Pulau Yapen terletak sebelah utara Pulau Papua, berhadapan dengan laut Pasifik dan masih masuk dalam kawasan teluk Cendrawasih. Pulau ini berhadapan langsung dengan Kabupaten Waropen. Perjalanan dari Jayapura memakan waktu 1 jam menggunakan pesawat berukuran sedang, dengan jadwal penerbangan yang terbatas, dikarenakan Covid-19. Kita harus menyiapkan hasil rapid test, mengisi formulir dan lain sebagainya. Bisa dibayangkan betapa ribetnya melakukan perjalanan ditengah pamdemi ini?
“Wah tidak ada jaringan ya? signal telepon biasa juga tidak ada?” rekan saya yang baru pertama kali ke Yapen menggerutu. “Welcome to Yapen Island” kataku menyambut gerutunya. Memang salah satu hal yang membuatku tidak nyaman adalah buruknya jaringan telekomunikasi di Kabupaten ini. Sebenarnya ini masalah klasik dihampir seluruh Kabupaten/Kota di Tanah Papua.
Padahal selama pandemic ini, ada aplikasi yang dibuat khusus untuk membantu mengontrol mobilisasi penduduk antar daerah, yaitu aplikasi eHAC Indonesia. Namun karena jaringan internet yang buruk, para penumpang dari Bandar Udara Kamanap Yapen harus mengisi formulir secara manual, yang tentu saja kurang efektif dan efisien dalam mencegah penularan Covid-19 di Papua.
Sesampainya di Yepen kami lalu meninggalkan bandara udara Kamanap Serui dan langsung menuju penginapan. Selama perjalanan, kicau burung ditengah hutan tedengar jelas, udara yang sejuk serta angin sepoi-sepoi sungguh menyegarkan. Kami melewati beberapa kampung, salah satunya yang paling saya ingat adalah Kampung Armarea. Di kampung ini ada satu kali yang mengalir dan bermuara kelaut, saat ke Yapen kamu akan tahu, karena setiap kendaraan akan melintasi jembatan diatas kali tersebut. Kampung ini punya satu spot wisata menarik dekat muara kalinya yang dikenal dengan “Jembatan T”, karena jembatannya serupa huruf “T”. Airnya seperti jelly berwarna hijau bening yang mengalir konstan menuju bibir pantai. Tidak hanya itu, mendekati kota Serui, kita akan terhipnotis memandang indahnya Teluk Sarawandori dengan airnya yang berwarna hijau kontras berbalut biru toska yang eksotis.
Singkatnya, tujuan kami ke Yapen untuk memfasilitasi pelatihan “Makanan Olahan Berbahan Dasar Sagu” yang dilakukan oleh Yayasan Anak Dusun Papua (YADUPA) kepada kelompok peramu sagu dari Kampung Rambai, Wanampompi dan Wadapi. Oleh karenanya, saya tidak punya banyak waktu untuk mengeksplorasi kota dengan julukan Kembang ini. Saya dan tim Comunnity Development dari YADUPA pun harus meninggalkan Kota Serui dan menuju ke kampung Wadapi, sehari setelahnya.
Kampung Wadapi, Distrik Angkaisera
Perjalanan ke Wadapi cukup jauh, medannya cukup melelahkan bagi kami yang baru pertama berkunjung. Banyak tikungan dan jalur menanjak ataupun menurun dengan jarak yang dekat. Meski lelah perjalanan dan mual, saya tidak bisa menahan diri menayakan nama-nama Kampung yang kami lewati. Pertama-tama kami melewati kampung Warari, lalu kampung Kabuwaena, kemudian Rambai, masuk ke kampung Menawi. Selain itu kita juga akan melewati pertigaan jalan masuk menuju Yapen Utara disisi kiri jalan, perjalanan berlanjut melewati kali Manawini dan masuk ke kampung Kainui. Perjalanan semakin menantang setelah jalur menanjak dan belok kiri dari Kampung Kainui dan masih harus bersabar dengan turunan yang curam.
Saat-saat memasuki kampung Wadapi, dari kejauhan terlihat dua kampung yaitu Wadapi dan Wanampompi yang berdampingan didalam teluk yang indah. Kedua nampak serasi dengan dua ujung tanjung yang membentuk gapura alam. Keduanya terlihat jelas, sebab jarak kampung Wanampompi begitu dekat dengan Wadapi. Seperti Kampung Enggros dan Tobati di Kota Jayapura, begitu juga Wadapi dan Wanampompi dalam benak saya. Perjalanan sejam lebih menuju Wadapi memberi kenangan tak terlupakan. Saya jadi lebih paham karateristik wilayah ini, dan lagu-lagu tentang alam yang dinyanyikan musisi-musisi asal Yapen-Waropen.
Pelatihan Makanan Olahahan Berbahan Dasar Sagu
Hari pertama pelatihan yang kami laksanakan menarik, karena peserta yang hadir bukan hanya ibu-ibu (mama-mama) tetapi para remaja perempuan. Saya memberikan materi sosialisasi terkait “Kedaulatan Pangan dan Informasi nilai gizi sagu”. Informasi yang cukup berguna bagi masyarakat yang masih aktif mengkonsumsi Sagu sebagai makanan lokal. Seperti halnya nilai gizi, penyebaran, pemanfaatan, bahkan potensi sagu bagi pangan di dunia hari ini. Saya berharap informasi ini dapat memmberikan rasa percaya diri tentang makanan pokok mereka yang sedang terancam oleh jenis makanan berbeda, yang bersamaan dengan masuknya penduduk, maupun kebijakan pemerintah. Selepas itu, kami masuk pada praktek pengolahan Sagu menjadi aneka kue dan cemilan. Bahan baku utama adalah tepung sagu.
Menurut Jackson Yapanani, Ketua Cabang Yadupa di Yapen, pelatihan ini dilakukan sebagai salah satu bentuk pemberdayaan masyarakat adat dalam mengelolah asset mereka, salah satunya Sagu, sebagai tumbuhan yang memiliki potensi besar dalam wilayah kelolah masyarakat adat setempat. Sebagai makanan pokok orang asli Papua, sejauh ini Sagu masih dikelolah secara terbatas menjadi pati sagu dan makanan tradisional lainnya. Sehingga melalui pelatihan ini, diharapkan masyarakat dapat mengembangkan Sagu menjadi aneka macam makanan olahan, yang diharapkan dapat menjadi home industry yang dapat meningkatan pendapatan keluarga.
Aneka makanan dan minuman hasil buatan ibu-ibu dari kampung Rambai, Wadapi dan Wanampompi tidak kalah dengan yang ada di swalayan ataupun supermarket. Mereka membuat Cake Brownis, Kue kering Telur Gabus, Biskuit Choco Chips dan Cendol. Harapan kami melalui pelatihan ini mereka dapat memproduksi secara mandiri dengan bahan baku Sagu yang tersedia dikampung masing-masing dan menjadi sumber pendapatan keluarga.
Semangat dan kemampuan masyarakat dalam mengolah asset berupa sumber daya alam seperti sagu, memerlukan dorongan dan perhatian lebih dari banyak kalangan, baik Organisasi Gerakan Sosial, Lembaga swadaya masyarakat (LSM) bahkan pemerintah, untuk perlindungan atas asset dan akses mereka terhadap sumber-sumber penghidupan tersebut. Terbukti salah seorang peserta dari kampung Rambai menunjukan tepung Sagu yang diproduksi sendiri, tepung Sagu tersebut lalu diputuskan sebagai bahan baku utama dalam pelatihan produksi makanan olahan kami itu. Sekalipun proses pengolahan sagunya menjadi tepung masih konvensional, namun hasilnya sudah dapat digunakan sebagai bahan baku aneka makanan olahan. Inilah yang kemudian menjadi asset dan potensi yang harus terus dikembangkan kedepannya.
Pro Kontra Produksi dan Penjualan Bobo
Ada pemandangan yang tidak biasa di Kampung Wadapi bagi saya, saat sedang mempersiapkan pelatihan hari kedua, terlihat beberapa pemuda dan laki-laki paruh baya yang berjalan menuju pepohonan yang terlihat seperti pohon sagu berukuran kecil dibelakang balai pertemuan dan rumah Kepala Kampung. Tumbuhan sejenis sagu ini juga banyak ditemui disepanjang halaman belakang rumah penduduk saat saya mengitari kampung untuk sekedar mengenal dan mengenang setiap sudut kampung Wadapi saat saya Kembali ke Jayapura nanti. Rupanya, itulah “Pohon Bobo”!
Pohon Bobo adalah pohon Nipah, yakni sejenis palem yang tumbuh di lingkungan hutan bakau atau daerah pasang-surut dekat tepi laut. Di Yapen dan Waropen, umumnya Nypa Fruticans ini dikenal dengan sebutan “Bobo”. Melihat ekologi wilayah kampung Wadapi yang juga dialiri sungai-sungai kecil dan berlumpur, tak heran vegetasi ini tumbuh subur, sebab selain hidup didaerah rawa, tumbuhan ini juga hidup di bagian tepi sungai atau laut yang memasok lumpur ke pesisir.
