Moral elit politik lokal Papua telah rusak selama 20 tahun terakhir. Hal ini sejalan dengan pemberlakuan Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) Papua, dan pemekaran wilayah di Indonesia paling timur itu.
Pertanyaan mendasar yang sangat sederhana adalah siapa yang melahirkan elit-elit politik lokal Papua yang korup dan tidak bermoral ini? Siapa pula yang hendak merusak moralitas orang Papua di mata dunia dengan sistematis, terstruktur, dan berkelanjutan pada belakangan ini? Apakah di dalam sperma laki-laki dan rahim perempuan Papua ada benih-benih korupsi, sehingga mereka melahirkan elit politik lokal Papua yang korup dan tidak bermoral? Tidak ada!
Tuhan tidak pernah salah menciptakan leluhur dan nenek moyang Papua, termasuk tidak pernah salah menitip sperma laki-laki dan kandungan perempuan Papua untuk melahirkan manusia Papua yang ideal serupa dan segambar dengan Allah.
Lalu siapa yang melahirkan elit-elit politik lokal yang sedang menanamkan benih amoralitas sekarang, yang tentunya generasi penerus pun akan mendikte jalan hidup mereka? Apakah mereka jatuh dari langit? Atau keluar dari lubang mana sehingga merusak moralitas hidup orang Papua lain?
Filsafat dan Franz Magnis Suseno
Di dalam agama dan Tuhan itu berbicara tentang moralitas manusia. Moralitas dalam sudut pandang filsafat berkaitan dengan etika. Etika ini menyangkut dengan perilaku manusia yang nampak lewat pikiran, sikap, perkataan, dan perbuatan yang baik maupun buruk.
Dari keduanya, etika selalu menitikberatkan pada perilaku manusia. Perilaku manusia dalam konteks etika dalam pandangan Pastor Franz Magnis Suseno, SJ, dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta dalam bukunya Etika Politik, Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern membagi dalam dua bagian, yaitu, etika umum dan etika khusus. Etika umum mempertanyakan prinsip-prinsip dasar yang berlaku bagi segenap tindakan manusia. Sedangkan etika khusus membahas prinsip-prinsip itu dalam hubungan dengan kewajiban manusia dalam pelbagai lingkup kehidupannya (Suseno, 2016: 8).
Dalam lingkup kehidupan, manusia diperhadapkan dengan dua etika, yaitu, etika individu dan etika sosial. Etika individu ini cakupannya sangat terbatas karena itu berhubungan dengan individu manusia yang mempertanyakan diri individu, hubungan individu dengan alam, Tuhan, wam, sue, udara, dan lainnya.
Sedangkan etika sosial punya ruang lingkup yang luas karena berhubungan dengan kehidupan sosial, dimana selalu menuntut agar manusia menentukan kehendak, pikiran, sikap, dan tindakan yang baik dan beradab sesuai dengan norma-norma sosial yang berlaku.
Etika individu memiliki relasi dengan etika sosial. Kehendak, pikiran, sikap, dan tindakan individu manusia bisa berdampak baik ataupun buruk dalam etika sosial. Sebaliknya, perilaku sosial atau dinamika sosial-situasi dan keadaan lingkungan sekitar pun bisa mempengaruhi kehendak, pikiran, sikap, dan tindakan individu yang baik ataupun buruk.
Ini merupakan semacam siklus etika yang saling bergantung, tak terpisahkan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Etika manusia ini diakibatkan oleh dua aspek. Pertama, aspek internal, dan kedua, aspek eksternal. Aspek internal berkaitan dengan individu. Sedangkan aspek eksternal berkaitan dengan pengaruh luar yang masuk dalam etika manusia.
Pengaruh etika internal sarat dengan kehendak, hawa nafsu, emosi, sentimen, ambisi, keangkuhan dan percaya diri yang berlebihan yang muncul dalam pikiran, sikap, perkataan dan perbuatan. Semisal, ambisi seseorang untuk menguasai birokrasi politik, menyelewengkan dana, dan lain sebagainnya untuk memperkaya diri, kelompok dan lainnya.
Sementara itu, pengaruh etika eksternal dipengaruhi oleh keadaan luar terhadap individu manusia. Semisal, si A dulu tidak tahu mencuri motor, uang, dan lainnya. Tetapi karena si B datang mengajak karena lapar dan untuk memenuhi kebutuhannya, maka dia berpikir untuk mencuri barang milik orang lain yang ujung-ujungnya merusak nilai moral dalam dirinya karena bertindak di luar hakikat hidupnya.
Hakekat Hidup Orang Papua
Pada dasarnya orang Papua itu sangat mulia dan bermartabat. Bahkan sangat amat bermoral sejak dalam dunia kebebasan komunal sejati. Bukan baru, puluhan dan ratusan ribu tahun yang lalu, orang Papua hidup sebagai manusia sejati (bermoral).
Hakikatnya sangat jelas. Bahwa orang Papua itu tidak tahu korupsi yang berkaitan dengan dana. Sejak jaman homo sapiens, Australo Melanosoid, dan nenek moyang mereka menetap di tanah ini pada 60.000-an tahun yang lalu, mereka tidak berurusan dengan kebijakan asing domestik dan dana yang merusak moral hidup mereka.
Mungkin dalam keseharian Anda bisa melihat, seperti dalam aktivitas perkebunan, meramu, berburu, dan nelayan, mereka dengan kewenangan tertentu akan memasuki wilayah kekuasaan orang lain, akan tetapi itu tidak akan berlebihan.
Seorang bisa membabat rumput untuk bercocok tanam hingga melewati batas wilayah milik orang lain, namun mereka tidak akan melakukan itu melebihi batas kewajarannya. Mereka lakukan seperlunya dan sepantasnya.
Barangkali itu bisa saja merupakan “korupsi” dalam bentuk dan dalam artian yang lain dan berkaitan dengan praktik korupsi tradisional. Tapi walaupun benar adanya indikasi demikian, tindak amoralitas mereka masih lunak dan etis.
Sebaliknya tindakan amoralitas yang paling nampak dalam kehidupan sehari-hari masyarakat adat sejak dahulu kala, paling kurang itu berkaitan dengan pencurian, pemerkosaan, dan pembunuhan.
Ruang lingkup amoralitas mereka berputar pada siklus itu. Sungguh pun itu ada, bahkan melebihi batas normal, pastinya tidak seberapa parah apabila dibandingkan dengan situasi amoralitas pada dewasa ini. Dimana dewasa ini menunjukkan krisis moral yang amat serius, baik dari kalangan generasi muda maupun tua. Moralitas orang Papua tak hanya makin hancur, tapi juga rusak secara sistematis.
Pengaruh Internal
Pada hakekatnya, struktur dasar kehidupan orang Papua yang paling fundamental adalah struktur budaya pragmatis. Orang Papua dulu, termasuk mereka yang berkuasa di tanah Papua dalam birokrasi dan legislatif ini berangkat dari budaya pragmatisme.
Ciri-ciri pragmatis itu antara lain bisa kita pahami dari budaya lisan. Apa-apa, atau mau bicara apa dan lainnya, orang Papua mengandalkan dunia lisan. Orangnya rata-rata emosional, reaksioner, sumbu pendek, darah tinggi dan sedikit-sedikit mau adu mulut hingga adu kekuatan fisik.
Budaya pragmatisme ini sangat berdampak besar dalam struktur sosial kehidupan orang Papua hari ini. Justru hal itu menggiring orang Papua menjadi mentalitas manusia yang mudah terprovokasi, mudah dipengaruhi dan tidak bisa menjaga eksistensinya. Ada apa-apa, orang tidak mau pikir panjang dan bakalan kritis. Yang penting jadi, asal sudah aman dan lain seterusnya.
Dalam budaya pragmatisme ini ada buah-buah roh, seperti egoisme, keangkuhan, superioritas, emosional, dan lainnya yang sangat mempengaruhi pada mentalitas, moralitas dan lainnya. Buah-buah pragmatis macam itu harus berhadapan dengan budaya dan peradaban baru.
Peradaban baru ini berkaitan dengan kehadiran misionaris dari Eropa, Australia, dan lain sebagainya. Kehadiran mereka mula-mula menekankan pada aspek pendidikan dan kesehatan kala pemerintah Belanda sibuk menjaga kekuasaan dan wilayah Papua dari ancaman Inggris, Jerman, Jepang dan lainnya.
Pada misionaris mulai menerapkan sistem pendidikan, bahkan sistem pendidikan berpola asrama dimana-mana. Pendidikan berpola asrama dan sekolah-sekolah serta pos pelayanan kesehatan menjadi program prioritas.
Pendekatan tersebut sengaja dibangun untuk menyiapkan orang Papua yang berkualitas. Terlebih agar menyiapkan orang Papua untuk menjadi manusia yang berkarakter dan berakhlak baik. Banyak sekolah elit-elit politik lokal Papua disiapkan melalui pola pendidikan semi Eropa.
Ada sistem pendidikan yang baik dan buruk juga. Sistem pendidikan yang baik menyiapkan orang Papua yang luar biasa dan sangat berkualitas. Hingga memperbaiki struktur budaya pragmatis orang Papua melalui pendidikan, baik sekolah minggu, sekolah formal dan non formal atau di asrama.
Hingga ada yang dikirim ke luar negeri dan belajar disana. Disana mereka bersaing dengan orang Belanda, Jerman dan lainnya. Kualitas mereka tidak bisa diragukan lagi. Karena misionaris maupun pemerintah Belanda di akhir kekuasaan cukup menyiapkan orang Papua.
Tetapi ada pula sistem pendidikan yang kurang efektif. Sehingga tidak mampu menata ataupun memperbaiki pola pikir dan pola hidup orang Papua yang kuat dipengaruhi oleh budaya pragmatisme. Hal itu terbawa terus hingga saat ini, baik di dalam gereja, sistem pemerintahan dan lain sebagainnya.
Sistem pendidikan semi Eropa tersebut makin hancur dengan kehadiran pemerintah Indonesia melalui pembatasan bantuan subsidi, penertiban warga Negara asing dan lainnya. Di bawa kekuasaan mereka tak hanya banyak asrama yang ditutup dan dialihfungsikan.
Akan tetapi lebih-lebih daripada itu, intervensi sistem pendidikan nasional ke dalam sistem pendidikan swasta secara sistematis merusak sistem kemandirian pendidikan swasta, baik Katolik dan Protestan. Tapi juga sekaligus melahirkan mentalitas manusia yang rapuh, hancur dan bakal tak bermoral sekali.
David Huby, Barnabas Suebu, Jhon Ibu, Mikael Kambuaya, Thomas Ondy, Heery A. Naap, Riki Ham Pagawak, Eltinus Omaleng, dan terakhir Lukas Enembe adalah deretan nama-nama elit-elit politik lokal Papua yang lahir dari budaya pragmatisme tadi.
Kemudian terproses dalam sistem pendidikan bercorak khas semi Eropa-Papua. Mereka tumbuh kembang dan terproses dalam sistem pendidikan yang dikendalikan oleh gereja (misionaris). Di dalam asrama-asrama pendidikan berpola asrama, mereka menjadi manusia-manusia yang berkarakter.
Sebelum ada Otsus Papua dan pemekaran, dimana-mana, baik di dalam keluarga, rumah adat, kompleks, kampung halaman dan gereja, mereka tampil sebagai orang-orang hebat yang berkarakter dengan wibawa yang luar biasa. Mereka sangat disegani oleh orang-orang kampung.
Mereka-mereka ini dulu tidak ada apa-apanya. Bahkan tidak tahu apa-apa tentang korupsi. Rata-rata aktif dalam kegiatan sekolah Minggu, kegiatan kerohanian dan kepemudaan. Juga hidup dalam takut akan Tuhan. Sampai takut ambil orang punya barang sembarangan.
Pengaruh Eksternal
Moral orang Papua tercemar dengan keadaan baru ketika terkontaminasi dengan dunia luar. Sejak orang luar masuk, termasuk dengan kehadiran pemerintah membawa perubahan. Perubahan itu tentu saja ada yang bersifat positif, tetapi juga kita tidak bisa pungkiri bahwa pada saat yang sama pemerintah dan pihak lain ikut membawa benih-benih amoral.
Apabila waktu mula-mula mereka tiba tidak ada, maka itu wajar saja. Sebab pada usia benih-benih itu tidak akan nampak. Kita boleh merasakannya ketika waktu menjadikan buah atau pohon amoralitas itu. Buah-buah amoralitas hari ini bukan merupakan hasil kerja keras dari realitas sosial hari ini semata. Walaupun ada satu dua perkara patut diakui disitu, akan tetapi sebagian besar dampaknya pasti merupakan akumulasi dari warisan masa lalu.
Buah-buah amoralitas itu, hari ini tumbuh kembang begitu subur dan bebas di tanah Papua. Tanah yang katanya sudah diberkati oleh Tuhan, yang kalau benar demikian tidak harus melegalkan faktor-faktornya. Misalnya, minuman keras dan Pekerja Seks Komersial (PSK). Sebut saja contoh di kota Jayapura yang katanya kota beriman atau kota Manokwari yang disebut-sebut sebagai kita Injil di tanah Papua. Kota Jayapura adalah ibu kota provinsi Papua dan Manokwari adalah pusat pemerintahan provinsi Papua Barat. Dua puluh tahun terakhir, sudah menjadi kota barometer atau teladan tak bermoral.
Dua kota ini sekarang tidak bermoral dan merusak wibawa kota dengan kebijakan elit politik lokal sendiri yang ikut-ikut pada penguasa dan pengusaha amoral, yang mana mereka tidak bisa membatasi dan menertibkannya.
Sungguh pun ada peraturan daerah, itu hanyalah omong kosong. Aturan dibuat hanya untuk mengelabui tuntutan khalayak umum. Tetapi di dalam sistem dengan pelakunya main selingkuh kiri kanan atas nama pendapatan daerah dan kepentingan tertentu. Mereka banyak melahirkan manusia-manusia yang tidak bermoral dan tidak bermartabat. Banyak anak muda hingga dewasa, moralnya hancur berantakan di kota ini. Hingga sampai kehilangan nyawa.
Satu sisi memang tidak bisa salahkan kepada siapapun. Karena mati atau hidup ada di tangan orang masing-masing. Hanya saja kalau sistem birokrasi dan kehidupan sosial yang tidak tertib, maka dibalik kematian moral pasti ada manusia tak bermoral pula. Manusia tidak bermoral tidak lahir dari surga. Tetapi dia tidak bermoral karena lahir besar dan berproses sekalipun dalam kontrol guru sebagai pengendali yang tidak bermoral. Buah tidak lari dari pohonnya. Begitupun manusia. Seperti jeruk. Jeruk yang asam tidak mungkin membuahkan jeruk yang manis. Begitupun dalam dunia amoralitas.
Anak muda hingga orang tua Papua yang tidak bermoral ini semua lahir di tangan dan kontrol manusia amoral. Sehingga di satu sisi perlu kita evaluasi diri di dalam keluarga. Tapi juga kita tidak bisa menyangkal kalau ada faktor eksternalnya.
Di kalangan anak mudah di bawah, tidak sedikit yang putus sekolah, isap ganja, konsumsi narkoba, bergaul secara bebas dan terlihat dalam seks bebas, mencuri kendaraan bermotor, dan lainnya sebagai di kedua kita ini maupun lainnya. Mereka tak hanya menjadi korban akibat tidak tersentuhnya kebijakan pemerintah, tapi juga menjadi korban akibat belum adanya fungsi kontrol dari orang tua dan pihak berwenang.
Sedangkan di kalangan elit politik lokal Papua, banyak yang terlihat dalam pesta minuman keras, seksualitas, kawin lebih dari satu orang, perjudian, korupsi, dan lain sebagainya. Moral mereka hancur. Semakin hancur setelah memasuki akhir 90an dan awal 2000-an. Ini fase pertama.
Pengaruh Kebijakan Jakarta
Berikut ini masuk pada fase kedua. Memasuki tahun 2000-an orang Papua mengalami perubahan yang sangat cepat, dan luar biasa. Terkesan buru-buru, mengikuti lompatan dan tidak mengikuti sejarah peradaban dan proses yang tepat. Kebijakan pemerintah pusat berperan penting di balik ancaman dan kehancurannya. Kebijakan pemerintah, terutama pemekaran, Undang-Undang Otsus dengan dananya serta partai politik nasional yang dibentuk, disahkan dan masih dikendalikan oleh orang pusat Jakarta yang mana diberlakukan di Papua secara maraton, dan buru-buru boleh dikatakan kebijakan tidak bermoral.
Kebijakan tersebut sangat tidak bermoral. Mungkin karena dilahirkan dari rahim pemikiran yang penuh kekhawatiran, kegelisahan, dan mungkin takut kehilangan Papua, sehingga semua proses ditempuh terlalu buru-buru dan hanya melahirkan kebijakan yang catat di tanah Papua.
Akibat dari kebijakan yang cacat beraroma politis ini hanya menciptakan panggung kehausan jabatan politik, kekuasaan dan uang bagi orang Papua. Orang Papua digiring sedemikian rupa dalam kolam “tak terkendali”.
Jakarta menjadikan orang Papua seperti ikan todi di parit-parit yang kotor di kota-kota besar yang penuh dengan cacing-cacing dan tikus-tikus semua. Hanya menciptakan sarang tikus. Setelah membuang luda dalam air, ikan todi kira itu makanan.
Mereka semua berbondong-bondong mengejar jabatan, kekuasaan, tahta politik setelah kaget melihat dana yang mengalir melalui kebijakan tersebut sangat besar. Setelah selesai studi di jenjang pendidikan tertentu, bukan lagi berpikir soal bagaimana berbisnis lebih dulu, akan tetapi mereka memikirkan soal politik praktis dulu.
Sistem birokrasi dan parpol menarik perhatian mereka untuk menjadi calon-calon pemimpin. Birokrasi dan parpol buatan Jakarta menjadi wahana untuk mereka menjadi calon-calon elit politik lokal Papua. Mereka mengikuti seluruh rangkaian proses dan disiapkan untuk menjadi pejabat, bahkan elit politik lokal Papua. Proses dalam birokrasi dan parpol tersebut menyiapkan mereka menjadi elit politik lokal Papua yang handal.
Setelah menjadi pemimpin, bukan cenderung membangun daerah setempat dengan bersih. Di mulut berkata melayani orang dengan hati, tetapi di tangan kiri mengumpulkan harta dan kekayaan amoral dimana-mana.
Dengan demikian sangatlah jelas bahwa yang melahirkan elit-elit politik lokal Papua yang korup bukan laki-laki dan perempuan tanah adat Papua. Bukan juga Tuhan dan alam semesta. Tuhan, dan orang tua dari elit lokal Papua melahirkan, mendidik dan menyiapkan mereka dengan baik. Mereka besarkan anak-anak untuk menjadi manusia bermoral di muka bumi Papua. Manusia yang suci dan tak ternoda. Sebaliknya menjadi garam dan terang di tanah leluhurnya.
Tetapi yang bikin noda, hancur dan merusak moral mereka adalah Jakarta. Jakartalah yang melahirkan dan juga menghancurkan elit-elit politik lokal ini melalui kebijakan dan parpol buatan Jakarta. Memang di dalam kebijakan dan parpol itu, orang Jakarta tidak mengajarkan untuk belajar korupsi dari dana Otsus Papua. Hal itu dilakukan oleh individu yang tidak bermoral ini. Tidak bukan tidak masuk akal kalau Jakarta menyiapkan lapangan kerja tanpa mempertimbangkan dengan baik. Misalnya, sebelum dimekarkan dan keluarkan dana Otsus Papua, terlebih dahulu menyiapkan manusia yang bermoral dan juga mendirikan lembaga setingkat KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) di Papua.
Ini sama saja nasi sudah bubur baru KPK dan orang Jakarta main cap kiri kanan terhadap orang Papua atau memberikan label buruk disana sini tak hanya kepada Lukas Enembe misalnya. Tapi juga seluruh orang Papua yang kerap dikriminalisasi dengan pasal makar, teroris.
Pertanyaannya: mengapa sebelum mengesahkan Undang-Undang Otsus Papua Jilid II tidak melakukan evaluasi dan bersih-bersih di tanah Papua. Mengapa, dalam situasi Papua tidak baik-baik begini baru mulai ganggu setelah mengesahkannya, atau setelah Jokowi mengunjungi Freeport Mc Moran belum lama ini? Ini sama saja dengan orang/bangsa ataupun lembaga legal yang tak bermoral sengaja mengganggu psikologi sosial manusia, merusak mentalitas manusia dan menciptakan elit lokal yang bermentalitas korup melalui kebijakannya, seperti Otsus Papua dan DOB.
Para elit-elit politik yang mentalitas dan moralitasnya hancur akibat kebijakan Otsus Papua dan pemekaran, bahkan dana Otsus Papua ini merupakan mengikuti faktor eksternal. Artinya, kebijakan luar yang mempengaruhi dan merusak moralitas elit politik lokal.
Calon Koruptor Baru Sesudah DOB dan Otsus Jilid II
Masih ada Lukas-Lukas lain. Potensi itu ada setelah pemerintah pusat mengesahkan provinsi Papua, Papua Pegunungan Tengah, Papua Tengah, Papua Barat dan Papua Barat Daya dan Otsus Jilid II. Megawati dan Jokowi akan menjadi rahim dari calon koruptor baru di Papua nanti. Mengapa demikian, karena kebijakan baru Presiden Joko Widodo bagi Papua yang dikeluarkan dalam kendali anak Soekarno, Presiden pertama Indonesia, yang mengesahkan Otsus Papua Jilid I hingga melahirkan elit politik lokal Papua yang korup hari ini, juga pasti akan melahirkan elit-elit politik lokal Papua yang korup dan tak bermoral pula hingga 2041.
Pada saat yang sama lebih tepat melalui pemilihan serentak 2024 nanti, tentu juga akan melahirkan elit-elit politik lokal Papua yang korup dan tidak bermoral. Setelah meninabobokan dalam sistem di awal-awal, nanti di akhirat bisa saja digiring ke dalam penjara.
Saat ini, para calon-calon koruptor elit politik lokal Papua sedang antri panjang dalam daftar hitam Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kelak pasti akan digiring habis ke dalam bui, kecuali yang bekerja jujur dan bersih menjadikan NKRI harga mati dalam jiwa dan raga. Tetapi siapa yang bekerja jujur, berpihak ke orang asli Papua, menghambat kepentingan bisnis kapitalis nasional dan global, serta berlawanan dengan negara atau sering mendukung gerakan Papua merdeka, pasti akan berurusan dengan KPK.
Lebih baik orang Papua yang merasa diri pernah menyelewengkan kewenangan dan melakukan korupsi, alangkah baiknya, dari sekarang ini siapkan diri. Siapkan mentalitas untuk berhadapan dengan hukum “pilih kasih” di peradilan Indonesia. Sebab bukan tidak mungkin, siapa saja yang berurusan dengan jaringan Enembe, Omaleng, Pagawak dan lainnya pasti akan terkena “getah hukum”.
Bangunan Rumah Tahanan Khusus di Papua
David Huby, Barnabas Suebu, Mikael Kambuaya, Thomas Ondy, Heery A. Naap, Riki Ham Pagawak, Eltinus Omaleng, dan terakhir Lukas Enembe menjadi bukti yang kuat, bahwa mereka terproses dalam kebijakan Jakarta yang melahirkan elit-elit politik lokal tak bermoral dan sekaligus merusak moral mereka. Mereka-mereka ini merupakan generasi yang lahir besar sebelum ada pemekaran dan Otsus Papua, kemudian lewat pemekaran dan Otsus Papua mengangkat mereka setinggi langit, kemudian di akhir masa jabatan mereka harus berurusan dengan penegak hukum.
Untuk ke depan, lebih baik penegak hukum, khususnya KPK membangun dan menyiapkan lembaga khusus yang mengawasi keuangan Negara dan sekaligus untuk mengistirahatkan para elit-elit politik lokal Papua yang makan untung uang Otsus Papua dan rakyat Papua. Tujuannya, agar para donatur di luar negeri, pemerintah pusat maupun orang Papua sama-sama tahu dan mencatat, seberapa banyak Jakarta melahirkan elit-elit politik lokal Papua yang korup dan merusak moralitasnya melalui pemekaran, Otsus Papua, parpol, uang dan lainnya. KPK jangan bawa keluar elit politik lokal Papua yang korup dan tidak bermoral ini di luar Papua. Adili mereka dan tahan mereka di tanah Papua di lembaga yang khusus, supaya memberikan pelajaran bagi calon-calon elit politik lokal lain yang ancang-ancang korupsi lagi.
Dari kasus Lukas Enembe ini bisa menarik benang merah, antara lain, struktur budaya pragmatisme, sistem pendidikan dalam komunitas adat dan gereja yang kurang berkualitas dan bahwa keberadaan DOB, dan Undang-Undang Otsus Papua di tanah Papua ikut berkontribusi di balik mentalitas elit politik lokal yang korup dan tidak bermoral saat ini.
Kebijakan pemerintah pusat ini membuktikan bahwa tidak bermoral, cacat moral dan hanya melahirkan manusia, khususnya elit-elit politik lokal yang tidak bermoral dan berakhlak. Pada saat yang sama, Negara melalui elit politik lokal ini menandakan bahwa berhasil melahirkan dan menyiapkan orang Papua yang tidak beradab.
Pemekaran DOB, dan Otsus Papua Jilid II sudah disahkan. Tentu saja tidak akan berubah, melainkan dalam rentan waktu 20 tahun mendatang akan melahirkan elit-elit politik lokal yang sama mentalitasnya, dan bahkan tidak bermoral akibat tindak pidana korupsi. Disitu tentu saja akan merusak nama baik Negara, merugikan khas Negara dan lebih-lebih merusak moralitas orang Papua lagi pasca Negara merusak moralitas orang Papua dengan satu label baru yaitu teroris. Sekaligus memperlihatkan secara langsung dan tidak langsung kepada para donatur Otsus di luar negeri, bahwa kebijakan tersebut hanya merusak moralitas orang Papua.
Orang Papua menginginkan Jakarta cabut UU Otsus Papua dan Otsus Jilid II. Sedangkan Jakarta terus memaksakan kehendaknya agar mengesahkan dua kebijakan kontroversial tersebut sebagai jaminan politik etis untuk memperkuat eksistensi kekuasaan dan proses eksploitasi sumber daya alam Papua.
Jakarta tidak akan mencabut Otsus dan pemekaran. Karena itu sebuah jaminan politik etis untuk memperkuat eksistensi kekuasaan di samping melakukan eksploitasi sumber daya alam. Penolakan pemekaran dan Otsus Jilid II hanya menjadi usaha sia-sia. Jakarta akan memaksakan segala kehendaknya untuk meloloskan kepentingan politik dan ekonomi di Papua setelah mengamankan dan mengendalikan PT. Freeport Mc Moran. Otsus dan pemekaran adalah jaminan mutakhir Jakarta untuk mengamankan Papua, meski orang Papua memandang 1000 kali sebagai ancaman dan bahayanya.
Bisakah Jakarta Cabut DOB dan Otsus Jilid II?
Dari dulu Otsus dan pemekaran menjadi api konflik yang paling terselubung. Ibarat api di dalam debu-debu di tungku api. Karena kebijakan ini sangat etis, ditutupi debu, orang pikir tidak ada api, sulit membayangkan kalau itu bisa membakar hutan besar dalam musim kemarau. Satu sisi akan melahirkan pelanggaran HAM yang mengikuti kekerasan dan kejahatan yang melibatkan pihak-pihak terkait selama ini yaitu TNI/Polri dan TPNPB/OPM. Tetapi di lain pihak akan membersihkan noda-noda hitam dengan kata pembangunan, kemajuan, kesejahteraan, dan lain-lain.
Pada saat yang sama, wibawa Negaranya akan hancur kalau para donatur dana Otsus mengetahui kebijakan tersebut hanya merusak moral dan melahirkan elit politik lokal yang tidak bermoral serta menghancurkan nasib dan masa depan orang pribumi dan migran Papua. Alangkah baiknya cabut saja DOB, dan UU Otsus Papua Jilid II itu. Kemudian melakukan evaluasi, duduk bersama dengan orang Papua sebagai sesama manusia dan sesama warga Negara pada satu meja setara. Tetapi Jakarta tidak akan menghendaki itu.
Disini membutuhkan jalan tengah dan ruang dialog yang netral. Jakarta maupun orang Papua harus duduk sama-sama. Jakarta mau melahirkan kebijakan apapun tidak bisa main hakim sendiri, apalagi tanpa menanyakan orang Papua yang telah dan akan merasakan dampaknya.
Kalau Indonesia adalah bangsa yang bermoral dan mengandung paham demokrasi, sekurang-kurangnya, segala kebijakan yang berhubungan dengan orang Papua harus melalui mekanisme rembuk bersama. Bukan main hakim sendiri, seperti sesuka hati, semaunya. Pendekatan macam ini bukan saja menunjukkan sebagai bangsa yang tidak beradat dan beradab, akan tetapi juga membangun ciri khas pendudukan politik, ekonomi, sosial, budaya dan lainnya, termasuk melalui kebijakan pemekaran DOB dan Otsus Jilid II Papua.
Orang Papua saat ini membutuhkan keseriusan pemerintah. Kalau pemerintah serius membangun Papua dan punya hati terhadap orang Papua, harus tunjukkan kepada orang Papua melalui segala bentuk kebijakan yang telah diambil. Bila niatnya baik, tunjukkan itu kepada dunia. Tidak perlu tempuh jalan-jalan tikus untuk menerapkan pemekaran DOB dan pemekaran DOB. Karena pendekatan non-prosedural hanya menambah luka ketidakpercayaan yang lama berbau busuk.
Saat ini orang Papua butuh ruang demokrasi serta pendekatan demokratis semacam itu misalnya, membiarkan orang Papua dan Jakarta berpikir sama-sama, dan saling menyampaikan aspirasi sebebas-bebasnya untuk menentukan nasib dan masa depannya orang Papua di dalam NKRI maupun nasib dan masa depan Indonesia di tanah Papua.
Kalau tidak, niscaya, niat bagus apapun bahkan seindah apapun, orang-orang yang tidak bermoral, melalui kebijakan seperti pemekaran dan Otsus Jilid II ini hanya menjadi rahimnya Jakarta guna melahirkan elit-elit politik lokal yang korup dan tidak bermoral lagi pada 20 tahun besok.
***
Pustaka:
Magnis-Suseno, Franz. 2016. ETIKA POLITIK. Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.