex, Age, and Ideology untuk menjelaskan bagaimana Inggris menjalankan praktek penjajahan di India. Masyarakat India dibentuk menjadi kelompok masyarakat yang inferior dan kehilangan kepercayaan diri serta malu menggunakan budaya sendiri. Setelah proses penundukkan, tahap berikutnya penguasaan sumber daya alam wilayah tersebut.

Cukup di India. Sekarang, mari ke Papua. Wilayah paling bergejolak dalam sejarah Indonesia. Konon, setelah Papua “diintegrasi” ke Indonesia, Papua terbebas dari praktek penjajahan. Faktanya tidak. Wacana dan praktik kolonialisme tetap berjalan sampai sekarang. Bedanya, bukan oleh Belanda, melainkan Indonesia. Kalau menggunakan kacamata wacana kolonialisme, sulit bagi kita untuk menafikan praktek penjajahan tersebut. Usaha parlente merupakan sebuah kesia-siaan belaka.

Tulisan ini berangkat dari pengalaman saya (selama tiga tahun) mengajar di salah satu SMA swasta di Boven Digoel, Papua. Di sekolah itu, setelah mengajar satu tahun, saya dipercayakan sebagai wali kelas X (sepuluh). Seorang wali kelas wajib mendampingi anak-anak di kelas tersebut selama tiga tahun. Kelas yang saya dampingi, dicap oleh sebagian besar guru sebagai kelas bermasalah. Mayoritas dihuni anak-anak Papua. “Bermasalah” yang dimaksud: ribut di kelas, malas mengerjakan tugas, sering alpa, bolos, dan terkadang berkelahi. Menurut saya, itu kenakalan anak SMA pada umumnya. Kalau kenakalan seperti itu dijadikan rujukan melakukan stigmatisasi kepada anak-anak Papua, tentu menjadi persoalan. Stigma semacam itu tidak hadir dengan sendiri. Stigma itu keluar dari paradigma yang dibentuk oleh wacana kekuasaan. Pandangan seperti itu, selanjutnya akan tercermin melalui sikap guru terhadap anak-anak Papua.

Paradigma seperti itu terbentuk karena para guru yang adalah korban berangkat dari sebuah pemahaman mereka datang untuk mengajar anak-anak Papua. Memanusiakan anak Papua dengan ilmu yang mereka bawa. Untuk fenomena seperti itu, dalam kajian Pascakolonial disebut Wacana Pemberadaban: sekelompok orang yang telah menetapkan dasar-dasar moralitas dan ilmu pengetahuan. Bagi mereka, ada standar-standar yang harus dicapai kelompok tertentu jika ingin disebut sebagai seseorang atau kelompok yang berpengetahuan, bermoral, dan beradab. Kelompok-kelompok seperti itu yakin mereka sedang menjalankan tugas mulia untuk memberadabkan kelompok lain.

Paradigma semacam itu setiap rapat guru anak wali saya selalu mendapat sorotan negatif. Menanggapi hal itu, saya katakan, kita para guru mestinya bertanya kenapa anak-anak bisa bersikap seperti itu? kita pun harus bertanya, apakah metode dan pendekatan yang selama ini kita gunakan sudah tepat? Namun semua tanya dalam ruang tersebut tidak berbalas. Saya maklum bagi guru-guru tersebut masukkan dari seorang guru baru dan kontrak seperti saya tidak perlu dihiraukan. Setiap rapat, ketika mereka mengeluhkan hal yang sama, pertanyaan serupa saya ajukan. Lagi-lagi pertanyaan tak berbalas.

Pada satu waktu dalam rapat guru yang diadakan pada sabtu siang, Wakil Kepala Sekolah (Wakasek) bagian kesiswaan menginformasikan akan diselenggarakan lomba pidato dan puisi dalam rangka memperingati hari pendidikan. Mendengar informasi tersebut, saya berinisiatif mempersiapkan beberapa anak untuk mengikuti lomba. Bagi saya, ini adalah momen untuk membuktikan kepada guru-guru kalau pandangan mereka keliru. Anak-anak Papua pada dasarnya bisa. Anak-anak Papua tidak bodoh. Mereka hanya memerlukan pendekatan dan metode yang lebih kreatif.

Setelah berlatih beberapa bulan dan membaca berbagai referensi yang saya usulkan, anak-anak itu akhirnya mengikuti lomba pidato dan puisi. Dalam lomba pidato, dua anak Papua dari kelas saya mendapat juara 2 dan 3. Tahun kedua dalam lomba, perayaan dan anak yang sama, mereka memperoleh juara satu dan tiga. Lomba-lomba tersebut akhirnya mematahkan segala tuduhan-tuduhan tidak berdasar yang dikeluarkan oleh (sebagian besar) guru.

Pelabelan-pelabelan seperti di atas tak cuma terjadi di tingkat SMA. Pelabelan semacam itu sudah berlangsung sejak TK. Stigma-stigma negatif yang diterima anak-anak Papua berpengaruh pada kepercayaan diri mereka. Mereka tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang selalu merasa inferior. Sialnya, ketika beranjak ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi mereka justru disalahkan karena tak berani bicara di depan kelas. Atau selalu merasa tertekan ketika dilemparkan pertanyaan oleh guru. Situasi semacam itu membuat guru dengan cepat menarik kesimpulan kalau anak-anak tersebut bodoh. Lagi-lagi, beragam label yang sudah mereka rasakan sejak TK sampai SD kembali dirasakan.

Fenomena serupa saya jumpai ketika kawan-kawan Rumah Baca Digoel (RBD) melakukan kegiatan belajar di sebuah kampung. Kampung tersebut berjarak kurang lebih 10 KM dari Tanah Merah, Ibu Kota Kabupaten Boven Digoel. Jarak yang dekat dan akses jalan yang bagus menjadi alasan kami membuka satu kelompok belajar di kampung tersebut. Di kampung itu kami bertemu seorang anak yang duduk di kelas 6 SD. Dia dikatakan bodoh oleh para guru karena tak kunjung bisa membaca.

Gambaran aktivitas belajar kami menggunakan halaman Gereja Katolik sebagai tempat berkumpul dan belajar bersama-sama. Setelah mengumpulkan anak-anak, kami meminta mereka bercerita apa saja yang mereka lakukan selama berada di sekolah. Mulai dari teman-teman mereka, pelajaran yang membosankan dan tidak mereka pahami, hingga guru yang paling ditakuti.

Setelah mendengar kisah mereka, mereka dikelompokan berdasarkan jenjang pendidikan. Usia PAUD kami ajak menggambar dan bernyanyi. Sedangkan kelas satu sampai kelas enam SD kami tanyakan apa yang ingin dipelajari. Mereka, kami kelompokan sesuai minat masing-masing. Seorang anak berdiam diri tanpa memilih apa-apa. Saya tanya kenapa dia tidak memilih, secara serempak kawan-kawannya berkata dia belum bisa membaca. Setelah dicari tahu, anak tersebut duduk di kelas enam SD. Saya memutuskan mendampinginya secara langsung. Untuk anak-anak lain saya serahkan kepada kawan-kawan RBD.

Saya mengajak anak itu ke samping teras gereja. Mempersilahkan dia bercerita apa pun yang ingin diceritakan. Awalnya dia malu-malu, tapi akhirnya dia bercerita. Mulai dari alasan tidak masuk sekolah sampai kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam proses belajar. Kalau diringkas kira-kira begini: konsentrasinya belajar buyar kalau diganggu, guru menjelaskan terlalu cepat, malu tidak bisa membaca, guru mengatakan dia bodoh dan kepala batu, kelas terlalu berisik, di rumah main terus, ikut mama dan bapak ke hutan.

Setelah itu saya bertanya tentang hobinya. Dia menjelaskan, dirinya menyukai permainan sepak bola dan salto. Sesudah mendengar hobinya, saya mengambil huruf abjad yang telah dipotong-potong dan memintanya menyusun secara berurutan dan menyebutkan abjad secara berurutan. Beberapa percobaan yang dilakukan belum berhasil, tapi dia tidak menyerah. Saya mendukungnya. Tidak apa-apa, kata saya menyemangati. Kita belajar dari kekeliruan. Kesalahan tersebut berkaitan dengan beberapa kata yang hampir sama bentuk dan pelafalan kata yang agak sulit. Seperti M, W, E, F dan pelafalan yang agak rumit seperti Q, F, V. Pelan-pelan saya mulai mengidentifikasi kesulitan yang dialami si anak.

Saat asik belajar dia berkata “Kaka, sa su cape. Sa mo main bola”. Saya mengiyakan permintaannya. Saat permainan sedang seru-serunya, saya tiba-tiba menangkap bola. Mereka semua berkata kenapa saya menangkap bola tersebut. Saya berkata, siapa yang dapat menulis kata ‘bola’ di tanah dengan benar, kita akan melanjutkan permainan. Tidak menunggu waktu lama, mereka langsung menulis kata ‘bola’ di tanah. Permainan dilanjutkan.

Bagaimana dengan anak yang belum bisa membaca? Dia melihat teman-temannya menulis ‘bola’ di tanah. Setelah permainan selesai, saya menghampiri anak tersebut sambil menyodorkan secarik kertas dan pensil, saya memintanya menuliskan kata ‘bola’. Dia menulis dengan cepat dan langsung membaca ‘bola’. Dia berkata kalau dirinya sudah bisa membaca. Mendengar ucapannya tersebut, saya katakan dirinya hebat. Padahal, saya tahu dia hanya menghafal kata tersebut. Namun, bagi saya itu tidak terlalu penting. Yang penting adalah bagaimana niat belajar dalam dirinya sudah mulai tumbuh. Selanjutnya, saya meminta anak itu menuliskan kata ‘bola’ sebanyak mungkin dan mengumpulkan kepada saya pada pertemuan berikutnya.

Pertemuan berikut, anak itu hadir membawa hasil pekerjaanya. Dia menuliskan kata ‘bola’ pada satu lembar buku sekolahnya. Singkat cerita, untuk membantu dia memahami huruf yang sulit dipahami, saya menggunakan berbagai metode dan pendekatan. Mulai dari meminta dia menyebut nama abjad lalu dituliskan, melihat abjad lalu dituliskan, dan merasakan abjad yang saya tuliskan di telapak tangannya dan dia mengulangi. Ternyata, anak tersebut cocok dengan metode ketiga, menuliskan di telapak tangan atau daerah sensitif lainnya dan dia menuliskan atau menyebutkan huruf apa yang ditulis. Metode tersebut saya gunakan selama enam bulan. Terkadang mengkolaborasikan dengan metode lain sesuai tingkat pemahaman anak tersebut. Hasilnya dia bisa membaca. Walaupun belum lancar.

Praktek belajar seperti di atas kami terapkan di beberapa kelompok belajar RBD. Kami juga menemukan kasus serupa di kelompok belajar RBD yang berada di lokasi yang lain. Inti dari praktek tersebut adalah berpegang pada prinsip kebebasan dan kepercayaan kepada anak-anak. Kami sangat yakin, setiap anak memiliki sesuatu hal yang ingin diceritakan. Untuk itu, berikan ruang kepada mereka untuk bercerita. Kami juga yakin, setiap anak punya durasi tertentu dalam belajar. Kami percaya setiap anak itu unik, untuk itu, pendekatan yang dilakukan haruslah beragam dan unik pula.

Kasus seperti di atas adalah sedikit dari banyaknya kasus serupa di seluruh tanah Papua. Anak-anak seperti itu, ketika berada di sekolah akan menjadi subjek-subjek yang inferior dan merasa bahwa mereka memang bodoh. Pemberian label-label negatif kepada si anak, secara tidak sadar akan diamini oleh para orang tua. Bagi orang tua, apa yang dikatakan oleh pihak sekolah pastilah benar.

Pada suatu momen, saya bertemu guru-guru dari sekolah tersebut. Saat berdiskusi, mereka mengatakan anak tersebut malas, bodoh, dan tidak mau ke sekolah. Jawaban-jawaban itu dikeluarkan dengan begitu ringan tanpa merasa bersalah sedikitpun. Bagi mereka, apa yang telah mereka ajarkan sudah tepat. Persis seperti jelaskan Ashis Nancy:

“Thus, in the eyes of the European civilization the colonizers were not a group of self-seeking, rapacious, ethnocentric vandals and self chosen carriers of a cultural pathology, but ill-intentioned, flawed instruments of history, who unconsciously worked for the upliftment of the underprivileged of the world.” (Ashis:1983)

Berangkat dari semangat memperadakan (narasi yang sering didengar mendidik anak negeri) kelompok tertentu, mereka beranggapan apa yang diajarkan sudah sesuai dengan tujuan memanusiakan manusia. Anak-anak tersebut saja yang nakal, bodoh, dan malas. Padahal, apa yang mereka lakukan merupakan bentuk penjajahan yang paling halus. Kalau mau sedikit belajar dari anak-anak dan mencoba memahami budaya setempat, tentu itu akan sangat membantu mereka dalam mengajar.

Misi pemberadaban yang lain adalah sikap menentukan mana yang boleh dan tidak boleh dipelajari oleh kelompok tertentu. Misalnya dalam pelajaran sejarah, anak-anak Papua dibuat percaya mempelajari sejarah dan budaya mereka merupakan sebuah kejahatan. Hal tersebut dapat dilihat dari sangat sedikitnya narasi sejarah dalam buku paket sejarah SMA. Bahkan ketika ada guru yang mengajarkan pelajaran sejarah Papua, guru tersebut akan mendapat teguran dari pihak sekolah. Bagi pihak sekolah, apa yang diajarkan adalah apa yang tertulis dalam buku paket nasional.     

Pembunuhan secara psikologi yang dilakukan dari bangku sekolah dasar sampai perguruan tinggi tentu saja dilakukan dengan cara yang berbeda. Terkadang proses pembunuhan itu dilakukan secara sadar maupun tidak sadar. Namun ada hal yang tetap sama bahwa pandangan yang menganggap anak-anak Papua sebagai kelompok yang bodoh, belum beradab, dan susah diatur.

Menariknya, stigma-stigma negatif yang dilabeli kepada anak-anak Papua tak hanya datang dari guru-guru non-Papua. Stigma tersebut juga keluar dari mulut sesama orang Papua. Kita mencekal pola pikir seperti itu, namun secara tak sadar digunakan dalam dunia pendidikan di Papua. Sungguh wacana kolonialisme menjadi musuh yang sangat intim dalam dunia pendidikan.

(Bersambung)

***

Referensi

[1] Selanjutnya saya akan gunakan “anak Papua” untuk membedakan dengan “Non Papua”. Saya tidak menggunakan istilah pribumi atau pun anak Papua asli karena tidak ada yang betul-betul pribumi dan asli.

[2] Papua merujuk kepada seluruh tanah Papua.

Pustaka

Nandy, Ashin. 1983. The Intimate Enemy: Loss and Recovery of Self under Colonialism. Dehli Oxford University, Press Bombay Caltutta Madras.

Althusser, Louis. 1971. Lenin and Philosophy and other Essays. Monthly Review Press New York and London.

Lemke, Thomas. 2011. Biopolitics An Advanced Introduction. New York University Press.

Foucault, Michel. 1978. The History of Sexuality, Volume 1: An Introduction. Pantheon Books, New York.

Gramsci, Antonio. 1999. Selection From The Prison Notebooks. ElecBook, London.

Benediktus Fatubun
Penulis adalah pegiat literasi di Papua dan saat ini sedang menempuh pendidikan Magister di Kajian Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

2 KOMENTAR

  1. Senang sekali penulisan yang optimistik dalam mengali kemampuan proses pendidik dalam upaya meningkatkan kecerdasan anak2 kita di papua. Suatu waktu kita bisa berdiskusi

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Kapitalisme di Era Digital: Manusia, Ruang, dan Alat

Ide menulis tulisan ini, dimulai ketika beberapa waktu lalu...

Belajar Gerakan Kedaulatan Diri Owadaa dari Meeuwodide (Bagian 2)

Pada bagian pertama catatan ini sebelumya, saya mencoba untuk belajar pandangan konseptual tentang Owadaa. Selain itu, sisi teologis yang...

Belajar pada Njoto, Menuju Jurnalisme yang Mendidik Massa

Dalam deretan tokoh-tokoh jurnalistik di Indonesia, nama Njoto jarang terdengar. Kerap ketika berbicara mengenai sejarah jurnalisme di Indonesia, nama...

Empat Babak Sekuritisasi di Papua

Sejak dimulainya Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) oleh Presiden Soekarno pada 19 Desember 1961 banyak terjadi pelanggaran hak asasi...

Mambesak dan Gerakan Kebudayaan Papua Pascakolonial

Mambesak tidak sekadar grup musik Papua biasa. Selain sebagai pioner dengan mempopulerkan lagu-lagu daerah Papua yang kaya dan beragam,...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan