Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Kota Bali
Menentang KTT G-20 dan Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri Sebagai Solusi Demokratis Bagi Bangsa Papua Barat
G-20 atau Kelompok Dua Puluh merupakan kelompok yang terdiri dalam 19 negara dengan perekonomian besar di dunia ditambah dengan satu organisasi antarpemerintah dan supranasional yaitu Uni Eropa. Secara resmi G20 dinamakan The Group of Twenty (G20) Finance Ministers and Central Bank Governors atau Kelompok Duapuluh Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral. Kelompok ini dibentuk tahun 1999 sebagai forum antar pemerintah yang secara sistematis menghimpun kekuatan-kekuatan ekonomi maju dan berkembang untuk membahas isu-isu penting perekonomian dunia. Pertemuan perdana G20 berlangsung di Berlin, 15-16 Desember 1999 dengan tuan rumah menteri keuangan Jerman dan Kanada.
Latar belakang pembentukan forum ini berawal dari terjadinya Krisis Keuangan 1998 dan pendapat yang muncul pada forum G7 mengenai kurang efektifnya pertemuan itu bila tidak melibatkan kekuatan-kekuatan ekonomi lain agar keputusan-keputusan yang mereka buat memiliki pengaruh yang lebih besar dan mendengarkan kepentingan-kepentingan yang barangkali tidak tercakup dalam kelompok kecil itu. Kelompok ini menghimpun hampir 90% produk nasional bruto (PNB, GNP) dunia, 80% total perdagangan dunia dan dua per tiga penduduk dunia.
Sebagai forum ekonomi, G20 lebih banyak menjadi ajang konsultasi dan kerja sama hal-hal yang berkaitan dengan sistem moneter internasional. Terdapat pertemuan yang teratur untuk mengkaji, meninjau, dan mendorong diskusi di antara negara industri maju dan sedang berkembang terkemuka mengenai kebijakan-kebijakan yang mengarah pada stabilitas keuangan internasional dan mencari upaya-upaya pemecahan masalah yang tidak dapat diatasi oleh satu negara tertentu saja. G20 juga merupakan bagian dari jalannya eksploitasi, ekspansi dan ekplorasi terhadap wilayah-wilayah yang sedang berkembang dan terutama wilayah yang sedang berjuang “Hak Menentutkan Nasib sendiri” seperti di Papua Barat.
Papua Barat merupakan wilayah yang dijajah oleh Negara Belanda dan di lanjutkan oleh era-Neokolonialisme Indonesia sehingga sejak 19 Desember 1961 Tri Komando Rakyat oleh Soekarno. Trikora menjadi salah satu tujuan untuk menduduki wilayah Papua Barat secara Paksa. Pada hal, Papua Barat telah merdeka sebagai suatu manifesto kembangsaan secara de jure dan De facto dibawa kekuasaan Belanda.
Dilanjutkan 1 Mei 1963 secara legal dalam hukum internasional Papua digabungkan paksa (aneksasi) ke dalam teritori Indonesia. Setahun sebelumnya 1962 dilakukan perjanjian Internasional yaitu New York Agreement (15 Agustus) secara terbuka dan Roma Agreement secara rahasia (30 September) hal ini bertujuan untuk melegalkan kependudukan Indonesia di Papua. Semua Kebijakan tanpa mewakili satu pun rakyat Papua Barat. Implementasi selanjutnya 1967 Indonesia (Soeharto) menandatangani undang-undang penanaman modal asing (UU PMA, Januari 1967). Hal ini berpengaruh terhadap kontrak karya PT. Freeport Mc. Moran di Timika (7 April 1967). Bahkan melanjutkan British Petrolium (BP) beroperasi di hampir 80 negara di seluruh dunia.
Kemudian dilanjutkan juga dengan Perusahaan-perusahan sawit adalah wujud eksploitasi berskala besar yang terjadi di Papua Barat, perampasan lahan, intimidasi dan teror masif terhadap rakyat Papua Barat dengan kekuatan militer. Semua aktivitas eksploitasi ini memaksakan Papua harus menjadi wilayah jajahan Indonesia. Indonesia meraup keuntungan dari pajak eksploitasi sumber daya alam dan manusia di Papua. Untuk memperluas eksploitasi sumber daya PT. Aneka Tambang memaksakan pembukaan eksploitasi sumber daya alam di Blok Wabu, Intan Jaya, Pegunungan Bintang, dsb. Serta akan mencoba membangun Bandara Antara Riksa di Biak, Pabrik Semen di Wamena, dan lain-lain.
Bahkan, Konggres Tingkat Tinggi (KTT) G20 yang sedang dilakukan di Bali Indonesia dari tanggal 15-16 November 2022 memiliki hubungan dekat dengan pemekaran, pertambangan, serta pembangunan ekskala Global Warming. Keran investasi akan semakin deras menuju wilayah-wilayah baru kemudian menghadirkan lebih banyak militer. Tentunya Rakyat Papua dengan sadar menolak Otonomi Khusus (Otsus) dan pemekaran di Papua Barat, Pertama, Otsus diberikan oleh Jakarta untuk meredam gerakan rakyat Papua menuntut kemerdekaan bagi Papua Barat. Apa lagi G20 yang sedang dibahas di Bali dengan Point akan menciptakan kontribusi US$533 juta atau sekitar Rp7,4 triliun pada PDB Indonesia, Peningkatan konsumsi domestik hingga Rp1,7 triliun. Dari sisi pariwisata, proyeksi peningkatan wisatawan mancanegara hingga 1,8 juta – 3,6 juta dan juga 600 ribu – 700 ribu lapangan kerja baru ditopang kinerja bagus sektor kuliner, fashion, dan kriya. G20 di Indonesia akan melibatkan UMKM dan menyerap tenaga kerja sekitar 33.000 orang. mendorong investasi pada UMKM dalam negeri, mengingat saat ini 80% investor global berasal dari negara-negara G20. Momentum menunjukkan keberhasilan reformasi struktural, antara lain dengan UU Cipta Kerja, untuk meningkatkan kepercayaan investor global.
Berdasarkan UU Otsus Jakarta mempermudah proses pemekaran Provinsi Papua Barat, Papua, Menjadi 3 Provinsi Baru yaitu Provinsi Papua Selatan di Merauke, Provinsi Papua Tengah Nabire, Provinsi Papua Pegunungan Tengah di Wamena serta perluas Kota/Kabupaten, distrik, dan seterusnya. UU Otsus Papua juga akan berkolabaorasi dengan G20 sebagai jalanya Investasi Global.
Disisi lain juga pemekaran akan membuka penambahan markas militer (TNI/Polri) di Papua Barat. Sebab pemerintah Indonesia yang masih menggunakan pendekatan militeristik Papua Barat sampai saat ini. Sepanjang tahun 1962-2004, paling sedikit 500 ribu jiwa rakyat Papua Barat yang meninggal dalam 15 kali rentetan operasi militer dalam skala besar. Kemudian dalam 4 tahun terakhir operasi militer terjadi di beberapa daerah. 2019-2020 Operasi Militer pecah di Nduga. Selanjutnya di Puncak Jaya, Intan Jaya, Yahukimo, Kiriwok, dan di Aifat, Sorong. Operasi miilter tersebut berdampak banyak kerugian dan kehilangan bagi warga sipil: Pengungsian, Teror, Pelanggaran HAM, kehilangan rumah dan harta benda.
Pemekaran atau Daerah Operasi Baru (DOB) hanya akan menguntungkan pemodal. Sebab pemekaran berpotensi untuk menyiapkan syarat-syarat akses modal di Papua. Kekerasan militer yang terjadi dibuktikan dengan penangkapan Victor Yeimo sebagai Juru Bicara Internasional Petisi Rakyat Papua dan pembunuahan yang terstruktur . Pola ini sejak lama dipraktikan oleh penjajah Indonesia untuk meredam gerakan rakyat.
Yan Mandenas selaku DPR-RI dan kelompoknya terus menggencarkan pemekaran Provinsi agar membendung tuntutan Hak menentukan nasib sendiri. Bupati-bupati dan eksekutif yang terafiliasi dalam partai-partai nasional mendukung pemekaran, bahkan dari kelompok agama, dan memunculkan tokoh-tokoh Papua yang membawa kesadaran menjajah Papua. Kelompok ini tidak dilihat secara netral sebagai bagian dari penderitaan rakyat, justru kelompok ini memperparah penindasan masyarakat. Bahkan mereka juga adalah bagian dari meluluskan agenda G20 di Bali.
Dengan melihat ini, segalah macam kebijakan pemerintah kolonial Indonesia yang berdampak pada ancaman genosida, ekosida dan etosida secara sistematis dan terstruktur diatas tanah Papua Barat, maka, kami Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Kota Bali menyatakan sikap tegas, bahwa:
Pertama: Menentang KTT G-20 dan Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri Sebagai Solusi Demokratis Bagi Bangsa Papua Barat.
Kedua: Cabut UU Otonomi Khusus Jilid II, dalam kebijakan UU Nomor 21 Tahun 2021.
Ketiga: Hentikan Produk Hukum Pemekaran yang dipaksanakan atas nama pembangunan dan kesetaan kesejahteraan semua terhadap rakyat Papua Barat.
Keempat: Berikan akses Internasional, Jurnalis Independen untuk ke Papua Barat dan menginvestigasi segala bentuk kejahatan kemanusiaan di tanah Papua Barat.
Kelima: Cabut UU Nomor 21 Tahun 2021 Tentang Perubahan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001.
Keenam: Hentikan rencana pemekaran provinsi di tanah Papua, yang merupakan politik pendudukan dan politik pecah belah di Papua Barat;
Ketujuh: Tarik Militer Organik dan non-organic dari seluruh Tanah Papua.
Kedelapan: Elit Politik Papua stop mengatasnamakan rakyat Papua mendorong pemekaran demi memperpanjang kekuasaan dan menjadi alat penindas bagi rakyat Papua Barat.
Kesembilan: Bebaskan Victor Yeimo dan seluruh tahanan Politik di Tanah Papua tanpa syarat.
Kesepuluh: Segera hentikan rencana pembangunan bandara udara antariksa di Biak.
Kesebelas: Presiden Republik Indonesia dan Kabinetnya hentikan rancangan undang-undang pemekaran di Tanah Papua.
Kedua belas: Tutup semua perusahaan asing di seluruh Tanah Papua Barat: Freeport, LNG Tangguh, MIFEE, Blok Wabu.
Demikian pernyatan sikap ini kami buat, atas nama seluruh pejuang yang telah mati di atas tangan penjajah dan atas nama rakyat Papua Barat yang telah lama hidup dibawah rantai penindasan kolonialisme Indonesia dan kapitalisme, kami akan terus berjuang hingga terciptanya kemerdekaan sejati di atas bumi tercinta kita Papua Barat.
Medan Juang, Bali, 16 November 2022
Juru Bicara
Herry