Press Release LBH Papua: TNI-Polri dan TPN-PB Wajib Terapkan Prinsip Konvensi...

LBH Papua: TNI-Polri dan TPN-PB Wajib Terapkan Prinsip Konvensi Jenewa 1949

-

Siaran Pers

TNI-Polri dan TPN-PB Wajib Menerapkan Konvensi Jenewa IV Tahun 1949 Tentang Perlindungan Rakyat Sipil Dalam Masa Perang di Kabupaten Paniai

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republi Indonesia (Komas HAM RI) wajib memastikan perlindungan rakyat sipil dalam masa perang dan Palang Merah Indonesia (PMI) segera penuhi kebutuan pokok pengungsi akibat konflik bersenjata di Kabupaten Paniai.

Akibat konflik bersenjata antara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB) dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) bersama Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) yang berlangsung selama beberapa bulan terakhir di Kabupaten Paniai telah melahirkan korban pada berbagai pihak. Salah satu pihak yang menjadi korban harta, benda, dan jiwa raga dalam konflik bersenjata itu adalah masyarakat sipil yang berada di wilayah Kabupaten Paniai. Mengingat adanya korban pada masyarakat sipil di atas secara langsung mempertanyakan implementasi kebijakan Konvensi Jenewa IV Tahun 1949 tentang perlindungan rakyat sipil dalam masa perang di Kabupaten Paniai.

Pada prinsipnya pertanyaan itu didasarkan atas adanya kebijakan “Ikut sertanya Negara Republik Indonesia dalam seluruh Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949 yang salinannya dilampirkan pada undang-undang ini disetujui” sebagaimana diatur pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 59 Tahun 1958 tentang Usul Undang-Undang Tentang Ikut Serta Negara Republik Indonesia Dalam Seluruh Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949, dimana pada bagian penjelasan dengan tegas menyatakan bahwa “Dalam tahun 1949 di Jenewa telah diadakan konferensi diplomatik oleh beberapa negara yang menghasilkan penetapan 4 buah perjanjian (konvensi) yaitu: 1) tentang perbaikan nasib anggota-anggota yang luka dan sakit dalam angkatan perang di darat; 2) tentang perbaikan nasib anggota-anggota yang luka, sakit, dan korban-korban karam dari angkatan perang di laut; 3) tentang perlakuan tawanan perang; 4) tentang perlindungan rakyat sipil dalam masa perang. Pemerintah Republik Indonesia dengan perantaraan Menteri Luar Negeri dengan suratnya tanggal 5 Februari 1951 No. 10341 telah menyatakan kesediaan Negara Republik Indonesia menjadi peserta konvensi-konvensi tersebut (baca: penjelasan Undang-Undang Nomor 59 Tahun 1958 tentang Usul Undang-Undang Ikut Serta Negara Republik Indonesia dalam seluruh Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949).

Berdasarkan pada pernyataan kesediaan Negara Republik Indonesia menjadi peserta konvensi-konvensi tersebut, maka secara otomatis ketentuan terkait Konvensi Jenewa IV Tahun 1949 tentang Perlindungan Rakyat Sipil Dalam Masa Perang wajib diberlakukan dalam semua konflik bersenjata, termasuk dalam konflik bersenjata antara TPN-PB dengan TNI-Polri di Kabupaten Paniai.

Dengan adanya masyarakat sipil yang menjadi korban jiwa maupun harta benda serta adanya sebanyak kurang lebih 900-an orang yang mengungsi di kompleks gereja yang berhadapan dengan Kantor Bupati Kabupaten Paniai itu membuktikan bahwa ketentuan terkait “orang-orang yang dilindungi dalam segala keadaan berhak akan penghormatan atas diri pribadi, kehormatan hak-hak kekeluargaan, keyakinan, dan praktek keagamaan serta adat istiadat dan kebiasaan mereka. Mereka harus selalu diperlakukan dengan perikemanusiaan dan harus dilindungi terhadap segala tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan, penghinaan, dan tidak boleh dijadikan objek tontonan umum” sebagaimana diatur pada Pasal 27 Konvensi Jenewa IV Tahun 1949 tentang perlindungan rakyat sipil dalam masa perang tidak terimplementasikan secara maksimal dalam akibat konflik bersenjata antara TPN-PB OPM dengan TNI-Polri di Kabupaten Paniai.

Berdasarkan pada fakta itu, sehingga Komnas HAM Republik Indonesia yang dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan sebagaimana diatur pada Pasal 75 huruf b, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sehingga sudah sepantasnya Komnas HAM Republik Indonesia memastikan apakah ketentuan “orang-orang yang dilindungi dalam segala keadaan berhak akan penghormatan atas diri pribadi, kehormatan hak-hak kekeluargaan, keyakinan, dan praktek keagamaan serta adat-istiadat dan kebiasaan mereka. Mereka harus selalu diperlakukan dengan perikemanusiaan dan harus dilindungi terhadap segala tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan, penghinaan, dan tidak boleh dijadikan objek tontonan umum” sebagaimana diatur pada Pasal 27 Konvensi Jenewa IV Tahun 1949 tentang perlindungan rakyat sipil dalam masa perang telah terimplementasi secara maksimal dalam konflik bersenjata antara TPN-PB OPM dengan TNI-Polri di Kabupaten Paniai ataukah tidak agar menghindari terjadinya korban jiwa maupun harta benda serta pengungsi yang berkepanjangan di Kabupaten Paniai akibat konflik bersenjata yang terjadi.

Selain itu, mengingat adanya 900-an orang yang mengungsi di kompleks gereja yang berhadapan dengan Kantor Bupati Kabupaten Paniai sehingga Palang Merah Indonesia (PMI) yang memiliki tugas untuk memberikan bantuan kepada korban konflik bersenjata, kerusuhan, dan gangguan keamanan lainnya sebagaimana pada Pasal 22 huruf a, Undang Undang Nomor 1 Tahun 2018 tentang Kepalang Merahan wajib diterjunkan ke Kabupaten Paniai.

Berdasarkan uraian di atas, maka dalam rangka terpenuhinya hak asasi manusia bagi masyarakat sipil di tengah daerah konflik bersenjata di Kabupaten Paniai, maka kami Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua menggunakan kewenangan yang diberikan sesuai ketentuan “Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya berhak berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia” sebagaimana diatur pada Pasal 100, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan kepada:

Pertama: Pimpinan TNI-Polri dan Pimpinan TPN-PB wajib menerapkan Prinsip-Prinsip Konvensi Jenewa IV Tahun 1949 tentang Perlindungan Rakyat Sipil Dalam Masa Perang demi melindungi masyarakat sipil di Kabupaten Paniai;

Kedua: Ketua Komnas HAM RI dan Ketua Komnas HAM RI Perwakilan Papua segera membentuk Tim Invetigasi untuk memastikan implementasi Pasal 27, Konvensi Jenewa IV Tahun 1949 tentang Perlindungan Rakyat Sipil Dalam Masa Perang dan melakukan investigasi atas kasus penembakan masyarakat sipil di Kabupaten Paniai;

Ketiga: Palang Merah Indonesia (PMI) menjalankan pemenuhan kebutuan pokok bagi para pengungsi akibat konflik bersenjata sesuai perintah Pasal 22 huruf a, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2018; dan

Keempat: Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi Papua Tengah, dan Pemerintah Kabupaten Paniai segera membentuk posko pengungsian dan memenuhi kebutuan pokok para pengungsi selama konflik bersenjata berlangsung sesuai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2018.

Demikian siaran pers ini dibuat, semoga dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. Atas perhatiannya disampaikan terima kasih.

Jayapura, 19 Juni 2024

Hormat Kami

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua

Emanuel Gobay, S.H., MH.

Redaksi Lao-Lao
Teori pilihan dan editorial redaksi Lao-Lao

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Pernyataan Sikap Atas Serangan Brutal Wene Kilungga Anggota KNPB Pusat

Pernyataan Sikap Ini adalah pernyataan sikap 15 korban dan gerakan...

Hidup dalam Reruntuhan: Ekstraktivisme Agraria di Keerom Papua

Keerom, salah satu kabupaten di Papua yang berbatasan langsung dengan Papua Nugini, memendam sejarah panjang yang saling terkait, mulai...

Diskusi Lao-Lao TV: Internally Displacedpersons, Narasi Perempuan dan Hutan

https://www.youtube.com/watch?v=gtumXDTsjX0 Beberapa tahun terakhir Papua bergejolak. Konflik antara TPN-PB melawan TNI dan Polri semakin memanas. Perang kemerdekaan TPN-PB sudah semakin...

Diskusi Lao-Lao TV: Menolak Perusahan Tebu dan Bioetanol di Kimahima dan Maklew Merauke

https://www.youtube.com/watch?v=oPlpwLYvuZs&t=5105s Pada Kamis, 13 Juni 2024 masyarakat adat suku Kimahima di Distrik Kimaam dan suku Maklew dari Distrik Ilwayap, Merauke...

Upaya Suku Awyu dan Moi Melawan Perusahaan Sawit

Ditulis oleh Renie Aryandani dan Rio Kogoya Suku Awyu merupakan masyarakat adat dari Boven Digoel, Papua Selatan. Sementara suku Moi...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan