Analisa Harian ‘Freedom West Papua’ di Riau

‘Freedom West Papua’ di Riau

-

Ditulis oleh Lovina Soenmi

Saya, Aang Ananda Suherman, dan Made Ali ada di bandara Sultan Syarif Kasim II Minggu pagi, 20 Maret 2011. Kami menanti kedatangan tamu dari Aliansi Mahasiswa Papua (AMP). Tepat pukul 09.00 dari jalur kedatangan, muncul seorang gadis bersepatu sport putih, bercelana jeans biru, berbaju putih dibalut jaket biru dongker bergaris merah kuning hijau di lengannya. Rambutnya keriting sepinggang yang dipelintir, kulitnya hitam. Ia menyandang tas ransel abu-abu serta menjinjing tas laptop ungu. Kami langsung berjabat tangan. Ia senyum. Deretan gigi putihnya kelihatan. “Heni Lani,” katanya memperkenalkan diri. Nada bicaranya tegas. “Suasana di Pekanbaru hampir sama dengan Jayapura, agak panas.” ujarnya sembari kami beranjak pergi meninggalkan bandara.

Kami bercerita sepanjang perjalanan dari bandara ke Sekretariat Bahana Mahasiswa Universitas Riau. Heni Lani berasal dari Wamena, Papua. Lani nama suku besarnya. Kini ia kuliah di Sekolah Tinggi Hukum Bandung (STHB) semester enam. Heni datang ke Pekanbaru atas nama AMP, sebuah organisasi pro kemerdekaan terdiri dari mahasiswa Papua di Pulau Jawa-Bali. Tak hanya Heni, beberapa anggota AMP hari itu serentak berkunjung ke berbagai daerah di Indonesia. Semarang, Bali, Yogyakarta, Flores, Kupang. Heni bilang, ini pengalaman pertama AMP diskusi soal Papua di luar pulau Jawa. Heni sendiri baru pertama kali ke Pekanbaru. “Tak ada teman di sini.” akunya.

Heni Lani persis empat hari di Pekanbaru. Bahana setting acara beberapa hari sebelum kedatangannya. Agenda pertama, Heni ikut evaluasi dan diskusi rutin Forum Pers Mahasiswa (Fopersma) Riau. Ini rutin kami adakan setiap kali koran masing-masing LPM terbit. Waktu itu giliran koran Bahana dievaluasi. Bahana terbitkan edisi Kajian khusus 16 halaman dengan satu tema: Kemiskinan Kota Pekanbaru.

Kini ada lima Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) jadi anggota Fopersma Riau: Visi Universitas Lancang Kuning (Unilak), Aklamasi Universitas Islam Riau (UIR), Bahana Mahasiswa Universitas Riau (UR), Gagasan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim (UIN Suska), dan Tekad Jurusan Komunikasi FISIP UR. Fopersma akan kedatangan satu anggota lagi: Aksara dari Universitas Muhammadiyah Riau (UMRI). Kamis, 24 Maret 2011 mereka launching tabloid perdana di Aula UMRI.

Setelah evaluasi koran Bahana, kami lanjut ke acara diskusi Fopersma. Aklamasi UIR jadi penanggung jawab diskusi hari itu. Ia angkat tema pemberitaan media di Riau belum berpihak pada warga. Puput Jumantirawan memandu diskusi. Ia ambil sampel kasus HTI di Kabupaten Kepulauan Meranti. Puput menyorot dua media besar di Riau—Riau Pos dan Tribun Pekanbaru—yang pemberitaannya belum berpihak pada warga.

