Siaran Pers
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan
“Hentikan Operasi Tempur di Papua, Presiden Harus Penuhi Janji Laksanakan Dialog”
Pilihan operasi tempur adalah pilihan kebijakan yang akan terus memproduksi spiral kekerasan. Jika itu pilihan kebijakan yang akan ditempuh, maka Koalisi mendesak agar rencana itu dibatalkan.
Peristiwa gugurnya prajurit dalam sebuah operasi yang disebut oleh TNI sebagai operasi penyelamatan Pilot maskapai Susi Air yang disandera oleh Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPN OPM) tentu menyisakan duka mendalam tidak hanya bagi keluarga prajurit yang gugur dan keluarga besar TNI. Karena itu, Koalisi turut rasa duka cita sekaligus berharap tidak ada lagi nyawa anak bangsa yang gugur akibat operasi militer di Papua.
Kami memandang peristiwa baku tembak yang menewaskan prajurit kemarin harus menjadi pelajaran berharga bagi Presiden dan DPR untuk mengevaluasi pendekatan keamanan militeristik yang selama ini dijalankan di Papua. Kejadian ini bukanlah satu-satunya peristiwa. Sebelumnya Kapolri juga merilis data sebanyak 22 Prajurit TNI dan Polri telah gugur dari tahun 2022 hingga sekarang.
Selama ini, pendekatan keamanan militeristik yang terus dijalankan berdampak secara langsung dan tidak langsung terhadap terjadinya kekerasan dan pelanggaran HAM terhadap masyarakat di Papua. Beberapa kasus yang sempat mencuat ke publik, misalnya pembunuhan terhadap Pendeta Yeremia Zanambani pada tahun 2020, pembunuhan yang disertai mutilasi terhadap empat orang warga sipil Papua pada tahun 2022, penyiksaan terhadap tiga orang anak yang dituduh melakukan pencurian pada tahun 2022, dan lain-lain. Selama ini, praktik impunitas selalu menjadi persoalan yang terus terjadi dalam kekerasan yang melibatkan aparat keamanan. Penegakan hukum untuk memutus mata rantai impunitas menjadi penting untuk mencegah berulangnya kekerasan aparat keamanan terhadap masyarakat sipil di Papua.
Kami memandang evaluasi pendekatan keamanan militeristik harus dimulai segera dengan upaya penataan ulang terhadap gelar kekuatan pasukan TNI menjadi salah satu agenda penting yang harus dilakukan. Selama ini, ada indikasi terjadi peningkatan jumlah kehadiran pasukan TNI yang semakin tidak proporsional seiring dengan terus dijalankannya pemekaran struktur organik dan pengiriman pasukan TNI non organik dari luar Papua.
Berdasarkan estimasi salah satu anggota Koalisi, yaitu Imparsial, jumlah prajurit TNI di Papua baik dari unsur organik maupun non organik diperkirakan mencapai kurang lebih 16.900 prajurit, yang terdiri dari kurang lebih 13.900 prajurit TNI organik tiga matra yaitu darat, laut, dan udara dan kurang lebih 3000 prajurit TNI non organik. Pada konteks pasukan non organik, jika dilihat latar belakang satuannya, sebagian besar (jika tidak bisa dikatakan seluruhnya) yang dikirim ke Papua adalah satuan dengan kualifikasi tempur.
Dari sisi legalitas dan akuntabilitas, pelibatan TNI dalam penanganan Papua juga memiliki banyak persoalan dan dipandang tidak sejalan dengan Undang-Undang TNI. Pasal 7 Ayat (3) Undang-Undang TNI menegaskan bahwa pelaksanaan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang dilakukan oleh prajurit TNI, termasuk dalam hal ini penanganan separatisme dan perbantuan terhadap kepolisian, harus didasarkan pada Keputusan Politik Negara, atau dalam hal ini keputusan yang dikonsultasikan kepada DPR RI. Berdasarkan penelusuran Imparsial, hingga saat ini pemerintah tidak pernah mengeluarkan kebijakan tertulis terkait dengan pengerahan pasukan TNI ke Papua. Dengan demikian, dari sisi hukum, pelibatan militer tersebut dapat dikatakan ilegal.
Lebih jauh evaluasi operasi keamanan militeristik itu juga harus dibarengi dengan upaya kongkrit penghentian spiral kekerasan di Papua salah satunya melalui jalan dialog damai bermartabat.
Sudah saatnya Presiden dan DPR RI merealisasikan agenda dialog dalam penyelesaian masalah Papua dan bukan menggunakan pendekatan keamanan yang militeristik.
Penggunaan pendekatan yang eksesif dan koersif hanya akan memperpanjang daftar pelanggaran HAM.
Pemerintah sejatinya memiliki modal dan pengalaman historis untuk menyelesaikan konflik Papua dengan pendekatan damai dan bermartabat melalui jalan dialog seperti pada konflik Aceh, Poso, dan Ambon. Pengalaman penyelesaian konflik Aceh, Poso, dan Ambon semestinya menjadi pelajaran penting bagi pemerintah untuk penyelesaian konflik Papua.
Oleh karena itu Koalisi mendesak:
Pertama: Presiden dan DPR RI hentikan operasi tempur dan pendekatan militeristik lainnya untuk menangani situasi keamanan di Papua.
Kedua: Presiden dan DPR RI melakukan evaluasi terhadap seluruh kebijakan keamanan, hukum, dan pembangunan di Papua.
Ketiga: Pemerintah dan TPNPB-OPM melakukan gencatan senjata dan penghentian permusuhan segera untuk mencegah jatuhnya korban lebih jauh.
Keempat: Pemerintah dan TPNPB-OPM membuka ruang dialog yang setara dan bermartabat.
Hormat kami,
Kami yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan:
KontraS, Imparsial, LBH Pers, ICW, LBH Masyarakat, ELSAM, HRWG, PBHI Nasional, ICJR, YLBHI, LBH Jakarta, LBH Malang, WALHI, Setara Institute, Forum Defacto, AJI Jakarta, Public Virtue Institue, Centra Initiative, Amnesty International Indonesia, LBH Talenta Keadilan Papua Nabire, LBH Papua.
Narahubung:
1. Michael Himan (Papua Itu Kita)
2. Hussein Ahmad (Imparsial)
3. Julius Ibrani (PBHI Nasional)
4. M. Isnur (YLBHI)
4. Andi Muhammad Rezaldy (KontraS)
5.Teo Reffelsen (WALHI)