Pendidikan anak-anak kampung Papua menjadi permasalahan serius dalam pembentukan generasi muda Papua ke depan. Tantangannya tentu saja menjadikan pendidikan lebih humanis (berwawasan kemanusiaan), proses belajar tanpa henti berdasar pada lingkungan sosial budaya masyarakat Papua itu sendiri. Pendidikan sudah tentu menciptakan struktur yang menyebabkan banyak anak-anak yang tidak bisa merasakan pendidikan formal, mahal, atau (mungkin) berkualitas. Banyak anak-anak di kampung bahkan di daerah-daerah urban yang tersingkir dari kemajuan kota Papua tidak mendapatkan pendidikan anak usia dini dan pendidikan dasar dengan baik.
Pengembangan komunitas-komunitas belajar alternatif yang menyatu di tengah masyarakat untuk usia dini memerlukan pendekatan kasih sayang yang menjadi pondasi untuk berdialog dengan anak-anak. Sekolah Bunga Papua di Kota Sorong, Provinsi Papua Barat yang saya temui membangun komunitas pendidikan anak usia dini sebagai pendidikan dialogis yang menyatukan manusia dengan masyarakatnya. Gerakan pendidikan ini mengembalikan nilai manusia kepada tempatnya yang utama dalam masyarakat dan dalam sekolah, meruntuhkan tembok pemisah di antara keduanya, yaitu masyarakat dan sekolah itu sendiri. Untuk itu dibutuhkan kasih sayang karena hanya kasih sayang yang dapat menjalin dialog yang sesungguhnya, dan tanpa dialog pendidikan hanya merupakan cara membuat manusia menjadi objek penguasaan.
Freire (2005) dengan tajam mengungkapkan, “Kalau saya tidak mencintai dunia, kalau saya tidak mencintai kehidupan, kalau saya tidak mencintai orang-orang, saya tidak akan berdialog.” Para bunda-bunda (guru) di Sekolah Bunga Papua ini mengembangkan pendidikan berkonteks Papua yang mengenalkan anak-anak pada kehidupan alam dan budaya Papua.
Menyemaikan Bunga Papua
Sekolah Bunga Papua adalah kumpulan mama-mama yang mendirikan “sekolah” untuk anak-anak mereka sendiri karena tidak mampu menyekoahkan di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Sekolah di PAUD sekarang sangat mahal. Sekolah Bunga Papua itu semacam gerakan yang dilakukan mama-mama di lingkungan tempat berdirinya sekola tersebut. Mama-mama tersebut kemudian “cari jalan” untuk mendatangkan guru dan bekerja sama dengan Belantara Papua untuk membuat sekolah di kampung tersebut. Proses pendidikan dilangsungkan di lingkungan alam sekitar kampung atau lokasi kompleks. Kelas-kelas dibuat dengan sesederhana mungkin, semurah mungkin, dan tujuannya agar mudah ditiru oleh mama-mama di tempat lainnya.
Materi pembelajarannya selain bermain juga mulai mengenalkan membaca dan berhitung sederhana. Model membaca untuk anak-anak yang digunakan Sekolah Bunga Papua adalah memakai model Papua punya buku pelajaran Itu Dia, sebuah buku pengenalan membaca yang ditulis pada masa zending oleh Pendeta I. S. Kijne. Selain memakai model Papua, Sekolah Bunga Papua juga menggunakan seni tari, musik, dan lagu dalam proses pembelajaran.
Sekolah Bunga Papua untuk anak-anak usia dini konsepnya kelas dibuat dekat dengan anak-anak dan komunitasnya. Jadi sekolah didirikan di kampung-kampung ataupun di kompleks-kompleks yang bersedia dan bersemangat untuk mendirikan Sekolah Bunga Papua. Kelemahanya kalau tidak ada anak-anak usia 4–6 tahun di kampung atau kompleks tersebut berarti sekolah tidak bisa dilaksanakan. Kalau dari kampung dan kompleks sangat ingin membuka sekolah, berarti harus menunggu dan megumpulkan anak-anak ada dan sekolah baru bisa dibuka.
Mama-mama yang berada di kampung atau kompleks-kompleks perkotaan, terutama di Kota Sorong, seringkali merasa minder kalau melihat PAUD atau TK dengan gedung yang megah dan anak-anak menggunakan seragam yang rapi. Mama-mama berserta bunda yang mengajar kemudian bermimpi memiliki gedung sekolah yang mewah dan seragam-seragam yang rapi. Rasa minder karena bayangan tentang gedung dan seragam yang mewah itu bisa diatasi saat pertemuan bulanan mama-mama dan para bunda saling menguatkan.
Salah satu wilayah pertama dari Sekolah Bunga Papua di Kota Sorong adalah Asrama Pensiunan (Aspen). Rumah pensiunan yang dimaksud adalah rumah para polisi yang rumah-rumahnya berjejer menjadi satu kompleks. Di lokasi itulah terdapat sisi lainnya yaitu kompleks perumahan masyarakat menengah ke bawah. Banyak anak-anak mereka yang tidak bersekolah dan berkeliaran di sekitar kompleks. Jumlah mereka tidak sedikit, yaitu hingga 40-an anak. Anak-anak inilah yang disasar oleh Sekolah Bunga Papua. Aspen menjadi salah satu wilayah di Kota Sorong yang sangat rentan terhadap perkembangan anak-anak.
Di Aspen, judi masuk ke kompleks dan mempengaruhi perkembangan anak-anak. Anak yang “sekadar” sekolah SD kelas 1 belajar angka sangat pintar tetapi tidak dengan huruf. Mereka mendapatkan pengaruh dari permainan judi di kompleks tempat mereka tinggal. Wajar saja anak-anak di kompleks Aspen hingga SD kelas 4 belum semuanya bisa membaca. Beberapa anak sudah bisa membaca tapi dengan mulut bergerak. Tidak hafal huruf. Dasar dari semua permasalahan ini adalah pada tingkat PAUD mereka tidak mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang layak untuk pengenalan dasar-dasar membaca dan berhitung.[1]
Danarti Wulandari mengungkapkan bahwa pendidikan PAUD dan Taman Kanak-Kanak (TK) adalah pelatak dasar pendidikan kepada anak-anak berikutnya. Setelah itu, dengan pondasi yang kuat, mereka akan relatif mudah mengikuti pelajaran. Logika untuk huruf dan angka diajarkan sehingga pelajaran di SD akan dengan mudah mereka cerna. Namun, kondisinya berbeda bagi anak-anak kurang mampu di kawasan Aspen. Mereka sangat susah masuk ke sekolah PAUD formal yang berada tidak jauh di lokasi mereka tinggal. Permasalahannya adalah biaya yang mahal untuk sekolah PAUD. Pada akhirnya mereka tidak mengenyam PAUD dan TK. Jumlah mereka awalnya sedikit, namun perlahan-lahan menjadi meningkat.
Anak-anak di Kota Sorong sebagian besar tidak mengenyam pendidikan PAUD dan TK. Danarti memperkirakan hampir 75% anak-anak tidak mengikuti pendidikan. Menyadari kondisi seperti itulah mereka menggerakkan Sekolah Bunga Papua sebagai tempat alternatif untuk anak-anak mendapatkan pendidikan melalui bermain. Permasalahan biaya yang menjadi alasan utama disiasati dengan menggratiskan seluruh biaya pendidikan dengan beberapa persyaratan. Salah satunya adalah peranan aktif dari orang tua di kompleks atau kampung untuk mendukung sekolah. Ini memang terlihat sepele namun sangat rumit jika sudah di lapangan. Kebanyakan para orangtua acuh tak acuh terhadap aktivitas anak, terutama menyangkut pendidikan. Para orang tua hanya peduli jika anaknya bekerja membantu orang tua dan mendapatkan uang untuk biaya makan sehari-hari. Kondisi ini memang pelik. [2]
Menanamkan Pondasi Nilai
Nilai-nilai yang selalu dikuatkan terus-menerus dalam pertemuan tersebut dan dalam berlangsungnya sekolah adalah bahwa yang jauh lebih penting dari gedung dan seragam adalah ilmu dan nilai-nilai yang ditanamkan kepada anak-anak. Justru “barang-barang” itu (gedung dan sekolah) yang buat sekolah anak-anak usia dini dan pendidikan dasar itu menjadi mahal dan terpisah dari lingkungan masyarakatnya sendiri. Sekolah harus mencerminkan lingkungannya. Nilai-nilai tersebut adalah soal berbagi, tidak menyakiti, menghormati teman. Bagian ini paling susah sekali karena anak-anak Papua banyak yang biasa bamaki (sering mengumpat dan menggunakan kata-kata kasar), berebutan, dan berkelahi. Contoh dari bunda-bunda sebagai pendidik juga sangat penting untuk berperilaku seeperti itu. Inilah yang paling sulit.
Cita-cita Sekolah Bunga Papua ke depan adalah menjadikannya sebagai program kampung. Kampung-kampung dan juga kompleks di wilayah perkotaaan sangat terbuka untuk membuka sekolah ini. Jadi nanti kampung dan ketua kompleks yang menjadi pemilik sekolah dan mama-mama yang mengelola sekolah tersebut dengan mendatangkan para bunda yang bisa dibantu oleh Belantara Papua. Itu mimpi ke depan dari Sekolah Bunga Papua agar bisa diadaptasi di kampung-kampung dan kompleks yang membutuhkan pendidikan alternatif. [3]
***
Referensi:
[1] Bahan ini disarikan dari wawancara tertulis dengan Danarti Wulandari pada 28 Maret 2016 dan 29 Maret 2016.
[2] Bagian ini saya tuliskan di Bab V “Bunga Diantara Tembiok: Sekolah Bunga Papua di Kota Sorong, Papua Barat” p. 167 – 181 dalam buku I Ngurah Suryawan, Hidup Papua Suatu Misteri. Yogyakarta: Basabasi. 2022.
[3] Bahan ini disarikan dari wawancara tertulis dengan Danarti Wulandari pada 28 Maret 2016 dan 29 Maret 2016.