“Koran Tribun hari Minggu (13/3) beri space besar untuk acara RAPP di Hotel Aryaduta. RAPP bicara akan lanjutkan pembangunan HTI di Pulau Padang, Meranti. Pemimpin Redaksi Tribun Pekanbaru, Dodi Sarjana yang turut jadi pembicara pada diskusi rountable RAPP itu, bahkan anjurkan RAPP sosialisasi programnya untuk warga Pulau Padang lewat jejaring sosial facebook maupun twitter,” kata Puput. Sebaliknya, Posko Perjuangan Rakyat Meranti (PPRM) yang berdiri di depan kantor DPRD Provinsi Riau beberapa kali diserang oknum, hanya kecil dimuat Tribun. “Riau Pos lebih parah lagi, tak memuat sama sekali.” kata Puput. Penyebabnya, semua peserta satu suara, karena RAPP getol beriklan di Riau Pos. Riau Pos bahkan sediakan rubrik Go Green satu halaman khusus untuk promosi RAPP.

Diskusi berjalan alot. Heni Lani tak ketinggalan. Ia turut berkomentar bagaimana media memberitakan Papua. Ia cerita ringkas soal diskriminasi yang dialami bangsa Papua. Bagaimana para aktivis pro kemerdekaan menjadi tahanan politik hanya karena aksi damai serta mengibarkan bendera Bintang Kejora. Bagaimana mereka selama dipenjara diperlakukan tidak adil dan disiksa para sipir penjara. “Tak satu pun media Indonesia yang memuat ini semua. Tapi kalau kasus pencurian kecil di Jakarta saja, semua media memuat. Ini tidak adil,” katanya. Menurut Heni, kini hanya dua media online yang dikelola bangsa asli Papua—salah satunya tabloidjubi.com—yang meliput dengan benar soal Papua.

Agenda pagi itu usai, berakhir dengan makan nasi bungkus bersama. Kesimpulannya, semua peserta sepakat, media di Riau belum berpihak pada warga kecil dan tertindas, sebagaimana disebutkan pada sembilan elemen jurnalisme poin dua: loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada masyarakat.

Lagu Freedom West Papua yang dinyanyikan George Telek diputar malam itu. Video lagu berdurasi 4 menit 8 detik ini dibikin oleh mahasiswa asli Papua di Australia. Salah satu penyanyi wanitanya adalah finalis Australian Idol. Kualitas videonya bagus, gambarnya jernih, suaranya jelas. Tarian khas Papua juga ditampilkan dalam video. Semua peserta diskusi malam itu mendengar lagu dengan seksama. Kata-kata Freedom West Papua berkali-kali dilontarkan penyanyi pria. Peserta bertepuk tangan setelah lagu berakhir.

Malam itu Bahana jadwalkan diskusi soal Papua. Ini agenda inti kedatangan Heni Lani ke Pekanbaru. Diskusi dimulai pukul 21.00, dipandu oleh Lovina. Sekitar 30 orang mengelilingi meja panjang empat segi. Ada dari Fopersma Riau, KPR PRD Riau, SRMI Riau, STR Riau, dan AKAR Riau. Brownies Alamanda asli Bandung, kopi khas Aceh, keripik ubi, jagung Australia, kacang kulit, serta kuaci tersaji di meja. Di sela-sela diskusi ada penampilan para pengamen jalanan binaan AKAR.

Heni Lani berikan pemaparan soal sejarah Papua. Salah satu sumbernya diambil dari buku Papua Barat dari Pangkuan ke Pangkuan karangan Agus A. Alua. Menurut Heni, Agus satu-satunya bangsa asli Papua yang bikin tulisan ilmiah tentang sejarah Papua. Di akhir diskusi, Heni bagi-bagi buku ini kepada peserta.

Diskusi berjalan hampir tiga jam. Heni paparkan detail dan terstruktur tentang Papua. Dimulai dari sejarah kemerdekaannya. Bahwa pada 1 Desember 1961 Papua telah merdeka. Mereka sudah punya atribut negara: nama negara Papua Barat, lagu kebangsaan Hai Tanahku Papua, bendera negara Bintang Kejora, lambang negara Burung Mambruk dengan semboyan One People One Soul.

“Kami hanya merdeka selama 18 hari. Tanggal 19 Desember 1961, Soekarno merebut kemerdekaan itu melalui Trikora yang dibacakan di Alun-alun Utara Yogyakarta. Saya kira kita semua tahu apa isinya,” kata Heni. Ia juga paparkan alasan utama Soekarno ngotot mengklaim Papua bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Beberapa alasannya: Papua Barat dianggap bagian dari kerajaan Majapahit, Soekarno ingin menghalau imperialisme barat di Asia Tenggara, dan Papua Barat diklaim bagian dari Hindia Belanda. “Padahal secara administrasi Papua Barat dengan Indonesia itu berbeda, meski sama-sama jajahan Belanda. Wilayah administrasi Indonesia ada di Batavia (Jakarta), sedangkan Papua administrasinya di Hollandia.” tegasnya.

Tak hanya itu, Heni Lani juga ceritakan alasan-alasan kuat bahwa Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 hanya akal-akalan Indonesia untuk membuat Papua menjadi bagian NKRI. Alasan pertama, penanda tanganan New York Agreement (perjanjian New York) antara Indonesia dengan Belanda pada 15 Agustus 1962 tak pernah melibatkan wakil resmi bangsa Papua Barat, padahal perjanjian itu membicarakan status tanah dan nasib bangsa Papua. Alasan kedua, Pepera hanya libatkan 1025 warga Papua dari 600 ribu warga dewasa laki-laki dan perempuan. Sementara dalam perjanjian New York disebutkan, Pepera harus dilaksanakan oleh setiap orang dewasa Papua pria dan wanita. Alasan ketiga, teror, intimidasi, dan pembunuhan dilakukan militer sebelum dan sesaat Pepera agar Indonesia bisa memenangkan Pepera secara sepihak.

Masuknya PT Freeport-McmoRan ke Papua juga menimbulkan tanda tanya besar bagi penduduk Papua. Freeport tanda tangan kontrak dengan Indonesia tahun 1967, dua tahun sebelum Pepera dilaksanakan. Artinya, pada tahun itu Papua masih wilayah sengketa, belum masuk dalam NKRI. “Di sini terjadi kejanggalan yuridis.” kata Heni.

Berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) oleh militer Indonesia kerap terjadi hingga sekarang. Ada kasus Biak (1970-1980), kasus Wamena (1977), kasus Jayapura (1970-1980), kasus Timika (1994-1995). Bahkan sejak rezim Soeharto jatuh pada Mei 1998, tindak kekerasan makin sering terjadi bagi yang melakukan kebebasan berekspresi dengan berdemonstrasi dan mengibarkan bendera Papua Barat. Korbannya penduduk asli Papua. Ini semacam genosida. “Kini penduduk asli Papua tinggal 1815 orang.” ujar Heni.

Heni juga mengkritik Undang-undang Otonomi Khusus (Otsus) Nomor 21 Tahun 2001 yang dikeluarkan pemerintah untuk kesejahteraan bangsa Papua. “Apakah Otsus berhasil? Buktinya mama-mama kami di pasar sampai sekarang masih jualan di atas lantai. Sementara pasar dibangun untuk pendatang,” kritik Heni. Menurutnya, Otsus hanya membuat bangsa asli Papua makin menderita, termarjinalisasi, didiskriminasi, miskin, terbelakang. Di sisi lain, “Eksploitasi sumber daya alam Papua terus dilakukan Indonesia melalui Freeport. Mereka terus mengeruk dan mengambil tembaga dan emas milik Papua. Awalnya berbentuk gunung, kini sudah seperti lembah.”

Karena itu, bangsa Papua tidak bisa tinggal diam. “Bagi saya, lebih baik mati dalam perjuangan daripada menerima dengan pasrah Papua terus dijajah begitu saja. Kalau berjuang, setidaknya nanti akan ada cerita yang bisa didengar oleh penerus Papua,” seru Heni. Garis perjuangan AMP kini, menurut Heni, mencapai sebuah pengakuan hak menentukan nasib sendiri atau right to self determination bagi bangsa dan rakyat Papua.

Salah seorang peserta diskusi lalu bertanya, “Mau dijadikan negara apa kalau Papua sudah merdeka?” Heni Lani menjawab tegas. ”Prinsip kami, bangsa Papua bukan hanya orang rambut keriting dan kulit hitam. Kulit putih, rambut lurus, dari suku mana saja, agama apa saja, bila hatinya sudah ke Papua, maka dia orang Papua. Kami juga banyak belajar dari sejarah negara lain, salah satunya Indonesia dengan kondisi sekarang. Karena itu, kami tidak ingin membangun negara berdasarkan agama atau aliran kepercayaan. Sederhana saja, kami hanya ingin bangun negara yang damai, sejahtera, tidak menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan masalah.”

Semua peserta mengangguk. Mereka menghargai keinginan bangsa Papua. Seiring itu, diskusi usai. Lovina menutup diskusi. Made Ali memberi cenderamata untuk Heni. Kami lalu berpose bersama. “Saya tak sangka orang-orang di luar pulau Jawa pikirannya lebih terbuka. Kalau di Jawa kami susah sekali memberikan pemahaman begini kepada mereka.” tutur Heni.

Hari-hari berikutnya kami jalani lebih santai. Selanjutnya, Bahana bawa Heni Lani ke Pustaka Soeman HS.

Wadah pujangga Riau nan ria

Zikir dan didin beriring rebana

Celempong mengalun dimana-mana

Riau nan riuh gegap gempita.

Itu salah satu bait pantun yang saya baca pada dinding sebelah kiri gedung Pustaka Soeman HS. Pustaka megah hasil rancangan Ir. Dr. Indarto, MM, MT ini dibangun tahun 2008. Ia ambil konsep arsitektur khas melayu. Atapnya berbentuk rehal (tempat meletakkan Al-Quran). Dengan atap ini, panas yang disebabkan radiasi sinar matahari dapat dikurangi seminimal mungkin. Seluruh dinding pustaka bagian luar dikelilingi relief. Di bagian depan ada relief pendidikan praktek hingga sarjana.

Tak sampai 10 menit perjalanan dari Sekretariat Bahana ke Soeman HS. Sebelum mengelilingi pustaka, kami sarapan pagi bersama di Kim Teng Lantai 1. Saya, Heni Lani, Made Ali, dan Erliana kompak pilih menu nasi ayam teriyaki, sedang Aang pesan mi goreng seafood. Minumnya ada kopi original, teh original, dan teh es. Kopi original ini kopi khas Kim Teng. Ia tersaji di gelas porselen bercorak hijau khas Cina.

Kemudian kami ajak Heni keliling pustaka Soeman HS. Lantai 1, lantai 2, lantai 3. Di lantai 1, selain Kim Teng, ada bilik Children’s Library dan ruang internet. Lantai 2 ada Bilik Sastra dan ruang-ruang bundar tertutup tempat diskusi. Yang spesial di lantai 3, ada Bilik Malayu. Letaknya sebelah kanan tangga. Kalau masuk mesti buka alas kaki. Buku-buku di bilik ini disusun berdasar urutan tahun. Ada juga rak khusus para penulis dan sastrawan melayu. “Penulis yang punya banyak karya kita kumpulkan di satu tempat khusus,” kata pengelola Bilik Melayu. Ada buku-buku UU Hamidy, Hasan Junus, Fahkrunnas MA Jabbar, Yusmar Yusuf, dan sebagainya. “Saya iri. Bangunannya megah dan buku-bukunya banyak. Tidak seperti di Jayapura,” kata Heni. Menurutnya, di Papua hanya ada Gramedia. Harga bukunya pun relatif mahal. “Jadi kalau mahasiswa mau cari buku bagus dan kritis, harus pesan dari luar.”

