“Mama sa lapar… mama sa lapar… Mama sa lapar…” ucap Nekiles dengan tubuh lesu kepada Ibundanya. “Ko makan singkong bakar ini dulu, besok baru mama beli beras… Abis makan ko tidur ee, besok belajar toh?” balas Mama Nekiles. “Iyo mama.” sahut Nekiles. Setelah menyantap ubi bakar dan sayur daun petatas yang disajikan Mama Penina, Nekiles pun tidur dalam pangkuan Mama di pinggir tungku api. Waktu terus bergulir, malam semakin larut, angin berhembus kencang masuk ke cela-cela dinding kayu rumah Nekiles. Mama mulai terasa nyeri di lutut-lutut dan jari-jari kakinya. Mama yang sedang membujuk anaknya dalam pangkuan, bergegas meletakkan Nekiles pada lantai kayu yang beralaskan kain sarung. Mama kemudian kembali mengumpulkan kayu bakar untuk menyalakan api serta duduk menatap tungku sambil mengulurkan telapak kakinya dekat dengan bara api dalam tungku. Tiada ucapan selamat tidur kepada Nekiles dan kedua kakaknya malam itu. Sembari menunggu redanya nyeri lutut dan jari-jari kakinya, Mama menatap tungku sambil bergumam “Tuhan tolong… saya besok harus membeli beras untuk anak-anak saya.” Mama kemudian merebahkan badannya dan terlelap dalam kesunyian malam.[1]
Catatan yang ditulis Zuzan Chrystalia Griapon dalam blog-nya ini semakin meyakinkan saya, bahwa apa yang Ia lakukan selama hidupnya untuk gerakan sosial Papua berdasarkan pergumulan yang mendalam. Realitas ini mungkin biasa kitong dengar dalam keras dan tipisnya hidup dan mati bagi Orang Asli Papua (OAP). Narasi ini seolah tidak berarti apapun bagi yang luput mempertanyakan sesuatu yang seolah tampak berlangsung alamiah tersebut. Tapi jika kita mengajukan pertanyaan mengapa terhadap situasi itu, muncullah berbagai permasalahan yang menyangkut berbagai macam dimensi. “Kisah dari Pinggiran Kota Jayapura” seolah saya bayangkan menjadi sumbu penyulut aktivisme Zuzan dalam menggerakkan pendidikan yang gratis, demokratis, dan kritis bagi anak-anak generasi muda Papua.
Pagi hari ini, purnama sasih kapitu, 27 Desember 2023, saya mengenang dengan hangat dan mendalam, adik dan sahabat saya Zuzan Chrystalia Griapon. Zuzan, begitu saya biasa memanggilnya, telah berpulang pada 26 Desember 2023 di Abepura, Jayapura. Ia adalah seorang aktivis perempuan dan pemikir Papua yang kritis, yang menerjemahkan pergumulan pemikirannya tentang marxisme, keadilan gender, kekerasan terhadap perempuan, kapitalisme, dan perjuangan pembebasan rakyat Papua dalam kerja-kerja praksis di akar rumput.
Tidak banyak pertemuan yang saya kenang bersama Zuzan. Sedikitnya waktu bertemu itu bukan menjadi penghalang saya untuk belajar tentang banyak hal dari pergumulannya. Satu dari sedikit itu adalah kegigihan berjuang dan komitmen pembebasan, dua hal yang semakin sumir saya temukan pada generasi muda Papua untuk menegakkan kedaulatan dirinya di tanah mereka sendiri. Selain itu, saya mengikuti banyak tulisannya tentang sikapnya terhadap kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan yang banyak saya dengar dari lingkaran persahabatannya. Blog pribadinya secara jelas menunjukkan “keras”nya Zuzan memperjuangkan pemikirannya bagi kaum dan negerinya tercinta.[2]
Komitmennya terhadap gerakan sosial generasi muda Papua tidak diragukan lagi lewat aktivitas yang dirintisnya dari kelompok diskusi sesama mahasiswa Papua di Yogyakarta, dan saya kira yang terpenting adalah titik balik yang menegaskan sekaligus meyakinkan Zuzan untuk terlibat secara total dalam gerakan pembebasan adalah keaktifannya di Aliansi Mahasiswa Papua (AMP). Dari proses pergumulannya tersebut, maka muncullah benih-benih pemikiran kritisnya terhadap kapitalisme dan kolonialisme. Seluruh proses ini Zuzan lalui selama mengikuti pendidikan tinggi di Yogyakarta. Beberapa diantaranya ditunjukkan dengan jelas dan tajam dalam dua tulisannya yang mengkritik kapitalisme.[3]
Suatu waktu dalam pertemuan singkat di Yogyakarta, Maret 2023, saya, Zuzan, dan Dicky Takndare (seniman Papua dari Collective Udeido) mendiskusikan pentingnya generasi muda Papua untuk berjuang mendapatkan pendidikan yang baik dan juga kritis. Hal ini beberapa kali Zuzan sampaikan kepada kami dan sesekali Ia mengisahkan perjuangannya untuk belajar dan bertahan hidup di Yogyakarta.
Malam itu, babi rica-rica dan panggang yang kami pesan bertiga seolah tidak cukup menemani diskusi malam itu. Menjelang larut, Dicky dan Zuzan melaju dengan motor. Zuzan akan menuju Surabaya menggunakan bis untuk menunggu kapal yang akan membawanya ke Tanah Papua. Sebelum berpisah, Zuzan mengingatkan kami berdua untuk jaga diri. “Kaka hati-hati e, jaga diri.” Pesan itu kembali diingatkan Dicky pagi ini, saat kami berbagi duka mendalam karena kepergian Zuzan.
Pada kesempatan sebelumnya, saya memohon kesediaan Zuzan bersama Esther Haluk untuk memberikan komentar dari buku saya yang kemudian diterbitkan dengan judul Hidup Papua Suatu Misteri (2022). Pernyataan Zuzan dalam satu paragraf panjang itu sangat jelas, tegas, dan tajam. Ia mulai dengan pernyataan bahwa dalam perkembangan masyarakat Papua yang panjang, terdapat sistem adat, agama, pendidikan, dan hukum adat yang dihancurkan karena kepentingan penjajahan dan eksploitasi sumber daya alam. Zuzan melihat bahwa telah terjadi perubahan yang nyata dari sistem adat yang komunal (kolektif) digantikan dengan adat yang individualistik, dan karena itulah kemudian menciptakan kelas-kelas sosial masyarakat.
Perspektif kelas-kelas sosial inilah yang kemudian menjadi kelompok yang “dimanfaatkan” oleh kekuasaan untuk merongrong tatanan sosial budaya sekaligus di kemudian hari menciptakan kelompok yang menyingkirkan sesamanya, orang asli Papua sendiri. Kelompok inilah, yang memang diciptakan dan dipelihara oleh kekuasaan, menciptakan berbagai manipulasi di berbagai bidang dan lapisan kehidupan masyarakat Papua. Inilah yang kita saksikan hari ini dimana kondisi masyarakat yang penuh dengan manipulasi, atau dalam istilah yang sering saya gunakan dalam studi sebelumnya, yaitu, kecanggihan menipu.
Zuzan dengan tegas berpandangan bahwa adat yang dimanipulasi akan menyebabkan situasi krisis identitas masyarakat Papua. Sangat diperlukan pasokan kesadaran politik yang berbasis pada masyarakat sendiri sebagai bentuk perlawanan terhadap cara penjajah melakukan ekspansi pada masyarakat Papua. Salah satu nilai adat yang melekat kuat dalam budaya komunitas Papua adalah solidaritas sosial. Nilai inilah yang perlahan-lahan digerogoti untuk menghancurkan pondasi sosial budaya masyarakat Papua. Zuzan dalam konteks ini mengusulkan untuk menggali dan mengkontekstualisasi kebudayaan kolektif orang Papua yang berbasis solidaritas sosial untuk dijadikan alternatif dalam melawan bahkan menghancurkan sistem kolonialisme dan kapitalisme. Bagi Zuzan, gerakan kebudayaan harus dilihat sebagai upaya menceritakan sejarah hidup rakyat di Papua, dimana solidaritas dan kebersamaan adalah nafas hidup untuk merebut demokrasi, dan membuka ruang untuk transfer ilmu pengetahuan yang dibungkam. Seruan Zuzan ini serasa semakin menjauh di tengah semakin terombang-ambingnya dan terfragmentasinya kesadaran politik dan budaya terhadap ke-Papua-an. Menggali dan menghadirkan identitas budaya Papua pascakolonial, sebagai anti-tesis praktik dan warisan penjajahan budaya Papua menjadi sangat urgen untuk dilakukan. Kepada kita semualah Zuzan menitipkan hal itu.
Komunitas Epistemik
Saya mengenang Zuzan sebagai pribadi yang hangat tapi sangat kokoh dengan prinsip dan keyakinannya dalam gerakan sosial yang digelutinya. Semuanya Ia dapatkan dari sebuah proses yang panjang dalam dunia akademik dan aktivis, yang memungkinkannya menyerap perspektif berpikir secara konseptual dan membandingkannya dengan realitas empiris kekerasan, penindasan, dan sistem kapitalisme yang menyeruak masuk ke lingkaran terkecil komunitas orang Papua. Hal ini berdampak besar hingga hari ini yang secara pelan tapi pasti ditunjukkan dengan terkoyaknya Tanah Papua dan manusianya dari berbagai aspek. Zuzan mendalami hal itu secara sungguh-sungguh yang tercermin dari tulisan-tulisannya tentang perkembangan kapitalisme yang dianggapnya sebagai musuh rakyat Papua dan bagaimana pengaruhnya terhadap posisi gerakan sosial pembebasan Papua.
Belajar dengan sungguh-sungguh sesuai bidang ilmu kita masing-masing, ditambah dengan memperdalam kajian kritis untuk membedah permasalahan yang kompleks di Tanah Papua, benar-benar dijalani Zuzan dengan bersemangat sekaligus menyenangkan. Jelas sekali tampak dari aktivitasnya, Zuzan seolah tampak tidak ada letihnya untuk membicarakan berbagai macam pengetahuan yang ia pelajari kepada lingkaran terdekatnya. Bersamaan dengan cara ini, Zuzan juga selalu mengajak mereka semua untuk memikirkan secara terus-menerus gerakan-gerakan terkecil yang bisa dilakukan, pada lingkungan terdekat, agar kurang lebih hidup kita menjadi memiliki arti sekecil apapun itu. Praksis nyata itulah saya kira yang kemudian mendorong Zuzan untuk membentuk komunitas epistemik yang sekaligus memiliki spirit gerakan sosial. Jika tidak salah saya pahami, Ia aktif menginisiasi Komunitas Green Papua dan tentu saja legacy-nya, Sekolah Alternatif Papua (SAP).
Karakteristik yang melekat kuat dari gerakan sosial yang dilakukan Zuzan, yang saya kira bisa menjadi metode bergerak aktivis muda Papua, adalah kesadarannya untuk merintis dan mengembangkan komunitas epistemik dalam memulai gerakan sosial. Komunitas epistemik secara sederhana bisa berarti adalah sekelompok orang yang memiliki perspektif (pandangan) untuk saling belajar bertukar gagasan, mengakumulasikan pengetahuan, mengkomparasikan (membandingkan) dengan konteks atau negara lain, yang bertujuan politis untuk praktik pembebasan terhadap komunitas yang sedang ditindas. Secara luas, komunitas epistemik adalah kelompok berpikir, membaca, menulis, dan menggali pengetahuan tertentu yang dipilih untuk menggerakkan sebuah perubahan sosial, sebuah gerakan dekolonisasi (menentang penjajahan) yang hidup dan kita rasakan dalam berbagai pengalaman berinteraksi dengan kekuasaan dan aparatusnya. Satu hal yang kita diwarisi dari Zuzan adalah menjadikan komunitas epistemik sebagai titik pijak dan landasan melakukan gerakan pembebasan.
So long Zuzan …
***
Referensi:
[1] Catatan dari blog pribadi Zuzan yaitu Cerita dari Pinggiran Kota Jayapura yang diterbitkan pada pada 21 September 2021. Lihat: https://zuzangriapon.blogspot.com/2021/10/cerita-dari-pinggiran-kota-jayapura.html
[2] Lihat blog pribadi dari Zuzan: https://zuzangriapon.blogspot.com/
[3] Ini ditunjukan dalam dua tulisannya yang diterbitkan di laolao-papua.com, di antaranya Siapa Musuh Rakyat? Kembali Memahami Kapitalisme di Papua: https://laolao-papua.com/2023/09/05/siapa-musuh-rakyat-kembali-memahami-kapitalisme-di-papua/
Dan Perkembangan Kapitalisme dan Posisi Gerakan Rakyat Papua: https://laolao-papua.com/2021/11/01/perkembangan-kapitalisme-dan-posisi-gerakan-rakyat-papua/ (diakses 27 Desember 2023).