Secara garis besar, tumbuhan ini dapat dimanfaatkan dari daun, pelepah, Bunga hingga buahnya. Khusus di Kepulauan Yapen dan tanah besar Waropen, Nipah ini disadap niranya, yaitu cairan manis yang diperoleh dari tandan bunga yang belum mekar. Cairan inilah yang ditampung menjadi tuak, yaitu minuman lokal yang dikonsumsi luas oleh masyarakat hari ini di Kota Serui dan sekitarnya. Itulah “bobo” minuman lokal yang di identifikasi sebagai minuman keras lokal oleh peraturan pemerintah melalui Perda Kabaputen Kepulauan Yapen Nomor 4 tahun 2016 tentang Larangan Produksi, Pengedaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol di Kabupaten Kepulauan Yapen Provinsi Papua.
Bobo dan Sagu adalah produk lokal yang diolah dan dikonsumsi oleh masyarakat, namun kegunaan dan fungsinya jauh berbeda. Sagu diolah menjadi makanan pokok sehari-hari dan bobo sebagai minuman yang lebih banyak dikonsumsi untuk melepas lelah, juga kesenagan dan kepuasan semata. Artinya, bobo bukan bahan makanan pokok. Selain itu efek samping dari bobo yang dikonsumsi secara berlebihan dapat mengakibatnya hilangnya kesadaran alias mabok. Meski demikian, Sebagian besar penduduk desa Wadapi adalah penyadap Bobo, minuman lokal (milo) yang digemari penduduk kota dengan rasa manis dan berwarna seperti sirup leci.
Klasince seorang pemudi asal kampung Wadapi menuturkan bahwa dari hasil penjualan Bobo ini, para penyadap mampu menyekolahkan anak-anak mereka hingga sarjana, membangun rumah, dan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dilain tempat, Kepala kampung Wadapi, Bapak Harun Arobaya juga bercerita bahwa, menyadap dan menjual bobo bukanlah mata pencaharian utama yang mendatangkan uang bagi penduduk kampung. Dahulu ada program perkebunan untuk penanaman pohon cokelat oleh pemerintah, kebanyakan penduduk memiliki kebun cokelat, hasilnya, dipanen lalu dijual kepada pengumpul di Kota Serui. Namun sejak kebun cokelat masyarakat diserang hama dan gagal panen, lantas mereka tidak lagi mengolah kebun cokelat. Kurangnya pengetahuan masyarakat terkait cara merawat dan memelihara tanaman cokelat, serta kurangnya perhatian pemerintah, membuat mereka beralih sebagai penyadap bobo. Tidak heran, pertambahan jumlah penduduk dan meningkatnya konsumen minuman lokal menjadi peluang bagi warga dikampung Wadapi untuk merauk keuntungan.
Seorang ibu yang tidak ingin disebutkan namanya lantas mencurahkan isi hatinya. Bagaimana pengaruh penjualan bobo yang marak dikampung Wadapi berdampak pada para remaja, yang tidak lagi bersekolah karena merasa sudah dapat menghasilkan uang dari menyadap Bobo. Para ibu-ibu di Kampung mengeluhkan suami-suami mereka yang mabuk akibat minum bobo. Bahkan pertengkaran dan pertikaian antara masyarakat kerab terjadi. Situasi yang sama juga terjadi di Kota Serui jelang perayaan hari-hari besar keagamaan dan memasuki tahun baru. Akibatnya, Perda pelarangan Miras pun dikeluarkan sebagai bentuk pengedalian pemerintah mengatasnamakan kamtibnas di Kabupaten Kepulauan Yapen.
Sejak dikeluarkannya Perda terkait perederan Miras, entah sudah berapa banyak botol dan jerigen yang telah disita oleh aparat. Peraturan ini menitik beratkan pada penjualan illegal oleh masyarakat luas, namun penyitaan ini tidak berlaku untuk pemasok-pemasok miras besar yang jadi distributor untuk Bar-bar, café-café dan toko-toko besar di Kota Serui. Hal ini tentu saja membuat konsumen dari kelas menengah kebawah tidak dapat menyerumput minuman beralkohol jika mereka tidak cukup uang untuk masuk ketempat-tempat tersebut.
Bahkan Bobo belum tentu ada disana, sebab bukan merek mahal yang dapat disandingkan dengan brand-brand internasional. Rakyat kelas bawah lebih memilih minum Bobo yang dihasilkan oleh pengecer lokal, yang dibeli langsung dari Kampung penghasil Bobo, diantaranya Wadapi. Para distributor tidak tanggung-tanggung untuk membeli dengan jumlah banyak, lalu menjualnya kembali di Kota Serui dengan harga terjangkau. Sementara penyadap tetap menghasilkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup, walaupun bermain kucing-kucingan dengan aparat untuk mengisi pundi-pundi mereka.
Layak Untuk Dikembangkan Sebagai Produk Unggulan
Peraturan dan pelarangan produksi minuman keras lokal di Kabupaten Kepulauan Yapen perlu dikaji kembali, sebab bobo sebagai salah satu jenis minuman lokal telah digunakan sejak turun-temurun sebagai ramuan tradisional. Bobo dikonsumsi oleh laki-laki dan perempuan untuk menghilangkan rasa cape sehabis bekerja, misalnya sehabis berburu, berkebun ataupun saat meramu sagu. Jenis minuman lokal yang diolah oleh masyarakat sebenarnya bukan hal baru dalam kebudayaan Melanesia, dari Papua hingga kawasan Pasifik . Fiji dan Vanuatu misalnya memproduksi Kava, minuman yang begitu merakyat, yang menjadi perekat serta keakraban sosial di semua kalangan, baik rakyat maupun pemerintah. Sehingga Kava menjadi minuman khas asal kepulauan Pasifik yang sudah dikenal dunia.
Seperti sagu yang semua bagiannya dapat dimanfaatkan, demikian pula dengan pohon bobo. Dari 10 bagian pohon bobo, ada 7 bagian yang dimanfaatkan dalam 20 jenis pemanfaatan oleh Sebagian besar masyarakat kepuluan Yapen. Secara garis besar bagian tumbuhan Nipa ini dimanfaatkan oleh masyarakat yaitu bagian akar, tangkai buah, tulang daun, buah, tulang anak daun (lidi), daun, dan pucuk daun. Dari bagian-bagian yang ada, masyarakat dan bahkan pemerintah, hanya berfokus pada pemanfaatan tangkai buah Nipah sebagai sumber penghasil nira yang disadap menjadi “milo”.
Hal paling penting dari tumbuhan ini adalah fungsinya sebagai penyokong ekosistem yang perlu di konservasi untuk menahan gempuran ombak dan abrasi air laut, pada areal yang terpengaruh pasang surut termasuk pada muara sungai. Terutama jika mengingat letak kampung-kampung di Kepulauan Yapen yang dekat dengan bibir pantai, seperti Kampung Wadapi dan Wanampompi. Maka seharusnya pemerintah dan juga warga masyarakat wajib memelihara ekosistem laut termasuk pohon bobo. Namun semuanya itu menjadi tidak berfaeda ketika dianggap sebagai sumber utama minuman lokal yang berefek negatif bagi masyarakat.
Niat hati saya ingin belajar tentang cara pengolahan sagu langsung dari Masyarakat, malah mendapat pelajaran baru di kampung Wadapi. Tentang penduduk kampung yang berkelut dengan persoalan ekonomi dan menjadikan bobo sebagai pemasukan tambahan. Walau Sagu jadi sumber pangan primadona ditengah pandemic Covid-19, Tetapi sagu belum menjadi solusi ekonomi masyarakat apabila masih dipandang secara tradisional juga pengelolaan yang masih sederhana sehingga bobo menjadi solusi cepat bagi ekonomi warga lokal.
Peraturan Presiden yang mengatur produksi minuman beralkohol tradisional termasuk dalam “negative list”, untuk itu penting bagi Pemerintah daerah untuk mengkaji terkait aspek sosial, ekonomi dan budaya pada masyarakatnya. Sehingga tidak mengeluarkan Peraturan Daerah semata-mata untuk mengendalikan situasi Kamtibnas di satu wilayah dan mengabaikan fakta dilapangan, bahwa bobo memilki fungsi yang besar dalam kehidupan masyarakat setempat, tidak hanya kebutuhan ekonomi tetapi juga kearifan lokalnya.
Tengoklah Bali! Gubernur Bali, I Wayan Koster baru saja menerbitkan Peraturan Gubernur No 1 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan/atau Destilasi Khas Bali. Kebijakan daerah melalui Pergub itu mampu mengakomodir minuman tradisional Bali, termasuk Arak Bali, menjadi legal. Tujuannya selain meningkatkan ekonomi rakyat, aturan ini dapat melindungi, memelihara dan memanfaatkan potensi ekonomi secara berkelanjutan berbasis kearifan lokal. Paling tidak masyarakat tidak dicekal untuk mencari nafkah melalui produksi minuman lokal, melainkan diatur tata kelolahnya. Ada perbedaan konteks antara Papua dan Bali, namun esensi penghargaan terhadap nilai budaya dan tradisi itu menjadi hak yang sama bagi kedua Komunitas Masyarakat Hukum Adat yang hak-hak nya dijamain oleh Undang-undang di Negara ini.
Referensi:
- Jurnal Kehutanan Papuasia (2018); Deskripsi Pemanfatan Nipah (Nipah Fruiticans Wurmb). Berbasis Pengetahuan Lokal Masyarakat Kampung Narei Kepulauan Yapen.
- https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200206091144-20-472137/gubernur-wayan-koster-legalkan-arak-bali
- https://kabarpapua.co/operasi-lilin-matoa-2018-polres-yapen-sita-100-botol-miras-jenis-tuak/