Kita saksikan beberapa waktu lalu PT. Tunas Sawaerma memberikan bantuan sebesar 2,4 Miliar kepada Keuskupan Agung Merauke. Uang tersebut bahkan diluar tunjangan per bulan sebesar 20 juta rupiah. Berbagai media mengatakan bantuan tersebut diberikan oleh Corporate Social responsibility (CSR) PT. Tunas Sawaerma. CSR sendiri adalah istilah untuk tanggungjawab sosial perusahaan, CSR berlaku bagi semua perusahaan baik BUMN, Swasta, maupun multi nasional. Artinya bantuan tersebut merupakan sikap atau upaya sosial dari perusahan kepada stakeholder diwilayah operasinya. Pertanyaan kita adalah, apakah semua perusahaan berkewajiban melaksanaakan itu, seperti apa sejarah dan aturan perundang-undangan yang mengikat.
CSR dan Prakteknya
Dalam sejarahnya CSR atau tanggungjawab sosial perusahaan tidak begitu saja diterapkan diberbagai perusahaan di dunia. Hadirnya CSR tidak terlepas dari sejarah penindasan dan eksploitasi buruh di Eropa dan Amerika dimasa lampau. Para buruh tidaklah berbeda dengan budak, bekerja dengan sepenuh tenaga, fasilitas tinggal dan kerja tidak memadai, bahkan tanpa upah yang pantas. Jika kita melihat lebih jauh, maka akan kita dapati sejarah perjuangan kaum buruh di berbagai negara Eropa, hal itu bahkan menjadi cikap bakal lahirnya kekuatan buruh internasional melalui ideologi sosialisme dan komunisme internasional. Bahkan, tidak hanya melalui perlawanan-perlawan fisik, berbagai penelitian-penelitian, dan argumentasi tentang perlunya perubahan mendasar perusahaan terhadap buruh segera dilakukan.
Pertarungan ide, pertarungan ideologi terjadi bertahun-tahun, hingga 1962 Milton Friedman menuliskan dalam bukunya Freedom and capitalism, inilah untuk kali pertama dimunculkan istilah social responsibility, tujuannya guna penghapusan monopoli kaum pemilik modal. Pada 1976, dia Kembali membuat kontraversi dengan menuliskan dan mengusulkan CSR secara langsung. Usulan tersebut mendapatkan dukungan sekaligus penolakan serta cacian dari para kapitalis dunia. Bagi mereka bisnis adalah bisnis dengan tujuan mencari keuntungan sebanyak-banyaknnya, tanggungjawab perusahaan terutama kepada kelompoknya atau para pemegang saham saja, tidak kepada buruh. Pemilik modal tentu berpegang pada ideolog kapitalis sebelumnya, seperti Kent Greenfield, piter C, Konstant hinggga Adam Smith.
Kembali pada 1976 Milton Friedman si pemenang nobel ekonomi ini Kembali menulis, yang intinya menekankan moralitas sebagai instrument pasar. Argumentasi Fiedman selanjutnya menjadi pro dan kontra, namun tidak sedikit yang mendukung penerapannya dalam setiap perusahaan. Sehingga CSR mulai diterapkan perusahaan, awalnya kepada para buruh sebagai langkah awal dan kedermawanaan perusahaan. Hal tersebut bisa terjadi karena desakan kuat, bersama dengan berbagai bukti ketertindasan buruh selama ini. International Organization Standarzation (ISO) melalui Technical Manajement Board Working Group on Social responsibility (ISO 26000) dan United Nation Global Compack (UNGC) mengusulkan berbagai prinsip-prinsip, yang intinya mendorong lingkup CSR tidak terbatas pada pekerjaanya, tetapi meluas, pada lingkup lingkungan dan Hak Asasi Manusia (HAM). Sistem itu lalu di adobsi dan diterapkan berbagai perusahaan di dunia.
Kelemahan CSR sampai dengan saat ini adalah tidak diwajibkan dan semata sebagai instrumen moral. Artinya, setiap perusahaan dapat tidak menerapkannya dan tidak mendapatkan sangsi. Tanggungjawab utama perusahaan diberikan kepada negara adalah pajak investasi atau usaha. Dengan wajib pajak tidak jarang dikeluhkan perusahaan karena dua kali lipat beban jika harus melaksanakan CSR secara terpisah. Bagi perusahaan, soal pembangunan, kesejahteran, lingkungan, bahkan HAM adalah tanjawab negara. Sedangkan Lingkup CSR adalah tanggungjawab kepada para buruh, stakeholder, dan masyarakat umum namun terbatas dan tidak mengikat.
Pelaksanaannya beban CSR terlalu besar untuk sebagian perusahaan, menjadi defisit bagi perusahaan, tetapi sebagian lainnya mengamalkan secara suka rela karena dapat membuat citra perusahaan lebih baik dimata publik. Bentuk CSR antara lain, bantuan seperti pendidikan, kesehatan hingga infrastruktur. Pendidikan seperti beasiswa, kesehatan seperti jaminan kesehatan, infrastruktur seperti pembangunan rumah hingga bangunan publik. Bahkan perusahaan memberikan dana hiba dan bantuan bahan makanan (bama) setiap bulannya.
Pelaksanaan CSR di Indonesia
Di Indonesia CSR diatur dalam perundang-undangan Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Pasal 15 huruf b “yang dimaksud dengan tanggungjawab sosial perusahaan adalah tanggungjawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal; untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat”. Dan UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang perseroan terbatas Pasal 1 angka 3 “Tanggungjawab sosial dan lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komonitas setempat, maupun masyarakat pada umumya.
Masalanya belum terdapat defenisi jelas pada kedua UU ini, sehingga praktek nya tidak akan pernah maksimal. Ada juga perbedaan kewajiban, serta diskriminasi bagi setiap perusahaan oleh pemerintah maupun mafia dan para pesaing perusahaan itu sendiri. Sehingga CSR sekalipun dilakukan biasanya untuk tujuan tertentu dari perusahaan, semisal untuk mendapatkan dukungan tertentu dari stakeholder di daerahnya, bahkan setingkat pusat. Secara sengaja negara membiarkan ketidakteraturan defenisi CSR dalam UU diatas, lalu bersamaan melepas tangan kepada perusahaan untuk menyelesaikan berbagai kasus, yang seharusnya menjadi tanggungjawab utama pemerintah dalam berbagai UU. Seperti misalnya soal kesejahteraan buruh, kesejahteraan masyarakat (adat) sekitar perusahaan, ramah lingkungan, bahkan pelanggaran HAM yang memiliki potensi di area perusahaan. Dimana dasar utama yang menjamin semuanya adalah UUD 1945.
CSR telah mengakomodir berbagai tugas-tugas negara dalam perlindungan atas lingkungan hingga kesejahteraan masyarakat. Sehingga tidak etis jika negara memaksakan tanggungjawab berlebihan kepada perusahan.
Sisi lainnya setiap perusahaan pelaku pelanggaran HAM lolos begitu saja, karena perusahaan tidak menjadi pelaku dalam semua instrument HAM baik internasional maupun nasional. Ini pergumulan bahkan setingkat United Nations (UN) sejak berdirinya 1945 karena baru pada 1962-1967 di perdebatkan, lalu pada 1990-an isu bisnis dan hak asasi manusia secara permanen masuk dalam agenda kebijakan global. Bahkan UN baru mengeluarkan prinsip-prinsisp bisnis dan HAM pada 2011, setelah penelitian dilakukan oleh utusan khusus sekretaris jenderal UN bernama John Ruggie. Penerapan dan realisasinya secara bertahap baru mulai dilakukan diseluruh dunia.
Manipulasi pelanggaran di lingkungan perusahan
CSR tidak begitu saja membuat perusahaan lolos dari pelanggaran-pelanggaran besar yang dilakukan, khususnya pada rana lingkungan dan HAM. Tidak sedikit penolakan masyarakat pada setiap investasi yang merugikan, di dukung berbagai Lembaga swadaya masyarakat (LSM) perusahaan-perusahaan yang bermasalah mendapatkan berbagai sorotan nasional dan internasional. Sehingga terkadang CSR menjadi siasat perusahaan untuk mereduksi penolakan-penolakan terhadap mereka. Karena apapun bentuk bantuan bagi masyarakat secara subtansial tidak dibutuhkan karena sebelum ada perusahaan masyarakat adat diwilayah tersebut jauh lebih baik walau dengan segala keterbatasan dan kesederhanaan.
Dalam berbagai laporan-laporan HAM jelas bahwa kondisi masyarakat adat jauh lebih baik ketimbang setelah kehadiran perusahaan. Karena perubahan pola hidup, perubahan lingkungan, perubahan sumber ekonomi, kehilangan sumber inspirasi kebudayaan yang semuannya berada di alam telah dirusak. Kebanyakan perusahaan beroperasi diwilayah-wilayah memilki sumber daya alam melimpah, bukan hanya emas, tetapi hutan yang dipenuhi berbagai jenis tumbuhan dan hewan yang menjadi sumber hidup utama masyarakat. Dengan pendekatan yang tidak tepat, perusahaan bahkan ikut menciptakan konflik horizontal ditengah masyarakat, secara khusus soal pelepasan tanah adat. Sehingga Sebagian kecil masyarakat mendapatkan manfaat sedang lainnya hidup dalam bayang-bayang kemiskinan absolut.
Kehadiran perusaaan disuatu wilayah diikuti dengan masuknya para pencari kerja. Bermodal tenaga para pencari kerja ini menjual jasa mereka dengan harga murah. Selain masyarakat adat buruh adalah salah satu korban yang dieksploitasi untuk kepentingan perusahaan. Perusahaan dengan sumber daya yang besar, mampu mengendalikan opini, memberikan kesadaran palsu kepada berbagai pihak, kepada pemerintah yang korup bahwa melalui CSR mereka menjadi perusahaan yang manusiawi dan menjunjung tinggi HAM dan ramah lingkungan. Padahal jelas-jelas kita semua dikelabui.
Tanah Papua (Papua dan Papua Barat) wilayah di Indonesia yang dapat jadikan rujukan hari ini untuk melihat bagaimana ratusan perusahaan dengan berbagai klasifikasi, menancapkan infestasi, mereka memiliki ciri jejak yang sama, marjinalisasi dan diskriminasi masyarakat adat, sedangkan kepada buruh tenaga dan upaya tidak diberikan secara seimbang. Buruh industri di Papua adalah budak-budak modern di abad ini. Ini adalah kolaborasi penindasan negara dan pemodal.
Referensi:
1. Fajar mukti; Tanggunjawab sosial Perusahaan di Indonesia (Studi Tentang Penerapan Ketentuan CSR pada Perusahaan Multi Nasional, Swasta Nasional, dan BUMN di Indonesia): 2013
2. Penyunting Y.L Frangky dan Selwyn Morgan: Atlas Sawit Papua ( Dibawah Kendali Penguasa Modal): 2015