Dua jam kami habiskan waktu di Soeman HS. Berikutnya ke Universitas Islam Riau (UIR). Heni kunjungi Sekretariat Aklamasi sekaligus berdiskusi di sana. Bahana jadwalkan seharian itu khusus bawa Heni kunjungan sembari diskusi lebih jauh soal Papua. Usai Aklamasi, kami ke Gagasan UIN Suska, lalu ke Visi Unilak. Malamnya, makan durian di pondok durian depan Hotel Pangeran. Heni paling banyak habiskan durian. “Berapa biji ya? Saya lupa,” katanya sembari tertawa. Sekitar pukul 22.00 kami menuju Posko Perjuangan Rakyat Meranti (PPRM) depan Gedung DPRD Provinsi Riau.

Berdiskusi dengan para aktivis dan mahasiswa Meranti. Hampir sebulan mereka bertahan di posko. Mereka berjuang pertahankan tanah Meranti yang hendak direbut RAPP. Heni berbagi pengalaman mengorganisir aksi dalam membela bangsa Papua serta ceritakan kondisi umum Papua kini.

Pukul 06.00 pagi Sekretariat Bahana Mahasiswa sibuk. Ini tak biasa. Bagi kru Bahana, itu masih terlalu pagi untuk beraktifitas. Made Ali, Heni Lani, Saya, Ahlul Fadli, Erliana, Aang, Damara Siregar bergantian mandi pagi. Selesai mandi, kami tancap gas ke Siak. Sebuah kota kabupaten di Riau dengan perolehan APBD nomor dua terbesar. Butuh waktu dua sampai tiga jam perjalanan dari Pekanbaru ke Siak. Ban mobil kami sempat bocor di tengah jalan. Alhasil, kami baru tiba di Siak pukul 11.00.

Kesan pertama Heni memasuki Kabupaten Siak, “Daerahnya persis seperti Jayapura, hanya saja infrastrukturnya lebih tertata rapi. Tapi kotanya sepi ya.” Tiba di Kantor Lembaga Adat Melayu (LAM) Siak kami berhenti sejenak. Menanti kedatangan Hermawan Hariadi dari Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) Siak. Kami janji hendak ke kantor PPWI. Kami diminta tunggu di LAM, nanti akan dijemput. Tak berapa lama Hermawan datang. Kami dibawa ke kantor mungilnya. PPWI terapkan citizen journalism dalam pemberitaannya. Ia elemen ke sepuluh jurnalisme.

Kami bersantai sejenak di kantor PPWI sekaligus rumah Hermawan. Suasana tenang. Ada suguhan kopi, teh, kue bawang serta pukis. Kami nikmati sajian sembari bercanda tawa. Damara dan Aang acap kali jadi bahan candaan. Pukul 12.00 makan siang tersaji. Ada bebek gulai, tahu, timun, ikan Pantau, serta menu andalan sambal pleching khas Lombok. “Enak banget sambalnya,” komentar semua serentak. Pedasnya pas. “Kalau di Jawa makanannya manis-manis, tidak seperti di sini. Saya lebih suka makanan pedas,” kata Heni. Semua suka sambalnya. Made ambil sambal setengah porsi sehingga banyak orang tak kebagian.

Tak usai sampai situ. Setelah makan, kami diajak Hermawan dan Igun dari PPWI keliling Siak. Kami mengunjungi Makam Raja Kecik, raja pertama Siak. Makam itu baru selesai renovasi, masih sepi dan belum sempurna. Plang namanya saja belum ada.

Kru Bahana bersama Heni Lani jalan-jalan di Siak. Ke sekretariat PPWI Siak, Makam Raja Kecik, Istana Siak, dan berfoto di Jembatan Sultanah Latifah serta Jembatan Sultan Syarif Hasim.

Selanjutnya kami beranjak ke Istana Siak, istana megah zaman Sultan Siak XII. Istana terdiri dari dua lantai. Sebanyak 36 anak tangga jadi penghubung lantai satu dan dua. Hingga kini hampir semua perabot masih utuh. Seorang pengelola istana menjelaskan sejarah setiap perabot dan foto yang terpajang di istana. Kami melihat mahkota sultan, meja dan perabotan makan sultan, meriam perang, baju kebesaran dan baju perang sultan, sepatu permaisuri, dan sebagainya.

