Pilihan Redaksi Masyarakat Adat dan Marxisme: Kritik Terhadap Lembaga Adat Kolonial...

Masyarakat Adat dan Marxisme: Kritik Terhadap Lembaga Adat Kolonial di Papua

-

Masyarakat Adat dan Marxisme

Perjuangan masyarakat adat dan Marxisme adalah dua hal yang masih terus diperdebatkan hingga sekarang. Terutama menyangkut substansi kedua pemikiran yang dianggap tidak sejalan.

Pengkritik utama Marxisme adalah aktivis dan intelektual masyarakat adat dari Amerika dan Kanada. Mereka menganggap Marxisme sangat Europasentris. Pandangan dan analisanya menyamaratakan kondisi seluruh dunia tanpa memahami kondisi riil masyarakat di luar Eropa. Marxisme dinilai hanya tepat bagi kelas pekerja, masyarakat perkotaan, masyarakat yang sudah bergeser jauh dari identitas asal mereka oleh industrialisasi ketimbang masyarakat adat yang masih mempertahankan sistem nilai, sistem sosial, dan budaya sampai saat ini. Maksud utama mereka Marxisme hanya cocok bagi masyarakat Eropa dan perkembangannya.

Aktivis dan penulis Ward Churchill dan Dora-Lee Larson dalam buku Marxisme and Native Americans mengatakan Marx-Engels dan generasi Marxis berikut telah keliru percaya bahwa semua orang dan budaya. Mau tidak mau harus mengalami perkembangan kapitalis tanpa terkecuali masyarakat adat. Artinya Marxisme tidak mengakui eksistensi perjuangan masyarakat adat sampai hari ini, pikir mereka.

Mereka mengkritik keras pengunaan kata “primitif” dalam perkembangan masyarakat oleh Karl Marx yang dinilai merendahkan martabat masyarakat adat. Walau sebenarnya penggunaan kata primitif sendiri bermakna sebaliknya dan telah diterjemahkan dari tulisan awal berbahasa Jerman asli Urkommunismus atau komunisme pertama atau asli atau Urkommunismus dalam bahasa Inggris menjadi primeval communism atau komunisme purba. Dimana lebih menekankan perkembangan masyarakat pertama yang lebih sosialis dan egaliter bahkan dari kehidupan sosialisme modern. Dengan kata lain masyarakat adat adalah komunisme awal yang memiliki kehidupan komunis ideal dalam pandangan Karl Marx. Artinya Marx memuji kondisi masyarakat tersebut dalam kehidupan komunisme primitif bukan sebaliknya merendahkan. Tetapi musuh-musuh Marxisme mengatakan seolah-olah pemikiran Marx dan masyarakat adat berbeda secara subtansial.

Sedangkan sebagian kaum Marxis berangggapan bahwa revolusi kapitalisme terjadi setelah perubahan pada kehidupan komunitas masyarakat adat atau dengan kata lain masyarakat adat ditakdirkan untuk berubah dari kondisi aslinya. Masyarakat adat juga dikiritik karena indikasi kepemilikan pribadi dan berpotensi menindas kelas miskin lainnya. Dalam konteks ini Marxisme lebih menekankan perjuangan kelas tertindas di masyarakat ketimbang perjuangan entitas atau golongan yang dinilai sebagai borjuis kecil karena menyangkut dengan kepemilikian pribadi dan pengelolaan selama ini. Karenanya masyarakat adat diangap bukan sebagai kelas revolusioner. Faktor-faktor lainnya adalah perjuangan masyarakat adat yang bersifat lokalitas berbanding terbalik dengan Marxis yang memiliki semangat internasionale.

Argumentasi kedua belah pihak menjadi sangat berbahaya ketika terus membenarkan diri tanpa melihat penindasan yang telah jauh mengeksploitasi dan memporak dan porak-porandakan kehidupan manusia dan alam. Wawancara oleh Profesor Ilmu Politik di York University of Toronto, Kanada, Marcello Musto di Harian IndoPROGESS Pekerja Adat dan Pembahuruan Kiri: Percakapan dengan Alvaro Garcia Linera mempertegas kekeliruan masing-masing terutama oleh sebagian masyarakat adat dan kaum marxis itu sendiri. Alvaro Garcia Linera, sendiri adalah aktivis, penulis, dan akademisi bergelar Profesor dalam bidang Teori Sosiologi di York University of Toronto. 

Marcello mengawalinya dengan menjelaskan kondisi Amerika Latin yang mana organisasi-organisasi komunisnya tidak mampu melihat kelas-kelas populer dan berbicara kepada mereka, bahkan di Bolivia dikatakan ketergantungan terhadap Marxisme-Leninisme menghalangi mereka untuk mengenali kekhasan masyarakat adat dan menempatkannya di pusat kegiatan politik mereka. Sebagai seorang marxis dan aktivis masyarakat adat, Alvaro Garcia Linera tidak kesulitan membenarkan pandangan sebagai seorang Marxis sekaligus menyindir sebagian Marxis yang dinilai berpandangan tradisional karena hanya menyibukan diri dengan pekerja industri skala besar tanpa memperhatikan etnis mereka. Walaupun pengorganisiran pekerja tepat baginya, tetapi mereka hanya kelompok minoritas dibandingkan para pekerja lokal yang bahkan lebih terdampak eksploitasi dan diskriminasi di Bolivia. Pekerja lokal, kelompok populer yang dia maksudkan tentu saja adalah masyarakat adat yang mulai bergeser pola hidupnya.

Kaum Marxis di luar Eropa masih menyibukan diri dengan kelas-kelas proletariat yang dalam kaca mata mereka hanya kaum buruh, petani kecil, dan kaum urban miskin tanpa menyadari entitas lain. Dalam pandangan Marxis awal, buruh masih dianggap sebagai kelas paling revolusioner. Tanpa melihat perubahan dan kondisi riil di sekitar, menyangkut mayoritas kelompok masyarakat yang tidak kalah tertindas dan memiliki potensi menjadi bagian dari kelas revolusioner yaitu masyarakat adat. Lebih lagi karena jumlah masyarakat adat mayoritas di luar Eropa terutama Amerika Latin, Asia, Afrika hingga Pasifik.

Masyarakat adat harusnya diperhitungan jika melihat bagaimana penindasan imperialisme sejak abad 15-16 Masehi yang di jajah, di usir dari wilayah kehidupan mereka, dipaksa bekerja pada industri-industri kolonial, bahkan terjadi pemusnaan sistematis (genocide) atas mereka. Namun secara mengejutkan eksistensi dan perjuangan untuk pengakuan hak-hak mereka yang masih terus bergulir sampai hari ini.

Masyarakat Adat dan Lembaga Adat Buatan Kolonial di Papua

Berbeda dengan Amerika Latin yang Marxisme subur karena digerakan secara revolusioner oleh partai-partai revolusiner pada basis-basis utama seperti buruh, masyarakat adat, dan kaum miskin lainnya. Sekalipun masih terus diperdebatan Marxisme telah maju pada rana sangat startegis dan ideologis. Kita bisa mengukur bagaimana perdebatan pemikiran-pemikiran aktivis dan kaum intelektualnya yang secara subtansi memiliki tujuan menggerakan basis-basis masa populer disana. Sedang Papua dapat dibaca pada tulisan saya di Harian Lao-Lao, May Day Aneksasi dan Sosialisme di Papua.  Dalam tulisan ini saya berpendapat bahwa Marxisme tidak berkembang di Papua karena: menyangkut faktor sejarah, dan minimnya literasi serta ekslusifitas Marxisme dan sosialisme di kalangan tertentu, dan terakhir kontra revolusioner terjadi di aktivis dan intelektual golongan tertentu. Ketiadaan partai-partai revolusioner Marxis pada basis-basis masyarakat adat menjadikan masyarakat adat bergantung kepada lembaga-lembaga adat yang secara historis didesain oleh kolonial dan kapitalis seperti Dewan Adat Papua (DAP), Lembaga Masyarakat Adat (LMA), dan lain-lain.

Dalam buku Wacana Kumpulan Esai yang diterbitkan Insist Press, Veronika Kusumaryati, Antropolog dan Peneliti dari Havard University di Amerika Serikat menulis, Pelembagaan adat, Negara, dan perjuangan bagi penentuan nasib sendiri di Papua”. Mengatakan bahwa tidak ada pelembagaan adat di Papua hingga berakhirnya perang dunia ke II, hal ini disebabkan oleh tiga hal: pertama, karena minimnya pengetahuan antropologi akan Papua, kedua, tidak berlakunya pengetahuan kolonial dari wilayah lain Hindia Belanda (Indonesia), ketiga, penguasaan administrasi pemerintah Belanda yang terbatas. Barulah pada 1948 Belanda membentuk kelembagaan adat di Biak diberinama Kain-Kain Karkara Biak, selanjut Lembaga serupanya juga dibentuk di daerah lain di Jayapura, Fak-Fak, dan Merauke, dengan dalil sebagai badan penasehat pemerintah Belanda sekaligus mempersiapkan kemerdekaan Papua melalui badan-badan adat ini yang di persiapkan tahun 1975. Setelah penyerahan Admnsitrasi Pemerintahan UNTEA kepada Indonesia pada 1 Mei 1963, Soekarno menggagas pertemuan Dewan Musyawarah Pepera (DMP) yang dipersiapkan untuk menjadi Delegasi Pepera 1969 yang nota bene dewan ini berbeda dengan buatan Belanda. Dan menurut Veronika pada sekitar 1971 istilah “adat” menjadi popular di Papua karena merujuk pada para pimpinan lokal yang terlibat DMP. Dari DMP kemudian berkembang oleh berbagai motivasi maka pada 1982 dibentuklah Lembaga Musyawarah Adat Irian Jaya (LMA).

Saya boleh menyebutkan kelembagaan-kelembagaan adat di Tanah Papua bersifat politis atau dibentuk untuk memfasilitasi kepentingan politik tertentu karena basis asli masyarakat adat Papua ada pada setiap suku, sub suku, dan marga (keret) yang terpisah satu dengan lainya. Dan telah hidup dalam sistem tradisional selama ratusan hingga ribuan tahun, misalnya sistem kepimpinannya seperti Antropolog Papua, J. Mansoben mengemukakan empat sistem kepemimpinan, pertama Ondoafi/Ondofolo, Big Man, Kepala Suku, dan Campuran. Keempat kepemimpinan ini memiliki karakteristiknya masing-masing. Artinya tidak membutuhkan kelembagaan adat yang sejak awal dibentuk oleh kolonial bermuatan politis untuk menunjukan eksistensi mereka. Karena yang mereka butuhkan adalah bertahan dari gempuran kapitalis yang hadir dalam wujud prodak hukum dan perusahaan-perusahaan yang menguasai wilayah adat mereka.

Karena faktanya tiap kelembagaan masyarakat adat Papua muda dihancurkan dan tidak menjawab persoalan mendasar. Dapat kita lihat di era Otonomi Khusus Papua (Otsus) bagaimana Dewan Adat Papua (DAP) terpecah-belah dan tidak mampu mengakomodir setiap komonitas suku dan keret di dalamnya, walaupun diisi oleh intelektual dan aktivis-aktivis yang danggap terbaik. Elit adat pada DAP bahkan menghadapi dilema apa yang harus mereka perjuangkan, pada isu Sipil Politik (Sipol) ataukah Ekonomi Sosial Budaya (Ekosob), bagaimana strateginya dan sebagainya.

Tidak hanya DAP yang inisiatif dan dibentuk oleh aktivis dan intelektual Papua, Pemerintah Indonesia melalui Badan Intelejen Negara (BIN), Badan Intelejen Startegis (BAIS TNI) juga mendorong Lembaga Masyarakat Adat (LMA) dan pimpinanya diklaim sebagai kepala suku besar yang dalam hirarki adat bahkan tidak ada istilah itu. Ada lagi LMA Port Numbay yang diinisiasikan oleh keondoafiaan di 11 kampung asli Port Numbay dan lebih tertutup dari dinamika politik Papua sehingga tidak terafiliasi dengan DAP maupun Lembaga LMA, ada juga Dewan Adat Suku (DAS) yang menyebar dan aktif di Kabupaten Jayapura, berbeda dan tidak saling terhubung terhadap DAP maupun LMA sendiri.

Pelembagaan adat sebagai strategi kolonial dan kapitalis untuk menguasai masyarakat adat dapat juga di lihat di Kepulauan Maluku. Pada riset yang terbitkan oleh Insist Press berjudul Orang-orang Kalah; Kisah Penyingkiran Masyarakat Adat Kepulauan Maluku, para penulis secara serius menggambarkan keadaan tragis masyarakat adat Kepulauan Maluku. P. M Laksono mengatakan Maluku telah menjadi korban tombak bermata tiga atau trisula. Pertama, masuknya investasi pada bidang ekstratif yang bertujuan menguras kekayaan sumber daya alam (hutan, tambang, dan laut), kedua, depolitisasi lembaga-lembaga masyarakat adat demi kekuasaan dan memuluskan agenda eksploitasi, ketiga, penjinakan para penghuni rimba atau atau para warga pentapan melalui pemaksaan nilai-nilai asing terutama agama-agama dunia. Juga Roem Topatimasang menulis tentang Orang-Orang Kalah. Tulisan ini menjelaskan kehidupan sebelum dan sesudah Kepulauan Maluku menjadi negeri yang dicari-cari kolonial yang mereka sebut The Promised Land dan sekaligus menjadi awal kehancuran masyarakat adat Kepulauan Maluku.

Fakta ini mengugurkan peran kelembagaan adat yang dibentuk atas kepentingan politik yang tidak mampu mengakomodir persoalan substansi dalam masyarakat adat. Terutama karena eksploitasi Kapitalis terhadap masyarakat adat di setiap suku, sub suku atau marga (keret) yang terdampak langsung. Setiap saat suku-suku, marga kehilangan tanah adat, dikriminalisasi, diintimidasi, ditangkap, dan disiksa karena ingin mempertahankan tanah mereka. Dalam Dokumentasi film pada Festival Film Papua IV oleh Papuan Voices 9 Agustus 2021, film-film tersebut memperlihatkan kondisi masyarakat adat di seluruh Tanah Papua yang hampir sama dan hanya mempertegas kondisi masyarakat pada berbagai laporan pelanggaran HAM sebelumnya ke dalam audio visual.

Masyarakat Adat, Kelas Sosial, dan Partai Revolusioner di Papua

Tugas Marxisme adalah membangun kelengkapan-kelengkapan atau lembaga-lembaga Marxisme di Papua tanpa terbebani dengan pandangan tradisional dalam marxisme itu sendiri. Terutama dengan melihat kelas buruh, petani miskin, pegawai kecil, pelajar, sebagai kelas revolusiner dalam masyarakat industri sehingga membatasi pandangan terhadap perjuangan entitas seperti masyarakat adat di Papua. Atau sebaliknya melihat masyarakat adat Papua sebagai basis utama perjuangan Pembebasan Papua (kemerdekaan) sehingga malas tau dengan kelas tertindas di sekitarnya.

Kesadaran kelas sosial dalam masyarakat Papua harus menjadi kesadaran bersama, karena manyangkut dengan penindasan antar kelas itu sendiri. Terutama kelas kapitalis atau penguasa terhadap kelas proletariat atau buruh atau kelas miskin yang tereskploitasi oleh kelas kapitalis pemilik modal dan alat produksi itu sendiri. Menurut pemikiran Karl Marx, kelas penguasa atau kelas kapitalis dan kelas proletariat secara objektif dan berbeda kepentingan, sehingga bertolak belakang. Persoalan keduanya bukan soal moralitas atau rasa hiba sehingga kedua kelas tersebut tidak akan pernah saling kompromi dan mengalah.

Kelas penguasa secara objektif berkeinginan meningkatkan laba atau keuntungan. Hanya dengan begitu ia menjadi kelas penguasa dengan terus meningkatkan keuntungan mereka, sedangkan kelas bawah secara objektif tidak memiliki pilihan selain mengikuti pola yang dibangun tersebut untuk hidup sehari-hari. Seperti itu pula kelas-kelas tertindas di Papua juga sedang mengikuti apa yang dibangun oleh kelas penguasanya, yaitu kolonial dan kapitalis. Masyarakat adat Papua di paksa meninggalkan tanah dan komunitas adatnya dan merubah pola sosial ekonominya dari sebelumnya mengandalkan hutan menjadi tergantung pada perusahaan dan belas kasih negara. Sedangkan masyarakat migran Papua yang tereksploitasi dan tersingkir di daerah asal mereka harus datang mencari kerja pada berbagai industri di Papua. Golongan lainnya yang tidak mampu menyesuaikan dengan keadaan akhirnya hidup dari belas kasih orang (kaum miskin kota, anak-anak jalanan), pedagang kecil yang sering kita lihat saling bertarung untuk memperebutkan keuntungan (Papua maupun Non Papua). Sistem ini dibangun dan dijaga oleh kelas penguasa sehingga membunuh kesadaran kelas sosial tertindas sehingga melihat seolah-olah sebagai masalah horizontal antara mereka. Seperti primordialisme antara suku di Papua, antara Papua gunung vs Papua pantai, asli Papua vs migran Papua.

