Ditulis oleh Tuthy Feminisosialistha
“Bumi adalah rahim yang mampu memberikan kehidupan bagi manusia”.
Perempuan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam
Perempuan dan masyarakat adat, masyarakat pedesaan, dan pesisir adalah potret perempuan dan (manusia lainnya) yang memanfaatkan alam untuk kebutuhannya dengan tidak secara berlebihan, serta selalu menjaga dan merawat alam sebagaimana alam memberi dan memenuhi kebutuhan hidup mereka. Semua itu dilakukan demi kehidupan yang berkelanjutan[1]. Perempuan-perempuan inilah yang tahu dan paham bahwa alam telah menyediakan segalanya untuk kebutuhan keberlangsungan hidup mereka dan bukan untuk memenuhi segala keinginan manusia yang serakah. Merekalah perempuan-perempuan yang hidup bersama manusia lainnya dengan pendidikan egaliter yang diajarkan alam. Hingga di beberapa budaya, simbol-simbol perempuan dilekatkan pada aktivitas alam seperti ibu pertiwi sebagai simbol alam yang dekat dengan perempuan (ibu) atau dewi kesuburan yang dipercaya dan disimboliskan kesuburan reproduksi perempuan sebagai kesuburan bagi produktivitas pertanian.
Sejarah telah membuktikan bahwa perempuan adalah pahlawan atas kemajuan dunia pertanian hingga hari ini. Data-data arkeologi dan antropologi menunjukkan bahwa manusia mulai bertani ketika mereka terdesak oleh perubahan kondisi alam yang terjadi di Sumeria dan Mesir sekitar 8000-11000 tahun yang lalu, di mana kondisi yang baru tidak lagi memberi mereka kemungkinan untuk bertahan hidup hanya dari berburu dan mengumpul bahan makanan. Dan di saat inilah, kaum perempuan muncul sebagai juru selamat. Mereka menggunakan keterampilan mereka untuk mengolah biji-bijian yang didapat dari ketersediaan di alam menjadi tanaman, untuk mendapatkan bahan makanan bagi seluruh komunitas. Bercocok tanam (hortikultura) inilah yang tadinya hanya sebagai pengisi waktu senggang perempuan pada fase nomaden, kini menjadi sumber penghidupan utama seluruh masyarakat.[2]
Hingga pada periode penghancuran bumi hari ini, perempuan dan masyarakat adat, masyarakat pedesaan, dan pesisir sangat menggantungkan hidup mereka pada segala sesuatu yang bisa mereka manfaatkan dari alam dan semua pekerjaan produktif ekonomi dan domestik mereka lakukan sesuai dengan perputaran iklim yang ada. Bertani bagi kaum laki-laki dan berkebun bagi kaum perempuan adalah potret masyarakat pedesaan, sementara melaut bagi kaum laki-laki dan mengolah serta mendagangkan hasil melaut ke pasar bagi perempuan adalah cermin masyarakat pesisir. Perempuan adat, pedesaan, dan pesisir juga mampu meramu tumbuh-tumbuhan yang terdapat di alam sebagai obat-obatan tradisional. Semua pengelolaan atas sumber daya alam oleh perempuan dan (masyarakat) ini selalu mempertimbangkan keberlanjutan bumi, agar tetap layak ditempati oleh makhluk hidup. Namun, sampai pada titik di mana alam tak lagi mampu memenuhi kebutuhan mereka, di mana bencana dan perubahan iklim yang ekstrim mulai melanda bumi akibat tangan-tangan serakah para pemilik modal.
Perubahan Iklim dan Solusi Palsu ala Kapitalisme
Perubahan iklim merupakan suatu akibat dari fenomena pemanasan global. Sementara pemanasan global sendiri merupakan suatu kejadian di mana suhu rata-rata permukaan bumi, air laut, dan atmosfer meningkat[3], yang diakibatkan oleh semakin banyaknya gas-gas rumah kaca yang memerangkap panas matahari pada lapisan atmosfer atau yang sering disebut dengan peristiwa efek rumah kaca. Efek rumah kaca sendiri sebenarnya sangat dibutuhkan untuk menjaga suhu di bumi agar tetap hangat[4], hanya saja gas-gas rumah kaca yang merupakan faktor terjadinya efek rumah kaca semakin masif dan banyak mengendap di udara akibat dari aktivitas manusia di bumi saat ini, sehingga panas matahari yang terperangkap pada lapisan atmosfer pun semakin meningkat, dan akhirnya suhu di bumi pun menjadi semakin panas.
Dan seperti telah disebutkan di atas bahwa pemanasan global diakibatkan oleh aktivitas manusia dan manusia-manusia itu adalah penggiat sistem Kapitalisme sebagai biang kerok pemanasan global dan ketidakadilan di muka bumi. Kapitalisme merupakan sebuah sistem ekonomi politik yang memberikan ruang seluas-luasnya bagi modal dalam mengakumulasi keuntungan, terutama modal-modal dalam skala besar dan masif. Dan sampai pada titik perubahan kapitalisme hari ini yang terus berdialektik seiring dengan krisis yang terus melanda akibat over produksi, yakni, neoliberalisme, di mana Negara tidak lagi memiliki kedaulatan dan kemandirian di segala bidang, baik ekonomi, politik, hukum, budaya, hingga pada hak pengelolaan atas sumber daya alam.
Emisi gas rumah kaca yang menjadi sumber dari pemanasan global adalah kontribusi dari semakin meningkatnya penggunaan energi fosil serta semakin menipisnya hutan sebagai penyerap karbon. Dalam ekonomi liberal (ala kapitalisme), tidak ada pengecualian dalam mengekspansi, mengeksploitasi, dan mengakumulasi modalnya, sementara pengendali ekonomi liberal ini adalah negara-negara anex 1 yang memiliki banyak industri-industri besar, produsen transportasi, serta pemakai listrik yang boros. Semua aktivitas ini menggunakan bahan bakar fosil yang menyumbangkan emisi gas rumah kaca sangat besar. Selain itu, negara-negara kapitalis ini juga lah yang memiliki banyak investasi skala masif di sektor pertambangan dan perkebunan—baik yang terdapat di negaranya sendiri maupun yang diekspansi ke negara-negara dunia ketiga (termasuk Indonesia)—kedua sektor ini juga merupakan sumber dari semakin maraknya degradasi hutan—baik melalui mekanisme “penebangan maupun pembakaran”. Akibatnya adalah semakin banyaknya emisi karbon yang diproduksi ke udara sementara semakin sedikit pula pohon dan tumbuhan yang bertugas menyerap karbon, akhirnya panas matahari yang masuk ke bumi kembali ke atmosfer dan terperangkap di sana, bumi pun menjadi panas.
Dampak paling nyata dari fenomena pemanasan global ini adalah terjadi perubahan cuaca ekstrim, di mana di suatu belahan dunia terjadi bencana banjir akibat curah hujan yang meningkat, sementara di belahan dunia lain terjadi bencana kekeringan akibat krisis air tanah. Apa yang terjadi dengan manusia? Banyak nyawa hilang akibat bencana, ribuan bahkan jutaan rumah yang rusak, dan tentu saja angka kematian yang meningkat drastis karena kelaparan akibat krisis pangan yang disebabkan pada penurunan produktivitas pertanian. Dan dampak lainnya yang menjadi ketakutan semua orang adalah akan mencairnya es terakhir di kutub utara[5]—yang menyimpan cadangan 70% air di muka bumi—maka kiamatlah bumi karena permukaan air laut akan meningkat dan menenggelamkan daratan bumi—terutama pulau-pulau kecil.
Fenomena pemanasan global ini juga yang kemudian mendorong berbagai pihak di berbagai belahan dunia untuk melahirkan berbagai kebijakan dan regulasi baik dalam skala global, nasional, maupun lokal. Pada lingkup global ada berbagai macam pertemuan yang dilakukan dengan latar belakang penyelamatan lingkungan hidup di antaranya Konvensi PBB mengenai perubahan iklim seperti United Nation Frame work Convention on Climate (UNFCC), KTT Bumi, National Summit, dan sebagainya. Namun, banyaknya pertemuan global yang melahirkan berbagai regulasi seputar solusi atas pemanasan global ini, belum mampu teraplikasi dengan baik dan tidak solutif tentunya. Bahkan negara-negara anex 1 seperti Amerika Serikat, China, India, Canada, Inggris, Jepang, Australia, dan Jerman yang ditetapkan sebagai negara penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar di dunia menolak menjalankan ketetapan protokol Kyoto untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, dengan mengurangi pemakaian bahan bakar fosil terutama pada sektor industri dan transportasi, serta mengurangi eksploitasi terhadap sumberdaya alam. Hal ini disebabkan oleh akumulasi kapital negara-negara ini didapatkan dari kedua sumber pemanasan global tersebut. Pada akhirnya, negara-negara penyumbang emisi terbesar ini lebih memilih untuk melakukan perdagangan karbon atau yang dikenal dengan program Reducing Emision from Deforestation and forest Degradation (REDD), salah satunya dengan pemberian insentif atau kompensasi finansial kepada negara-negara dunia ketiga yang menjalankan program REDD tersebut. REDD akan menjadi ancaman baru bagi masyarakat lokal/tempatan yang sejak berabad-abad lalu, telah menggantungkan hidup pada hutan.
Sementara program REDD ini tidak dapat menjadi solusi atas pemanasan global, berbagai aktivitas pencemaran lingkungan dan penghancuran hutan untuk perkebunan dan pertambangan oleh korporasi padat modal terus saja terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia tentunya. Data yang terhimpun menyebutkan, terdapat 165 miliar pohon yang hilang di Indonesia[6], penyebabnya didominasi oleh pembukaan kawasan hutan untuk perkebunan dan pertambangan skala besar dan masif. Penghancuran kawasan hutan ini telah terbukti memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap pelepasan emisi karbon, IPCC menyebutkan emisi karbon dari deforestasi hutan tropis pada tahun1990-an adalah 1,6 miliar ton karbon setiap tahunnya. Jika merunut pada program 1 miliar pohon tiap tahun yang dicanangkan oleh pemerintah, maka membutuhkan 165 tahun untuk mengembalikan hutan Indonesia. Sementara disisi lain, obral perizinan terhadap aktivitas alih fungsi hutan oleh korporasi perkebunan dan pertambangan skala masif terus saja mengalir baik di tingkat pemerintah pusat maupun daerah.
Perempuan Korban Utama Perubahan Iklim
Jauh sebelum adanya sistem ekonomi kapitalis, medan fenomena pemanasan global, perempuan telah memiliki peran ganda yang dibebankan padanya dalam struktur masyarakat patriarki—bekerja di ruang publik sebagai pencari nafkah tambahan untuk pemenuhan kebutuhan hidup keluarga dan juga sebagai pekerja domestik yang dari harus mengerjakan pekerjaan rumah, mengurus anak sampai melayani kebutuhan suami. Tidak hanya beban ganda yang menjadi masalah bagi peningkatan produktivitas perempuan, tapi penempatan perempuan sebagai manusia inferior berdasarkan jenis kelamin juga menyebabkan perempuan menjadi sangat rentan mengalami kekerasan dan marginalisasi (Determenisme Biologis).
Setelah menguatnya sistem kapitalisme yang mengatur kehidupan bumi, semakin menambah petaka baru bagi perempuan—terutama perempuan dengan latar belakang ekonomi lemah—lihat saja, bagaimana maraknya pertambangan, perkebunan, dan investasi skala masif lainnya di wilayah pedesaan dan pesisir yang memberikan dampak pada semakin sempitnya ruang hidup perempuan dan (masyarakat) tempatan[7]. Akibatnya semakin banyak perempuan-perempuan pedesaan yang bekerja serabutan, dan semakin meningkatkan urbanisasi. Faktanya banyak perempuan lingkar tambang yang harus mencari pekerjaan ke kota dengan menjadi PKL, buruh harian, dan lain-lain—yang pekerjaannya penuh tantangan—tiap hari harus berhadapan dengan tameng SATPOL PP atau buruh harian yang dikontrak per hari dengan upah sangat rendah, dan tentu saja tanpa ada jaminan kesehatan atau keselamatan kerja. Jika tidak ke kota, maka Tenaga Kerja Wanita (TKW) adalah jawaban atas perut anak-anak yang lapar, perempuan-perempuan “miskin” ini pun dengan ikhlas merantau ke negara lain—dengan tanpa ada jaminan keselamatan dari negara—sementara pekerjaan di luar negeri sebagai tenaga kerja ini sangat rentan dengan pemerkosaan, penganiayaan, bahkan perdagangan organ tubuh dan/atau pembunuhan. Atau mari kita tengok tragedi lainnya, di mana perempuan-perempuan miskin kota yang umumnya menggantungkan hidup dengan menjadi pedagang di pasar-pasar tradisional harus tergusur pendapatannya karena kalah bersaing dengan pertokoan, mall, dan investasi pasar skala besar lainnya.
Semua masalah ini bersumber dari penggerogotan kapitalisme terhadap sumber-sumber kehidupan rakyat, dan kemudian rakyat dididik menjadi manusia konsumtif yang tidak produktif. Selain itu, kebijakan Negara yang tunduk pada kekuasaan modal juga ikut mendorong tidak adanya political will untuk mengembangkan tenaga produktif perempuan dan rakyat guna peningkatan ekonomi real.
Menurut laporan World Disaster Report pada tahun 2011, terdapat 925 juta penduduk dunia yang menderita kelaparan dan 62% tinggal di Asia Pasifik yang menjadi pusat investasi perekonomian dunia. PBB juga mencatat di awal tahun 2012 jumlah kemiskinan meningkat menjadi 1,5 miliar orang dan 70%nya adalah perempuan, serta 3–5 ribu orang mati setiap hari akibat kelaparan. Dari itu, sebagai solusi untuk mengurangi dampak pemanasan global terhadap bumi yang harus dilakukan oleh negara adalah bersikap berani dengan membatasi pembukaan kawasan hutan untuk investasi skala besar dan masif. Yang paling mendesak juga untuk dilakukan saat ini adalah menghentikan segala bentuk aktivitas eksploitasi pertambangan dan perkebunan yang faktanya banyak merugikan dan menciptakan konflik pada masyarakat tempatan, serta berkontribusi besar terhadap kegundulan hutan dan kerusakan lingkungan. Setelah itu menasionalisasi industri di bawah kontrol rakyat dengan mencontoh pada Venezuela yang mampu meningkatkan pendapatan negara, mensejahterakan rakyat (dan perempuan) serta mengontrol kelestarian lingkungan adalah wajib dilaksanakan oleh negara. Kedaulatan politik dan kemandirian ekonomi adalah jalan menuju keselamatan Indonesia dan bumi kita.
“Bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan semua orang, tapi tidak cukup untuk satu orang serakah” (Mohandas K. Gandhi)
***
Catatan: Penulis adalah mantan Ketua Perempuan Mahardhika Komite Kota Ternate. Tulisan ini awalnya awalnya adalah materi yang dipresentasikan dalam Diskusi Terbuka “Perempuan & Perubahan Iklim” di STKIP Kieraha pada 13 Juni 2012 saat peringatan Hari Bumi 22 April 2013. Pernah diterbitkakn blog Perempuan Mahardhika pada 23 April 2013. Dipublikasikan kembali disini untuk tujuan pendidikan dan propaganda di Papua.
Referensi:
[1] Baca tulisan di: www.solidaritasperempuan.org
[2] Ariane, Zely. Antropologi Gender dan Asal-Usul Ketidaksertaraan Perempuan. Perempuan Mahardhika.
[3] Soelaiman, Ismet. Pemanasan Global dan Perubahan Iklim. WALHI Malut: Mei 2012.
[4] Laporan Pembangunan Kebun Kelapa Sawit Berbasis Gas Rumah Kaca: Tinjauan Kritis. SawitWatch, 2009.
[5] Baca tulisan di: www.rumahiklim.org
[6] Kompas, 9 Oktober 2011.
[7] Laporan Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam. WALHI, Desember 2010.