Mu Man Minggil (Jalan ke Tanah Leluhur)
Ciptaan: Willem Giryar dalam Bahasa Auyi (Arso, Keerom)
Muman mingil kai bekhel smetwat
Yus yata timtom fofuso
Nu manggi uwel nekwaukhu
Semfat yemse takhul yen
Nasa aya khwas
(Jalan ke tanah leluhurku tidak dirawat,
Sudah ditumbuhi oleh semak belukar,
Ibarat anak yatim piatu yang tidak punya mama bapa)
Lagu Mu Man Minggil (Jalan ke Tanah Leluhur) masuk dalam Volume ke-4 lagu-lagu Mambesak, kelompok musik folk legendaris di tanah Papua. Musik dari lagu ini dimainkan oleh Arnold Ap dan dinyanyikan oleh penciptanya sendiri, Willem Giryar. Lagu ini terinspirasi dari jalan yang dilalui para leluhur ke hutan Wulbuyu di Arso Barat, Keerom, yang menjadi tempat leluhur menggantungkan penghidupannya. Akibat pergolakan politik Daerah Operasi Militer (DOM) di Arso, Keerom dan peristiwa kekerasan yang mengikutinya, jalan-jalan ke hutan tersebut sudah ditutupi rumput, hutan sudah menjadi lebat, pohon dan kayu-kayu telah terbelah. Jalan menuju tanah leluhur tersebut telah ditumbuhi semak belukar dan tidak ada yang merawat dan memperhatikannya.
Kembali menapaki jalan ke tanah leluhur tersebut mungkin ungkapkan yang penad untuk menandai percakapan kita mengenai kampung-kampung Papua yang kini menjadi wilayah frontier (garis batas) pertemuan berbagai kekuatan dan kepentingan untuk bertarung mengeksploitasi apa saja sumber daya (alam) yang ada di kampung tersebut. Wilayah frontier ini tidak melulu berisi tentang pertarungan, komodifikasi, dan kisah getir perjuangan manusia bertahan hidup dan kisah sukses eksploitasi. Tapi yang jauh lebih hakiki adalah tertanamnya situasi yang “antah berantah” di kampung saat hampir seluruh struktur sosial ekonomi berubah, relasi manusia dengan alam goyah, dan yang tak kalah pentingnya adalah mulai rapuhnya sistem sosial budaya yang digerogoti oleh berbagai hal. Salah satunya adalah perubahan yang signifikan adalah berkaitan dengan hilangnya arah sumber penghidupan di masa depan. Semuanya berkaitan dengan dunia yang berubah dan pandangan kosmologi tentang alam, hutan, dan relasi-relasi sosial ekonomi dalam komunitas yang semakin pelik.
Pudarnya Daya Ubah
Salah satu permasalahan penting yang dihadapi komunitas di kampung-kampung Papua—khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam mereka—secara fundamental adalah pudar bahkan hilangnya daya transformatif di tengah situasi yang betul-betul melumpuhkan daya itu. Situasi yang melumpuhkan ini mengacu pada berbagai penetrasi sosial dan ekonomi politik yang pelan namun pasti menggerogoti hampir keseluruhan sendi kehidupan mereka. Komunitas masyarakat di kampung Papua ini menjadi kaum yang “dikalahkan” dan suaranya “dihilangkan” dalam imajinasi masa depan Papua. Komunitas-komunitas yang mendiami tanah leluhur mereka disingkirkan begitu saja baik dengan cara kekerasan—dengan kolaborasi birokrasi negara, investasi, dan aparat keamanan—maupun penyingkiran yang berlangsung sehari-hari melalui diferensiasi sosial yang terjadi di tengah komunitas yang berlapis-lapis dengan keberagaman kelas sosial.
Kompleksitas lapisan sosial masyarakat itulah yang selalu akan memunculkan “kaum tak bersuara” yang terbungkam dalam labirin struktur sosial tersebut. Atau dalam bahasa antropolog P. M. Laksono adalah komunitas yang terbius kesadaran palsu yang didefinisikan sebagai kehilangan kemampuan untuk membangun argumen alternatif dan karena itu menjadi kehilangan daya ubah sosialnya (Semedi, 2023: vii-viii). Situasi ini berlangsung melekat dalam keseharian masyarakat sehingga kesadaran kritis lenyap dalam nalar mereka.
Dalam konteks yang lebih canggih, kita sering mendengar jargon “pemberdayaan masyarakat yang partisipatif” guna menunjukkan kesan pemihakan terhadap masyarakat, padahal sebenarnya tipu. Seolah dengan kata pemberdayaan dan partisipatif kita lupa untuk pertama, memberikan perhatian yang kritis kepada sifat rezim yang berkuasa. Rezim penguasa justru malah ditempatkan sebagai mitra pembangunan. Biar pun pemerintah sering mendukung kekerasan serta pelanggaran hak asasi, para donor internasional tetap berasumsi bahwa pemerintah masih berfungsi atau dapat berfungsi demi kepentingan umum. Kedua, sedikit sekali perhatian ditujukan relasi kekuasaan terselubung di antara wali masyarakat (baca: para elit di kampung) dan masyarakat biasa yang ada di kampung. Pemberdayaan dan partisipasi singkatnya masih merupakan hubungan kekuasaan. Ketiga, adalah mengesampingkan faktor-faktor struktural yang menjadi sumber kesenjangan dan lebih terfokus pada ranah lokal, tempat masyarakat yang sudah dibina diharapkan mampu memperbaiki keadaan hidup dengan upaya mereka sendiri (Li, 2012: 485-486).
Akar dan Konteks
Setidaknya ada tiga pertanyaan penting yang tertinggal jika kita membincangkan pengelolaan alternatif yang dilakukan komunitas lokal dalam pengelolaan sumber daya alamnya. Pertama, bagaimana situasi sosial budaya dan ekonomi politik komunitas dalam rentang panjang sejarah dan perubahanan yang terjadi? Hal ini berkaitan dengan fragmen-fragmen situasi dan dinamika yang menghubungkan komunitas lokal dengan sejarah, pengalaman, memori, dan totalitas pengetahuan yang terbentuk pada suatu masa namun kemudian dipertentangkan pada masa lainnya. Sejatinya, inilah yang menandai rentang panjang pergulatan interaksi manusia dengan alam yang selalu mengalami ketegangan dari menjaga dan “memurnikan” alam dengan mengeksploitasi secara membabi buta untuk dijadikan modal penghidupan manusia. Sejarah penghidupan manusia sebagai bagian interaksinya dengan alam selalu diakhiri dengan sebuah pernyataan: apa hasrat yang melatarbelakangi eksploitasi tersebut?
Pertanyaan kedua berkaitan dengan apakah ada alternatif penghidupan masyarakat di kampung di tengah berbagai kepungan kuasa homogenisasi pangan: beras? Bagaimana mengupayakan pangan alternatif di tengah struktur sosial ekonomi yang sudah mulai ketergantungan terhadap beras. Bantuan Beras Miskin (Raskin) yang terkenal dan secara perlahan menyingkirkan kekayaan pangan lokal Papua mungkin bisa dikambinghitamkan secara kuasa struktural matinya keberagaman pangan lokal Papua. Meski bukan spesifik kasus Papua, program Raskin ini di mulai di seluruh Indonesia dari tahun 1998 dengan nama Operasi Pasar Khusus (OPK), kemudian berubah menjadi Raskin pada tahun 2002. Meski tampaknya bertujuan baik, program ini memiliki dampak yang negatif di tanah Papua karena pertama, beras adalah makanan yang diperkenalkan dari luar dan tidak ditanam oleh sebagian besar orang Papua sehingga pemberian raskin dianggap tidak sensitif terhadap budaya Papua. Kedua, kualitas beras yang dikirim dan diberikan ke orang Papua sangat buruk sehingga kebanyakan beras hanya dibuang atau diberikan ke ternak babi (Kusumaryati, 2020).
Pertanyaan ketiga, yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana nasib ke depan komunitas di kampung dan institusinya di tengah situasi yang melumpuhkan tersebut? Jauh sebelumnya Afiff (2007: vi-vii; Ostrom, 1990) telah menunjukkan bahwa penguatan komunitas salah satunya berdasar pada institusi yang kuat di kampung. Institusi dimaknai jauh melampaui hanya sekadar sebagai organisasi atau lembaga. Institusi jauh lebih kompleks sebagai sebuah seperangkat aturan baik formal maupun informal yang digunakan dan dipraktekkan (rule in use) oleh masyarakat di suatu tempat yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan alam (hutan). Institusi juga bisa diartikan sebagai rule of the game (aturan main). Dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam, aturan-aturan ini yang mengatur siapa yang berhak membuat keputusan tentang pemanfaatan dan pengelolaan, apa saja aktivitas yang diperbolehkan dan tidak boleh dilakukan, atau mana saja yang akan digunakan, dan bagaimana seseorang dapat memperoleh akses terhadap sumber daya tertentu. Aturan-aturan ini dapat bersumber dari praktik-praktik sehari-hari yang digunakan dan dipahami oleh masyarakat setempat.
Refleksi
Menapaki jalan ke tanah leluhur orang Papua kini semakin terjal. Jika Willem Giryar menuliskan pada tahun 1980-an saja hutan dan tempat-tempat penghidupan para leluhur sudah dipenuhi semak belukar dan tidak ada yang memperhatikannya, puluhan tahun kemudian situasinya jelas semakin berubah. Tidak hanya hutan semakin lebat tidak terurus, tapi mungkin kini sudah berubah menjadi hamparan perkebunan kelapa sawit, pertambangan minyak, atau batubara. Jalan-jalan ke tanah leluhur sekarang sudah berubah. Mungkin juga para leluhur bingung melihat perubahan tempat penghidupan mereka. Ingatan dan pengetahuan masyarakat tentang hutan dan jalan menuju tanah leluhur perlahan digantikan perjuangan melanjutkan kehidupan menjadi buruh sawit dan mengais remah-remah sirkuit kapital yang dihadirkan oleh wajah culas rerusahaan di kampung mereka.
***
Catatan: Esai ini adalah bagian kecil dari catatan dalam Percakapan dari Kampung yang merupakan rangkaian acara Dialog Kebudayaan: Tanah, Hutan Adat, dan Kehidupan Masyarakat Adat, dilaksanakan oleh Yayasan Pusaka Bentala Rakyat di Jakarta, 20 September 2023. Diterbitkan kembali disini untuk tujuan pendidikan dan propaganda di Papua.
Daftar Pustaka
Afiff, Suraya 2001. “Pengantar” dalam Suraya Afiff dan R. Yando Zakaria (ed), Hutan dan Manusia: Mendorong Pengelolaan utan oleh Rakyat, Yogyakarta: Karsa bekerjasama SGP PTF UNDP-EC-SAMEO SEARCA.
Kusumaryati, Veronika. 2019. “Perubahan Sosial di Pedesaan di Tanah Papua”, Indoprogress, 11 Februari 2020: https://indoprogress.com/2020/02/perubahan-sosial-di-pedesaan-di-tanah-papua/
Li, Tania Murray. 2012. The Will to Improve, Perencanaan, Kekuasaan, dan Pembangunan di Indonesia (terjemahan Hery Santoso dan Pudjo Semedi), Jakarta: Marjin Kiri.
Semedi, Pujo. 2023. “Kata Pengantar Ketua Departemen” dalam Heddy Shri Ahimsa-Putra (ed), Benih-Benih Antropologi: Bunga Rampai Tulisan untuk P.M. Laksono. Yogyakarta: Kepel Press.
Ostrom, Elinor. 1990. Governing the Commons: The Evolutio of Institutions for Collective Action. Cambridge: Cambridge University Press.