Sehingga pengorganisiran kelas-kelas tertindas (bawah) bertujuan membangun kesadaran politik bersama dan membangun massa terdidik untuk melakukan perlawanan. Tidak bisa hanya dilakukan oleh masyarakat adat Papua karena dianggap sebagai basis massa utama perjuangan, karena faktanya penduduk Papua telah sangat heterogen. Hidup berdasarkan kepentingan masing-masing, masyarakat adat Papua akan merasa berkepentingan ketika berhubungan langsung dengan tanah adat mereka, sedangkan orang Papua lainnya (asli maupun migran Papua) akan lebih bersimpatik pada persoalan sektoril lainya. Inilah ruang yang selama ini tidak mampu diisi oleh aktivis-aktivis perjuangan pembebasan Papua sehingga selalu dimanfaatkan oleh borjuis untuk menompang kelas penguasa (kolonial dan kapitalis).

Partai revolusioner adalah sesuatu yang sering dibicarakan kawan-kawan aktivis Papua. Misal salah satu tulisan yang ditulis oleh kawan Sharon Muller di Arah Juang dan yang diterbitkan lagi di Harian Lao-Lao,Tirani di Papua dan Kebutuhan Partai Revolusioner Untuk Mengulingkannya. Dimana Partai Revolusioner adalah organisasi maupun individu pelopor yang paham Marxisme dan perjuangan kelas tertindas. Tetapi sebaik-baiknya ide Partai Revolusioner, memulai bertahap adalah sesuatu yang jauh lebih penting. Sebelum Partai Revolusioner dibangun, pertama, organsiasi-organisasi gerakan sebagai pelopor lebih dahulu memahami Marxis, untuk mengarahkan organisasi dan kader secara ideologis karena Partai Revolusioner bukan kumpulan semua orang yang bermodalkan semangat dan nasionalisme tetapi terdidik secara ideologis, kedua, ide-ide Partai Revolusioner tidak harus dibangun secara tergesah-gesah (reaksioner) sebagai prasyarat politik. Harus lahir secara objektif sebagai solusi penindasan kelas di Papua.

Referensi:

Topatimasanh, R.Orang-orang Kalah: Kisah Penyingkiran Masyarakat Adat Kepulauan Maluku. Yogyakarta, Insist Press, 2016.

Anderson, Benedict. Imagined Communities: Komonitas-komonitas terbayang. Yogyakarta, Insist Press, 2008.

Ward, Churchill. Marxisme and Native Americans. Boston, South End Press, 1992.

Suseno, F. Magnis. Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta, PT Gramedia Pustaka, 2009.

Kumpulan Esai: Menegarakan Tanah dan Darah Papua. Yogyakarta, Insist Press.

Yason Ngelia
Penulis adalah aktivis Gerakan Perjuangan Rakyat Papua (GPRP) dan Pengasuh Rubrik Analisa Harian.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Kapitalisme di Era Digital: Manusia, Ruang, dan Alat

Ide menulis tulisan ini, dimulai ketika beberapa waktu lalu...

Belajar Gerakan Kedaulatan Diri Owadaa dari Meeuwodide (Bagian 2)

Pada bagian pertama catatan ini sebelumya, saya mencoba untuk belajar pandangan konseptual tentang Owadaa. Selain itu, sisi teologis yang...

Belajar pada Njoto, Menuju Jurnalisme yang Mendidik Massa

Dalam deretan tokoh-tokoh jurnalistik di Indonesia, nama Njoto jarang terdengar. Kerap ketika berbicara mengenai sejarah jurnalisme di Indonesia, nama...

Empat Babak Sekuritisasi di Papua

Sejak dimulainya Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) oleh Presiden Soekarno pada 19 Desember 1961 banyak terjadi pelanggaran hak asasi...

Mambesak dan Gerakan Kebudayaan Papua Pascakolonial

Mambesak tidak sekadar grup musik Papua biasa. Selain sebagai pioner dengan mempopulerkan lagu-lagu daerah Papua yang kaya dan beragam,...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan