Pengantar
Belakangan ini, dengan semakin masifnya kebijakan kolonialisme Indonesia di Papua dengan disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja tahun 2020 (walau hanya beberapa pasal saja yang dikabulkan MK atas gugatan Partai Buruh pada 31 Oktober 2024), dipaksakan dan disahkannya Undang-Undang Otsus Jilid II tahun 2021, penambahan pemekaran empat provinsi baru di Papua, pengembangan Proyek Strategis Nasional (PSN), rencana pengiriman transmigrasi ke Papua, dan pengiriman ribuan TNI ke Papua untuk mengamankan aset kapital, apa langkah dan alternatif yang tepat oleh gerakan-gerakan rakyat untuk menjawab kondisi hari ini di Papua? Apa jawaban dan alternatif yang tepat atas perampasan tanah adat, penghancuran ruang hidup, kebijakan ugal-ugalan kolonialisme Indonesia yang menghantam seluruh sendi dan sektor kehidupan rakyat Papua yang berujung pada jurang genosida?
Di tengah situasi rakyat Papua yang tercekik minta ampun akibat kebijakan kolonialisme yang rasis, seluruh organisasi-organisasi gerakan perlawanan di Papua di bentur dengan situasi perpecahan yang paling mengerikan. Kekacauan ini tidak bisa di bungkus seperti “barang antik” yang hanya bisa diakses oleh aktivis pimpinan gerakan perlawanan. Rakyat Papua sebagai motor penggerak revolusi harus memahami soal ini dengan baik. Sangat penting bagi rakyat Papua untuk memahami apa yang menjadi akar perpecahan gerakan persatuan perjuangan pasca Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) II United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) di Vanuatu pada 26 Agustus sampai 3 September 2023, bagaimana dinamika setelah KTT II, dan situasi gerakan hari ini? Dan yang paling penting, apa yang harus kita lakukan ke depan?
Tentu dalam tulisan ini akan mengupas penyakit subjektif para pimpinan organisasi yang menampakkan sikap ‘kekanak-kanakan’ yang hanya menjadi beban bagi kemajuan dan pertumbuhan gerakan persatuan perjuangan dan kesadaran rakyat Papua. Jika ada yang berpendapat bahwa isi tulisan ini hanya membuka ‘celana dalam’ terhadap musuh dan bicara masalah harus di Honai (dalam pertemuan tertutup), bukan di media karena hanya memperkeruh suasana, maka anggapan itu merupakan ‘kutukan’ tertinggi bagi kemajuan gerakan perjuangan dan kesadaran rakyat Papua dalam memahami gerakan perjuangan pembebasan nasional Papua. Ini masalah serius dalam selimut gerakan perjuangan Papua yang harus dihancurkan lebih dulu.
Ada slogan yang sering diucapkan oleh Victor Yeimo yaitu ‘rakyat pejuang’. Tentu ini bukan slogan kosong yang muncul begitu saja tanpa ada arti penting bagi sebuah gerak revolusi. Slogan ini punya makna yang amat sangat penting bagi satu bentuk tindakan politik langsung dari rakyat Papua, yakni rakyat turut berpartisipasi dalam semua proses perjuangan baik pendidikan, konsolidasi, mobilisasi, dan aksi massa yang sadar di bawah bendera persatuan. Untuk memanifestasikan itu maka partisipasi rakyat Papua secara langsung dalam semua keputusan politik adalah keharusan, sehingga sudah menjadi kewajiban pejuang untuk menjelaskan secara sahih, terbuka atas kondisi objektif (situasi penindasan di Papua) serta kondisi subjektif (situasi gerakan perlawanan dan dinamikanya), serta apa yang harus kita lakukan. Ini merupakan tugas dan tanggung jawab gerakan dan pejuang untuk menjelaskan kepada rakyat Papua.
KTT II ULMWP dan Awal Perpecahan
Pertemuan KTT II ULMWP telah berlangsung di Vanuatu pada 26 Agustus hingga 3 September 2023. KTT II dihadiri oleh semua gerakan perlawanan baik dari West Papua, Indonesia, juga luar negeri. Dan dari pertemuan hampir satu Minggu lebih ini, banyak hal yang telah dibahas. Itu dilalui dengan diskusi dan perdebatan-perdebatan yang cukup panjang waktu itu. Menariknya, inti dari hasil pendiskusian dan perdebatan panjang ini menghasilan perubahan formasi gerakan persatuan (walau tidak sepenuhnya), begitu pun dengan kepemimpinan yang sebelumnya di pegang oleh Benny Wenda beralih kepada Menase Tabuni. Selain itu, rumusan program perjuangan bersama, strategi dan taktik (Stratak), serta kepemimpinan ULMWP ditarik ke dalam Negeri West Papua.
Tentu perubahan-perubahan ini hal yang normal dalam dinamika gerakan perlawanan dimana saja, termasuk dalam kepemimpinan baru. KTT II ULMWP telah melahirkan keputusan tertinggi yang diambil secara demokratis melalui KTT guna menata ulang formasi perjuangan. Semua perubahan dan keputusan ini adalah hasil perdebatan sengit dan melelahkan serta memakan waktu cukup lama (selama 8 hari) oleh semua kelompok gerakan yang hadir dalam KTT II ULMWP.
Namun perubahan ini mendapat banyak kritikan dari gerakan Papua dengan argumentasi-argumentasi sinis, “Kenapa menggantikan Benny Wenda, cukup dia yang pimpin saja?” Selain itu, ada juga yang mendukung semua proses demokrasi dalam KTT II ULMWP dengan berpandangan bahwa, “Seburuk apa pun hasil keputusan tertinggi dalam KTT II perjuangan harus tetap maju”.
Dinamika sesudah KTT II ULMWP sangat mengenaskan. Informasi terkait hasil KTT II ULMWP juga beredar informasi sesat, cacat berpikir, dan pembusukan terhadap sesama gerakan, pembusukan atas hasil KTT II seolah-olah KTT II ULMWP tidak mewakili semua komponen gerakan, KTT II tidak memilih pemimpin yang tepat, KTT II memilih pemimpin yang punya rekam jejak bermasalah soal TPNPB, dan masih banyak lagi pembusukan yang telah memperuncing perpecahan hingga saat ini.
Di tengah situasi itu, rakyat Papua serta simpatisan (solidaritas rakyat Indonesia, Melanesia, serta para pemimpin negara-negara Pasifik) menjadi bingung dengan perdebatan yang muncul baik secara tertutup maupun terbuka di media pasca KTT II ULMWP di Port Vila, Vanuatu. Tentu saja, hal ini meninggalkan tanda tanya besar kepada siapa yang harus mereka percaya, apakah kelompok Benny Wenda, kelompok Menase Tabuni, atau kelompok Victor Yeimo? Akibatnya, ini membawa perjuangan pada langkah yang sangat mundur dan ‘kacau’.
Satu bulan pasca KTT II ULMWP, yakni bulan November 2023 mulailah muncul perdebatan sikap, pandangan, dan semakin jelas tentang hasil KTT II ULMWP di Vanuatu. Juga ada banyak gerakan mulai mengambil sikap dan mengkritik hasil tersebut.
Pertama, Pemerintah Sementara ULMWP secara sepihak melakukan Kongres di Sentani pada 20-23 November 2023. Hasilnya mengangkat Benny Wenda sebagai Presiden Pemerintahan Sementara ULMWP. Kongres ini dilakukan tanpa melibatkan satu pun organisasi gerakan perlawanan di Papua. Sikap ini tidak terlepas dari penolakan kelompok Benny Wenda terhadap hasil KTT II ULMWP yang mengangkat Menase Tabuni sebagai pemimpin ULMWP. Ini bukan alasan tunggal, yang menjadi dasar dari segala sikap kelompok Pemerintah Sementara adalah cerminan dari ambisi Benny Wenda yang ingin mempertahankan posisinya sebagai pimpinan gerakan persatuan walaupun telah ditolak oleh semua komponen gerakan dan bahkan aturan yang berlaku dalam ULMWP yang tidak menjadikan Benny Wenda dipilih kembali.
Kedua, merespon hasil KTT II ULMWP, Victor Yeimo dan beberapa pimpinan gerakan melakukan konsolidasi dan membuat pertemuan yang akhirnya dinamakan ‘Forum Netral’. Pertemuan ini dilakukan di Sentani pada 23 sampai 25 November 2023 bersamaan dengan Kongres Pemerintah Sementara ULMWP. Konsolidasi tersebut mengundang hampir semua organisasi gerakan termasuk pengurus ULMWP Menase Tabuni dan Markus Haluk yang baru terpilih sebagai pemimpin ULMWP. Disisi lain, ada sebagian organisasi gerakan yang juga diundang seperti Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), Green Papua, Masyarakat Adat Independen (MAI) namun menolak terlibat dalam konsolidasi yang diinisiasi oleh Victor Yeimo karena menganggap konsolidasi ini dilakukan bukanlah cerminan dari metode gerakan perlawanan atau kebudayaan gerakan dalam bersikap karena dilakukan secara sepihak dan tidak demokratis.
Tujuan dari ‘Forum Netral’ yang dibuat oleh Victor Yeimo adalah mengkonsolidasikan dan mengkondisikan semua gerakan yang menolak hasil KTT II ULMWP di Vanuatu dan mengkritik hasil tersebut, serta mendesak agar ULMWP harus melakukan Kongres Luar Biasa (KLB) guna merubah struktur ULMWP yang masih menggunakan Trias Politika. Inilah yang menjadi dalil kenapa Victor Yeimo belum bisa terlibat dalam ULMWP, namun hanya tawarkan New Guinea Read (NGR) menjadi faksi baru dalam ULMWP.
Ketiga, sebagian gerakan yang menerima hasil KTT II ULMWP dan menolak ‘Forum Netral’ berposisi mendorong isu bersama dan program perjuangan yang tepat yang telah dirumuskan secara bersama dalam KTT II ULMWP. Disamping itu, ada beberapa organisasi awalnya non-afiliasi yang mulai berposisi untuk bergabung dalam struktur ULMWP dan berjuang secara bersama walau tidak berafiliasi dalam tiga faksi Eksekutif Komite ULMWP: Parlemen Nasional West Papua (PNWP), Negara Republik Federal Papua Barat (NRFPB), dan West Papua National Coalition Liberation (WPNCL).
Jika kita amati dan analisa secara objektif, perpecahan ini bukan perpecahan yang ideologis, melainkan perpecahan yang lahir akibat ambisi, ‘mati jadi pemimpin’ atau ambisi ‘ingin diakui’, dan keras kepala dalam gerakan perjuangan pembebasan nasional. Hal ini terbukti dalam semua perdebatan yang yang muncul, baik di pertemuan-pertemuan juga di group-group media sosial.
Landasan dan dasar penyakit subjektivisme, keras kepala, ‘mati jadi pemimpin’ yang dimunculkan dari konsolidasi-konsolidasi di atas yang turut mempengaruhi kemunduran gerakan persatuan ULMWP adalah:
Pertama, sikap Benny Wenda yang penuh dengan ambisi dan keras kepala. Semua proses KTT II ULMWP telah diikuti oleh Benny Wenda hingga selesai di Vanuatu, bahkan hasil KTT II ULMWP pun telah disetujui secara bersama di tingkatan Eksekutif Komite ULMWP, baik PNWP, WPNCL, dan NRFPB. Akar soal yang menjadi titik keberatan Benny Wenda terletak pada proses pemilihan badan pengurus ULMWP periode 2023-2028. Dalam dinamika pengusulan kepemimpinan Eksekutif ULMWP yang baru, sesuai bunyi Konstitusi ULMWP dalam BAB III, Pasal 6 bahwa ULMWP adalah kepemimpinan bergilir. Artinya, kepemimpinan pertama dari NRFPB, kedua PNWP yang telah dipimpin oleh Benny Wenda, KTT II ULMWP 2024 saat ini adalah di WPNCL. WPNCL punya hak penuh untuk menduduki posisi Ketua ULMWP dan WPNCL punya hak penuh untuk menawarkan kepada PNWP dan NRFPB untuk menduduki posisi Wakil dan Sekretaris. Disinilah Benny Wenda merasa tidak mendapatkan posisi Ketua ULMWP. Dalam prosesnya, empat kali pengusulan oleh WPNCL dan empat kali konsensus tidak mendapatkan titik terang. Pada akhirnya usulan kelima WPNCL mendapatkan persetujuan dari PNWP dan NRFPB. Dan pada akhirnya Menase Tabuni mewakili WPNCL ditetapkan sebagai Presiden ULMWP, Octovianus Mote mewakili NRFPB dipilih menjadi Wakil Presiden ULMWP, Benny Wenda mewakili PNWP sebagai Badan Urusan Luar Negeri ULMWP, Markus Haluk mewakili NRFPB sebagai Sekretaris Eksekutif ULMWP. Artinya, dengan disahkannya kepengurusan yang baru, secara tidak langsung telah menggugurkan apa yang telah dirumuskan oleh Benny Wenda, Sem Karoba, Buctar Tabuni, Fanny Kogoya, dan lain-lain dengan program Green State Vision, Struktur Pemerintahan Sementara ULMWP pada tahun 2020, yang dijalankan di luar mekanisme formal ULMWP.
Ketiga, berbeda dengan sikap Benny Wenda, yang tidak taat, tidak mau ikuti mekanisme formal ULMWP, juga frontal adalah Victor Yeimo, yang memilih jalur konstitusional dengan cara halus, menolak hasil KTT II ULMWP dan mendesak agar segera dilakukannya Kongres Luar Biasa (KLB) ULMWP dengan dalil bahwa ULMWP harus dikembalikan pada Wadah Koordinatif dan harus menghilangkan sistem Trias Politika yang berlaku, harus jadikan ULMWP sebagai front yang benar-benar demokratis, yang harus mampu menampung semua organisasi gerakan perlawanan secara terbuka tanpa ada birokratisme.
Disini Victor Yeimo nampak konsisten dengan sikapnya mulai dari Pra KTT II ULMWP di Sentani hingga terselenggaranya KTT II di Vanuatu, sayangnya saat KTT II ULMWP diselenggarakan Victor Yeimo masih dalam tahanan di Lapas Abepura. Sikap ini juga dipegang kuat oleh hampir semua organisasi non-afiliasi (organisasi gerakan yang tidak bergabung dalam PNWP, NRFPB, dan WPNCL) yang juga hadir dalam KTT II ULMWP di Vanuatu seperti, Petisi Rakyat Papua (PRP), Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Gerakan Rakyat Demokratik Papua (Garda-Papua), Gerakan Pemuda Mahasiswa dan Rakyat Papua (GempaR-P), Forum Independen Mahasiswa (FIM-WP) West Papua, Masyarakat Adat Independen (MAI), Front Nasional Mahasiswa Papua (FNMP), Solidaritas Nasional Mahasiswa Pemuda Papua (Sonamappa). Sekalipun Victor Yeimo tidak terlibat dalam KTT II ULMWP, mewakili organisasi KNPB dihadiri oleh Ketua I KNPB Warpo Wetipo dan Ones Suhuniap Juru Bicara Nasional KNPB.
Dalam proses pembahasan pada saat KTT II ULMWP, seperti yang diinginkan Victor terkait ULMWP juga masuk dalam proses pembahasan dalam agenda. Pembahasan Komisi Konstitusi dan Struktur ULMWP juga dibahas dalam pleno. Pembahasan Konstitusi ULMWP dan struktur ULMWP memakan waktu kurang lebih dua hari (30 Agustus sampai 1 November 2023). Pembahasan komisi ini tidak mulus begitu saja, dalam komisi inilah terjadi perdebatan sengit antara kelompok non-afiliasi dan tiga faksi yang bergabung jurus, hingga terjadi saling ‘bentak-bentak’, ‘toki meja’, ‘baku tarik menarik’, dan lain sebagainya. Di satu sisi, tiga faksi mempertahankan Trias Politika tetap berlanjut, di sisi yang lain non-afiliasi memperdebatkan pentingnya ULMWP di kembalikan menjadi wadah koordinatif, hingga pada pembahasan pleno komisi, non-afiliasi memilih walk out (keluar ruangan) karena menganggap semua argumentasi logis yang tidak terbantahkan digugurkan demi ambisi tiga faksi. Disitulah titik terakhir keterlibatan non-afiliasi dalam proses KTT II ULMWP di Vanuatu.
Lantas kita bertanya, jika secara organisasi KNPB telah mengutus Warpo Wetipo dan Ones Suhuniap turut terlibat, ikut serta, ikut diskusi, dan ikut dalam perdebatan-perdebatan panjang lebar dalam KTT II ULMWP apa landasan ‘Forum Netral’ dilakukan Victor Yeimo? Apakah Warpo dan Ones hanya pesuruh yang hanya diperintahkan tanpa ada proses berpikir secara mandiri untuk mempertanggungjawabkan pandangan organisasi dan semua perdebatan di forum KTT II ULMWP? Apakah organisasi lain yang diundang dalam ‘Forum Netral’ tidak mampu bersikap sehingga harus dikonsolidasikan? Disini titik letak keangkuhan Victor Yeimo dalam melihat kawan sendiri sekalipun satu organisasi bahkan organisasi lain yang hadir dalam ‘Forum Netral’, yang pada akhirnya ‘Forum Netral’ merupakan ekspresi awal dari ambisi seorang Victor Yeimo yang selama ini tersembunyi dan perlahan keluar dengan berbagai macam alasan subjektif yang terus dirasionalisasikan namun tidak memiliki esensi dan alasan objektif apa pun dalam memajukan gerakan persatuan secara ideologis lebih jauh ke depan.
Semakin jelas sekali bahwa Benny Wenda dan Victor Yeimo punya kesamaan mempertahankan ambisi masing-masing yang hanya mempersulit gerak bersama dalam menghadapi musuh bersama.
Jadi, yang mau saya sampaikan adalah mau tidak mau, suka tidak suka ‘nasi su jadi bubur, air su naik di batang leher’, perjuangan harus bergerak maju. Semua keputusan yang telah diperdebatkan panjang lebar dan disahkan dalam KTT II ULMWP di Vanuatu tidak dapat diubah dengan alasan apa pun kecuali melalui Kongres Rakyat Papua di tahun 2028 sesuai keinginan seluruh gerakan dan rakyat Papua.
Silahkan mengkritik dan berdebat yang objektif terkait hasil KTT II ULMWP, silahkan diskusikan dan berdebat soal metode-metode yang tepat terkait perjuangan ke depan, silahkan berdebat dan diskusikan soal aksi-aksi nasional, aksi-aksi lintas sektoral seluruh tanah air West Papua, dan aksi-aksi lintas masing-masing gerakan dan wilayah, tapi tidak boleh merubah secara sepihak hasil KTT II ULMWP yang juga adalah hasil dari kerja keras dan keringat semua gerakan baik semua gerakan rakyat Papua yang ada di tanah air West Papua, Indonesia, dan luar negeri, solidaritas Indonesia dan solidaritas internasional, dan seluruh rakyat Papua atas dasar ambisi, keras kepala, dan tendensius.
Tugas Kita, Tugas ULMWP
West Papua hari ini berada pada kepemimpinan baru kolonialisme Indonesia, Prabowo Subianto. Belum setahun memimpin tanah Papua telah digadai kepada kapital nasional dan internasional melalui Proyek Strategis Nasional (PSN) yang membabat habis hutan Merauke 2 juta hektar, Blok Wabu di Intan Jaya, Blok Wayland di Dogiyai, Blok Waren di Mimika sudah akan beroperasi pada 2026 mendatang, transmigrasi terus berdatangan 24 jam dengan kapal putih walau Indonesia mengatakan telah ubah menjadi transmigrasi lokal, pengiriman ribuan TNI untuk mengamankan aset-aset kapital secara terbuka diumumkan ke publik walau dilarang dalam Undang-Undang TNI dan Polri, pembunuhan terhadap orang Papua semakin masif dan tinggi, kematian aktivis gerakan Papua jumlahnya terus naik, dan masih banyak soal yang semakin menjadi-jadi di masa pemerintahan baru Prabowo Subianto.
Lantas buat apa kita terus menerus tanamkan sikap keras kepala, tendensius, ambisi, ‘kekanak-kanakan’ dan ‘mati diakui’ dalam gerakan dan persatuan? Segera hentikan sikap-sikap itu.
Tidak semua hasil keputusan KTT II ULMWP seburuk yang kita bayangkan. Ada poin-poin penting yang menjadi kemajuan kecil dari hasil diskusi dan perdebatan panjang lebar yang harus didorong secara bersama, misalnya, pertama, program perjuangan bersama, baik itu aksi-aksi bersama lintas nasional dan wilayah dan aksi-aksi lintas gerakan masing-masing dan masing-masing lintas sektoral, kedua, kepemimpinan ULMWP telah bawa ke dalam negeri, ini berarti bahwa agenda-agenda semua gerakan di tanah air ULMWP siap bertanggung jawab. Ketiga, semua departemen atau biro sudah bisa mengkonsolidasikan semua sektor-sektor untuk membangun kekuatan persatuan secara menyeluruh: Departemen Lingkungan bisa mengkonsolidasikan semua gerakan lingkungan di Papua, Indonesia, dan internasional, Departemen Budaya, bisa konsolidasi semua gerakan seni dan budaya di mana saja, begitu juga departemen-departemen lainnya.
Jadi intinya bahwa kembali tadi, hasil KTT II ULMWP tidak seburuk yang kita bayangkan. Tugas kita harus jadi tugas ULMWP. Kerja kita harus jadi kerja ULMWP. ULMWP memberikan ruang kepada rakyat dan gerakan untuk bersatu dibawa payung ULMWP. Ini bisa bergerak secara terpisah-pisah, dengan isu berbeda-beda sesuai kebutuhan organisasi masing-masing juga sesuai kebutuhan situasi penindasan di wilayah masing-masing, tetapi tetap dengan satu tuntutan utama ULMWP dan tuntutan semua gerakan perlawanan, yakni Segera Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri Bagi West Papua Sebagai Solusi Demokratik.
***