Sepengamatan saya, ada tiga tempat di mana pengunjung sering berfoto. Tempat pertama komet. Ia berisi 16 piringan hitam, bisa putar lagu-lagu klasik, dan masih berfungsi sampai kini. Komet hanya ada dua di dunia; satu di Jerman, satunya lagi di Istana Siak. Tempat kedua lemari misteri. Lemari ini berisi barang berharga sultan. Uniknya sebelum meninggal, sultan buang kuncinya ke Sungai Siak sehingga sampai kini belum ada yang tahu apa isi lemari itu. Menurut pengelola istana yang jadi pemandu kami, sudah banyak cara dicoba untuk buka lemari itu, namun belum berhasil. Pemda Siak ingin lemari bisa dibuka tanpa merusak isi dalamnya. Tempat terakhir cermin permaisuri. Konon, berfoto di cermin ini bikin awet muda.

Satu jam lebih kami keliling istana. Heni sangat serius mendengar setiap penjelasan pemandu Istana Siak. Sembari beranjak meninggalkan istana, Heni berkomentar, “Istananya bagus. Peninggalan sejarah masih terawat baik. Sedangkan di Papua, semua bukti sejarah sudah diambil Belanda.” Hermawan dan Igun bikin film kunjungan kami ke Siak. Di setiap moment, Hermawan selalu take gambar dan Igun selalu ambil foto. Mereka siap dengan handycam dan kamera.

Sebelum kembali ke Pekanbaru, kami bersantai sejenak di pinggir Sungai Siak. Lokasinya tak jauh dari Istana Siak. Tempat ini disebut wisata kuliner. Menu terkenalnya, tahu berintik; tahu goreng berisi udang atau ayam. Tentu saja bersantai sembari diskusi ringan dengan wartawan PPWI Siak. Hermawan cerita pimpinan PPWI pusat merupakan alumni Universitas Riau, orang pertama yang punya ide bentuk PPWI. “Kami masih dalam tahap merintis, jadi beritanya yang baik-baik dulu. Nanti kalau sudah kuat, baru kita bisa kritis,” kata Hermawan. Lokasi ini juga dijadikan closing shooting film kami. Heni cerita kesan seharian di Siak serta membandingkan dengan kampung halamannya, Papua.

Kesempatan berfoto di jembatan Tengku Agung Sultanah Latifah tentu tak kami lewatkan. Sultanah Latifah isteri Sultan Siak XII. Ia dikenal dengan wajahnya yang jelita. Jembatan ini bercorak kuning hijau. Di atas jembatan ada restoran. Dari restoran, kita bisa lihat kota Siak. Pengunjung harus naik lift menuju restoran. Sayang liftnya tak berfungsi.

Setelah puas foto-foto di Jembatan Sultanah Latifah, kami kejar waktu guna berfoto di Jembatan Sultan Syarif Hasim. Jembatan ini terletak di Kecamatan Tualang daerah Perawang, sekitar satu jam perjalanan dari Siak. Panjangnya 1,47 kilo meter dan diresmikan pada 7 Februari 2011. Ini jembatan terpanjang se-Riau.

Kami tiba di Pekanbaru pukul 21.00. Sebelum kembali ke Sekretariat Bahana, bersantai sejenak sembari makan jagung bakar di bawah Jembatan Leighton Rumbai, juga di pinggiran Sungai Siak. Kami kompak pesan jagung pipilan ditaburi parutan kelapa, keju, dan susu cokelat. Minum kami juga sama, air putih hangat.

Tiba terakhir Heni Lani di Pekanbaru (23/3). Kami jadwalkan agenda penutup ala Bahana; makan enak plus beli oleh-oleh. D’Cost Senapelan Plaza jadi tempat pilihan kami pagi itu. Heni pesan sup ikan tenggiri, sama dengan Aang. Saya pesan sup bakso ikan, Made pesan gurami terbang, dan Erliana pesan udang goreng seafood. Minumnya, es cendol Pak Jenggot, jus mangga, dan jus sirsak. Masih ada menu tambahan: cah kangkung, keripik cabe, serta pisang goreng. Semua kami lahap cepat. Perut pun jadi kenyang.

Selesai makan jalan-jalan ke Pasar Bawah. Lihat keramik-keramik besar asli Cina, pernak-pernik aksesoris wanita, pin, kaos, gantungan kunci khas Riau, serta aneka makanan khas Riau. Banyak pengunjung dari luar Riau beli oleh-oleh di Pasar Bawah. Selain lengkap dan bersih, juga terkenal lebih murah.

Pukul 14.30 Saya, Made Ali, Aang, dan Erliana mengantar Heni Lani ke bandara. Ia naik pesawat Lion Air pukul 16.20. Tiba di bandara kami santai sejenak di ruang tunggu. Menikmati kopi, teh es, dan kentang goreng. “Sampai sekarang saya masih tidak percaya bisa ada di belahan Barat Indonesia. Bertemu dengan kawan-kawan Bahana. Saya tidak tahu bagaimana harus berterima kasih pada Bahana.” katanya.

Heni sempat buka oleh-oleh kaos Freedom West Papua yang diberikan Agun Zulfaira, Ketua SRMI Riau. Kami pun berfoto bersama kaos itu. Sebelum naik ke pesawat, Heni ucapkan terima kasih pada Bahana. Kami jabatan tangan bergantian. Mata Heni berkaca-kaca. “Kami tunggu kedatangan berikutnya ke Pekanbaru,” kata Made Ali. “Freedom West Papua!” kalimat itu acap kami sebut setiap kali ada kesempatan foto bersama sembari kepalkan tangan ke atas.

***

Catatan: penulis adalah peneliti di Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan editor buku “Seakan Kitorang Setengah Binatang” karya Fillep Karma. Tulisan ini awalnya dimuat di blog pribadinya. Dimuat lagi disini untuk tujuan propaganda dan pendidikan.

Redaksi Lao-Lao
Teori pilihan dan editorial redaksi Lao-Lao

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Tugas Kita, Tugas ULMWP: Hentikan Penyakit Subjektivisme

Pengantar Belakangan ini, dengan semakin masifnya kebijakan kolonialisme Indonesia di...

Pernyataan Sikap Solidaritas Rakyat Papua Sorong Tolak Transmigrasi

Pernyataan Sikap  Solidaritas Rakyat Papua Sorong Tolak Transmigrasi  Pada tanggal 21 Oktober 2024 sehari setelah pelantikan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil...

Diskusi Lao-Lao TV: Menuntut Keadilan untuk Tobias Silak!

https://www.youtube.com/live/y6VC7M6fYSQ?si=L5PdR38DGGI3XUcq Tobias Silak adalah salah satu anggota Bawaslu Kabupaten Yahukimo yang ditembak mati oleh oknum Brimob yang tergabung dalam Satgas...

Diskusi Lao-Lao TV: Dari Sagu Menjadi Nasi; Pangan Dalam Perspektif Antropologi

https://youtu.be/0i_Ko-wssbI?si=BpkAkEthpT8DGbqc Dalam rangka Hari Pangan Sedunia yang jatuh pada tanggal 16 Oktober 2024, kami bikin diskusi dengan topik "Dari Sagu...

Diskusi Lao-Lao TV: Agustus Bulan Perlawanan, Bagaimana Rakyat Papua Menyikapinya?

https://www.youtube.com/live/8DkL98s9g1g?si=4oLz0OgSoajTZ52G Bulan Agustus adalah bulan perlawanan rakyat Papua. Ini ditandai dengan empat momentum penting: hari lahirnya group musik Mambesak 5...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan